Puisi Esai Denny JA: Kisah Air Mata Seorang Ayah Mengantar Putrinya Menikah
KISAH AIR MATA SEORANG AYAH MENGANTAR PUTRINYA MENIKAH
Oleh Denny JA
(Tengah November 2025, saya hadir di pernikahan, merenungkan air mata seorang Ayah yang menetes mengantar putrinya menikah) (1)
-000-
Suara ayah itu bergetar.
Ketika ia mengantar putrinya
ijab kabul, air matanya
yang bening menetes, seperti fajar yang membuka tirai antara dulu dan esok.
“Aku nikahkan engkau…
dengan restu langit…”
ucapnya,
seakan menyerahkan sebuah bintang
yang lama ia rawat di dada.
Saya ikut meneteskan air mata.
Dan bertanya pada air mata:
“Mengapa engkau menetes?”
Air mata hanya berkilau.
Ia rahasia yang memilih diam.
Saya pun merenung, menerka.
-000-
Mungkin itu karena cinta seorang ayah,
yang menyala seperti cahaya kecil,
yang tak pernah padam,
meski dunia meredup.
Cinta yang dulu memapah anaknya
jatuh-bangun mengejar kupu-kupu,
dan kini harus ikhlas
melepas burung kecil itu
menjajal angin yang lebih jauh.
Di pelaminan,
waktu membuka kandangnya:
bocah itu telah menjadi perempuan dewasa, yang kini di pelaminan, digandeng masa depan.
-000-
Mungkin itu karena kekhawatiran,
yang disimpan ayah
di ruang terdalam dada.
Ia tahu
bahagia adalah seni,
dan rumah tangga berdiri
di atas retakan-retakan kecil
yang harus dirawat sebelum menjadi jurang.
Ia tersenyum tenang,
tapi ada segenggam doa
yang ia sembunyikan,
takut pecah oleh keramaian pesta.
Dalam rahasia, ia simpan tanya itu: apakah gadis putri kesayangannya ini akan tahan?
-000-
Dan mungkin karena kesadaran: sejak hari itu,
anaknya bukan lagi penuh miliknya.
anaknya kini menjadi takdirnya sendiri,
nasib yang berjalan
dengan kaki yang dulu ia tuntun.
Cinta seorang ayah
adalah kesediaan untuk mundur sedikit,
agar anaknya bisa melangkah lebih jauh
ke wilayah yang bahkan
ia sendiri tak sanggup jangkau.
-000-
Dalam hati, sang ayah berbisik:
“Terbanglah, anakku.
Jika suatu hari angin menyakitimu,
ingatlah: rumah ini
tak pernah menutup pintu.”
Dan air mata yang jatuh itu
menjadi saksi
bahwa seorang ayah
tak pernah benar-benar melepas.
Ia hanya mengirim separuh jiwanya
untuk menjaga dari kejauhan.
Di ujung malam, ayah memandang bulan,
mengingat tawa kecil anaknya itu, di pangkuannya dulu.
Waktu terus berjalan, tapi cinta tak menua;
ia hanya berpindah bentuk, menjadi cahaya di hati anaknya.
Kelak, di usia senja, ayah tersenyum memandang langit,
menyadari: cinta yang tulus tak pernah punah.
Ia menjelma cahaya abadi di langkah setiap anak
yang pernah ia tuntun.*
Jakarta, 16 November 2025
Catatan:
(1) Teringat buku ‘Father of the Bride’, Edward Streeter, 1949
-000-
Berbagai puisi esai dan ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/1BZgb4KXr2/?mibextid=wwXIfr