Menuju Transisi Hijau, Tiga Orang Muda Gagas Tiga Aksi yang Berani

ORBITINDONESIA.COM - Di tengah stigma generasi muda sebagai generasi rebahan, tiga anak muda ini membuktikan sebaliknya. Mereka menunjukkan bahwa perubahan menuju masa depan yang lebih hijau bisa dimulai dari langkah-langkah sederhana yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. 

Untuk mewadahi gagasan kreatif semacam ini, Mindworks Lab untuk pertama kalinya mengadakan fellowship Ministry of the Future, program bagi orang muda se-Jabodetabek yang datang dari berbagai bidang dan latar belakang. Dari ratusan pendaftar, terpilihlah 15 fellow yang selama tiga bulan berdiskusi dengan mentor sesuai bidang masing-masing, mematangkan gagasan, dan merancang rencana implementasi yang lebih baik.

Meski dialog terbagi menjadi lima bidang berbeda—mobilitas, lingkungan binaan, pendidikan, konsumsi, dan pangan—topik besar yang diangkat tetap satu: mendorong transisi hijau untuk menjawab tantangan krisis iklim.

“Para fellow diharapkan akan meneruskan aksi mereka, sambil menjaring orang muda lain untuk juga engage dalam kegiatan mereka, agar bersama-sama mewujudkan masa depan yang lebih berkeadilan,” kata Aulia Amanda Santoso, Program Coordinator Ministry of the Future.

Inilah tiga di antara mereka yang membawa gagasan segar dan berani untuk menjawab tantangan masa depan. 

Alya Eka Khairunnisa: Study tour ke sudut-sudut kota

Larangan study tour di Jawa Barat mungkin meringankan beban biaya orang tua, tapi bagi Alya, kebijakan itu juga membatasi kesempatan belajar di luar kelas. “Larangan ini menciptakan jarak antara siswa dan realitas sehari-hari. Masalah sosial dan lingkungan banyak berkembang. Tapi, pembelajaran di ruang kelas kurang fleksibel, kurang adaptif, dan kurang responsif terhadap masalah nyata,” ujarnya.

Melalui program Kota Kita, Kelas Kita, Alya memodifikasi konsep study tour menjadi lebih aman, murah, dan bermakna. Siswa diajak merancang perjalanan sendiri untuk mengenali masalah sosial dan lingkungan di kotanya. 

Dalam uji coba bersama empat siswa SMP di Tangerang, mereka berkeliling ke pasar, taman, dan museum menggunakan transportasi publik. 

Selama perjalanan, para siswa menemukan berbagai masalah lingkungan, mulai dari udara kotor akibat kendaraan hingga truk yang tetap menyalakan mesin saat parkir.

Yang menarik, Alya membuat modul bernama City Bingo. Permainan ini mengajak peserta menandai objek yang ditemukan selama perjalanan dalam lembar bingo. 

“Dalam eksperimen itu, peserta mendapat challenge untuk menemukan kendaraan listrik. Awalnya, mereka berpikir bahwa kendaraan ini merupakan solusi yang baik, karena tidak menyebabkan polusi udara. Tapi, kami lalu berdiskusi, bahwa bahan bakunya ternyata masih berasal dari fosil, sehingga polusi sebenarnya hanya berpindah tempat,” cerita Alya.

Cuaca yang berubah-ubah saat perjalanan menjadi catatan tersendiri bagi peserta. Siang sangat terik, sore hujan, lalu panas lagi. “Mereka mengindikasikan perubahan cuaca dalam satu hari sebagai akibat dari krisis iklim. Kondisi cuaca seperti ini, kata mereka, sering menyebabkan sakit dan merepotkan anak sekolah,” kata Alya. 

Ndaru Luriadi: Janji pernikahan juga janji untuk bumi

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, pada 2024 sebanyak 50,8% dari total sampah nasional berasal dari rumah tangga. Inilah yang membuat Ndaru resah. Ia menyebutkan, di Depok saja dalam satu hari sampah yang diangkut ke TPA mencapai 1.000 ton. Artinya, lebih dari 500 ton merupakan sampah rumah tangga, termasuk sampah sisa makanan, plastik, dan bahan-bahan pembungkus bahan makanan lain. 

