Resensi Buku Lebanon: Fire and Embers Karya Dilip Hiro - Bara yang Tak Pernah Padam di Tanah Lebanon
ORBITINDONESIA.COM- Dilip Hiro, salah satu jurnalis dan analis geopolitik Timur Tengah paling disegani, dalam buku Lebanon: Fire and Embers — A History of the Lebanese Civil War (1992) menulis dengan kejernihan seorang sejarawan dan kepekaan seorang penyair tragedi.
Ia mengisahkan bagaimana lebanon sebuah negeri kecil di pesisir Mediterania berubah menjadi ajang perebutan kepentingan sektarian, ideologis, dan imperialis.
Dalam pandangan Hiro, Perang Saudara Lebanon (1975–1990) bukan sekadar bentrokan antaragama, tetapi laboratorium politik yang memperlihatkan bagaimana kompromi sosial bisa hancur jika keadilan struktural diabaikan.
Buku ini tak hanya menuturkan peristiwa, tetapi juga mengajak pembaca memahami akar dan akibat sebuah tragedi politik yang membakar seluruh sendi masyarakat.
Pertama, Latar Historis dan Runtuhnya Sistem Keseimbangan
Hiro memulai kisahnya dari sejarah panjang Lebanon sebagai negara multikultural yang rapuh. Sistem politik konfensional yang membagi jabatan berdasarkan agama—Presiden Katolik Maronit, Perdana Menteri Sunni, Wakil Perdana Menteri Kristen Ortodoks, dan Ketua Parlemen Syi'ah—pada mulanya dirancang untuk menjaga keseimbangan, tetapi justru menanam benih ketimpangan.
Masuknya pengungsi Palestina setelah 1948, serta meningkatnya kesenjangan antara elite urban Kristen dan komunitas Muslim miskin, memantik krisis identitas.
Hiro menulis dengan detail bagaimana kebanggaan nasional Lebanon digantikan oleh loyalitas sektarian, dan bagaimana kepentingan luar negeri memperkeruh air yang sudah keruh. Ia menunjukkan bahwa sistem yang tidak mampu beradaptasi dengan realitas sosial akhirnya akan runtuh oleh kontradiksi internalnya sendiri.
Kedua, Intervensi Asing dan Permainan Kekuatan Regional
Dalam bagian ini, Hiro menelusuri bagaimana konflik domestik Lebanon berubah menjadi arena perang proksi antara kekuatan besar Timur Tengah.
Suriah berperan sebagai “penjaga” stabilitas yang berkepentingan memperluas pengaruhnya; Israel melancarkan invasi 1982 dengan dalih menumpas PLO; Iran mendukung lahirnya Hizbullah; sementara Amerika Serikat dan Prancis menjadi pemain diplomasi yang tak selalu berpihak pada perdamaian sejati.
Hiro melihat Lebanon sebagai cermin dari seluruh dunia Arab: medan di mana nasionalisme, agama, dan imperialisme beradu di bawah bayang-bayang Perang Dingin.
Analisisnya tajam, tetapi tetap seimbang; ia tidak terjebak dalam narasi moralistis, melainkan memperlihatkan logika politik yang menggerakkan para aktor di balik tragedi.
Ketiga, Luka Kemanusiaan dan Trauma Sosial
Keunggulan utama Hiro terletak pada keberaniannya memanusiakan angka dan statistik. Ia tidak hanya menulis tentang faksi, senjata, dan gencatan senjata, melainkan juga tentang kehidupan sehari-hari orang-orang kecil yang terjebak dalam lingkaran kekerasan.
Lewat kisah anak-anak Beirut yang bermain di reruntuhan, ibu-ibu yang mencari keluarga yang hilang, dan generasi muda yang kehilangan makna hidup, Hiro mengubah Lebanon: Fire and Embers menjadi semacam elegi politik.
Ia menulis bahwa kehancuran Lebanon bukan semata kegagalan negara, melainkan kegagalan moral peradaban modern untuk menghargai pluralitas dan kemanusiaan.
Keempat, Rekonsiliasi yang Rapuh dan Bara yang Masih Menyala
Pasca-Perjanjian Taif 1989, Hiro menilai bahwa perdamaian yang tercipta di Lebanon ibarat api yang padam di permukaan tetapi masih menyala di dalam tanah.
Faksi-faksi lama memang dibubarkan, namun sistem politik sektarian tetap dipertahankan. Ia memperingatkan bahwa perdamaian tanpa reformasi struktural hanya akan menjadi jeda sebelum konflik baru.
Di sinilah muncul kekuatan reflektif khas Hiro: ia menulis sejarah bukan untuk menuding, tetapi untuk memperingatkan.
Ia menutup bukunya dengan kalimat penuh makna bahwa “Lebanon akan tetap menjadi simbol dari bahaya kompromi tanpa keadilan.”
Penilaian dan Signifikansi
Sebagai karya sejarah politik, Lebanon: Fire and Embers memadukan disiplin akademik dan sensibilitas jurnalistik. Gaya naratifnya hidup, informatif, dan argumentatif. Hiro menguasai detail geopolitik tanpa kehilangan sentuhan kemanusiaan.
Ia menulis bukan dari menara gading, melainkan dari pengalaman langsung di lapangan, menjadikan buku ini relevan tidak hanya bagi sejarawan, tetapi juga bagi diplomat, aktivis perdamaian, dan siapa pun yang ingin memahami kompleksitas Timur Tengah.
Dalam konteks dunia sekarang—ketika Lebanon kembali dilanda krisis dan fragmentasi sosial—pesan Hiro terasa seperti nubuat: bahwa bangsa tanpa fondasi keadilan akan selalu hidup di antara api dan bara.***