Ndaru juga mencatat, jumlah perkawinan di Depok pada 2023 mencapai angka sekitar sembilan ribu. Ketika ada pernikahan, berarti akan muncul kerentanan timbulnya sampah-sampah rumah tangga baru. 

“Seharusnya peran orang muda tidak berhenti ketika mereka menikah dan berkeluarga. Justru, di situlah titik penting untuk mengubah hal yang mungkin sering kita anggap sepele,” tutur Ndaru, yang punya banyak pengalaman di organisasi lingkungan dan kepemudaan. 

Berangkat dari data soal jumlah sampah rumah tangga yang terus meningkat, Ndaru menggagas Sekolah Rumah Lestari. Ia menilai, isu sampah makanan bisa dihadapi dari akar terdalamnya, yakni keluarga. Program tersebut berperan sebagai wadah untuk membentuk keluarga yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang mengelola sampah. Ndaru memandang, pengantin baru berada di saat yang tepat untuk belajar cara hidup baru.

“Lebih jauh lagi, mereka bisa membentuk budaya positif di keluarga yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Harapannya, keluarga-keluarga muda itu akan membentuk jaringan, agar bisa melakukan aktivitas positif yang berdampak untuk lingkungan,” kata Ndaru. 

Dengan begitu, pasangan muda tersebut akan menjadi penggerak di komunitas masyarakatnya. Dari penggerakan di komunitas tersebut diharapkan terjadi pergeseran budaya, misalnya belanja impulsif bergeser menjadi budaya positif untuk lebih melestarikan lingkungan dan berkelanjutan di ranah keluarga.

Anastasia Dinda Ciptaviana: Ngumpul tanpa jadi konsumtif

Setiap kali ada acara kumpul-kumpul, pasti ada sesi makan-makan. Pesan antar biasanya jadi solusi paling praktis. Itu berarti jumlah sampah akan bertambah, emisi karbon juga meningkat. 

Dinda lalu merancang Nongkrong+. Baginya, proyek ini sangat personal. “Saya punya karakter introvert. Sewaktu kecil agak susah berteman. Kadang lebih pasif dalam pertemanan. Lewat Nongkrong+, orang muda bisa menjalin pertemanan sambil membahas isu konsumsi berlebihan atau mindless consumption dengan kegiatan yang seru dan santai,” cerita Dinda, yang punya latar belakang di bidang desain. . 

Nongkrong yang dimaksud Dinda bukan hanya duduk sambil makan dan berdiskusi, melainkan lebih produktif. Salah satu yang pernah diadakan adalah Nongkrong+ Nukang. “Saat itu kami jadi sadar bahwa kami punya kemampuan, lho, meskipun nukangnya masih di level dasar. Tapi, ada hasilnya. Memproduksi sesuatu sendiri membuat kami jadi mampu mengapresiasi benda tersebut,” kata Dinda. 

Menurutnya, tidak selamanya nongkrong itu cuma konsumtif. Dan, tidak selamanya yang produktif itu tidak menumbuhkan pertemanan. Ia berharap, kegiatan semacam itu bisa membangun dan memperdalam pertemanan. “Inginnya, diskusi tentang konsumsi jadi bagian dari keseharian dalam lingkungan pertemanan,” kata Dinda. 

Dinda tidak ingin ide kegiatan selalu datang darinya. Ia menjadikan proyek tersebut sebagai wadah agar setiap orang menyadari kemampuannya dalam memproduksi sesuatu, misalnya event. “Meski sesuatu itu mungkin terlihat kecil, jika dilakukan secara rutin dan sering, saya yakin dampaknya akan kuat, bisa mengubah masa depan budaya konsumsi,” ungkap Dinda.

Alya, Ndaru, dan Dinda membuktikan bahwa gerakan hijau bisa dimulai di mana saja, di ruang belajar, di tengah keluarga, atau bahkan di meja nongkrong bersama teman. Pesan yang jelas bahwa masa depan bumi juga ditentukan oleh keberanian anak muda untuk bergerak dan mewujudkan perubahan.***