Amidhan Shaberah: Soeharto Pahlawan Kami

Oleh K.H. Dr. Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007

ORBITINDONESIA.COM - Nama Soeharto selalu menimbulkan perdebatan panjang. Ada yang mengenangnya sebagai pemimpin otoriter dengan sisi gelap yang tak bisa diabaikan — korupsi, pembatasan kebebasan politik, dan kasus pelanggaran HAM. Namun begitu banyak pula rakyat yang merasakan langsung stabilitas, pembangunan, pangan murah, pendidikan murah, dan kepastian hidup pada masa pemerintahannya. 

Bagi kelompok terakhir ini, Soeharto bukan hanya presiden. Ia adalah pahlawan yang membangun kehidupan mereka dari bawah.

Kesalahan Soeharto memang nyata. Struktur politik Orde Baru amat terpusat, oposisi dibatasi, dan praktik patronase telah meninggalkan jejak panjang. Tetapi penilaian sejarah jarang berjalan hitam-putih. Di banyak negara, tokoh yang memiliki sisi gelap justru tetap dihormati karena kontribusinya dianggap lebih besar daripada kesalahannya.

Contoh paling jelas datang dari Tiongkok. Mao Zedong, tokoh yang memimpin Revolusi Rakyat dan mempersatukan Tiongkok modern, bertanggung jawab atas kebijakan yang menyebabkan puluhan juta korban jiwa, terutama dalam “Great Leap Forward” dan “Cultural Revolution”. Namun hingga kini, Mao tetap dihormati sebagai tokoh pendiri Republik Rakyat Tiongkok. 

Deng Xiaoping, arsitek yg meformasi ekonomi Tiongkok, pernah menyatakan bahwa “Mao memang banyak salah, tetapi kebaikannya lebih banyak.” 

Bagi bangsa Tiongkok, Mao adalah figur yang menghapus tatanan dinasti yang memecah-belah negara, menghentikan perang saudara panjang, dan menyatukan negara yang sebelumnya hancur terpecah oleh kekuatan lokal. Kontribusi fundamental ini membuat Mao tetap dipandang sebagai pahlawan nasional, meskipun catatan kelamnya tak pernah disembunyikan.

Contoh lain adalah Jengis Khan, penakluk berdarah dingin dari Mongolia. Ia menghancurkan banyak kota dan menimbulkan jutaan korban jiwa. Tak hanya di negerinya, tapi juga di negara-negara lain yang ditaklukkannya. 

Namun bagi rakyat Mongolia, ia adalah simbol persatuan bangsa dan pembentuk identitas nasional yang masih dihormati hingga kini. Jengis Khan dianggap pahlawan besar di Mongolia. 

Begitu pula Anwar Sadat di Mesir, tokoh yang memimpin perang dan mengambil keputusan kontroversial dalam politik Timur Tengah. Tapi ia tetap dihormati bangsa Mesir sebagai pahlawan. Jasa Anwar Sadat membawa stabilitas  Mesir dan mengakhiri perang panjang dengan Israel melalui Camp David Agreement, 1979.

Sebagaimana tokoh-tokoh tersebut, penilaian terhadap Soeharto pun sering ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas: melihat dampak struktural jangka panjang, bukan hanya sisi gelapnya. Dan dalam konteks ini, pembangunan yang terjadi pada masa Soeharto diakui bukan hanya oleh rakyat Indonesia, tetapi juga oleh dunia internasional.

Di bidang pertanian, Indonesia mencapai hasil monumental: swasembada beras 1985. FAO memberi penghargaan atas keberhasilan yang sangat jarang dicapai oleh negara berkembang dengan populasi besar. Intensifikasi pertanian, pembangunan irigasi, penyuluhan, dan stabilisasi harga pangan membuat jutaan petani mengalami peningkatan kesejahteraan hidupnya. 

Dalam pendidikan, Soeharto meluncurkan Program SD Inpres, salah satu program pendidikan terbesar di Asia modern. Ratusan ribu ruang kelas dibangun hingga ke desa terpencil. UNESCO dan lembaga PBB memberi pengakuan karena program ini mengubah tingkat literasi nasional dan memperluas mobilitas sosial generasi baru.

Secara ekonomi, Indonesia pada 1970–1990 dikategorikan Bank Dunia sebagai high-performing economy. Pembangunan infrastruktur dasar, stabilitas harga, dan perluasan lapangan kerja menurunkan kemiskinan secara signifikan. Bagi rakyat kecil, pengalaman konkret yang paling diingat adalah harga pangan yang stabil, lapangan pekerjaan yang berkembang, dan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu perbedaan paling mencolok antara masa Soeharto dan era Reformasi adalah soal pengendalian oligarki. Banyak pakar sepakat bahwa pada masa Orde Baru, oligarki memang ada, tetapi negara tetap berada di atas mereka. Pemerintah bisa menekan atau mengatur konglomerat demi agenda pembangunan nasional. Setelah Reformasi, fragmentasi politik dan lemahnya instrumen negara membuat oligarki justru menghambat kebijakan publik. 

Presiden Prabowo Subianto bahkan pernah menggambarkan: “kalau dulu koruptor mengambil uang di bawah meja, sekarang mejanya sekalian diambil.” Bagi sebagian rakyat, pernyataan ini menggambarkan betapa kuatnya negara pada masa Soeharto dalam membatasi korupsi dan patronase, dibanding periode setelahnya.

Karena itu, sebagian masyarakat memandang bahwa Soeharto jelas memiliki keberpihakan kepada rakyat kecil: stabilisasi harga pangan melalui BULOG, jaringan Puskesmas dan Posyandu, subsidi pendidikan, pembangunan irigasi, dan perluasan layanan dasar hingga ke desa-desa  terpencil. Jutaan keluarga hidup lebih teratur dan merasa terlindungi oleh negara.

Penilaian sejarah selalu kompleks. Tidak ada pemimpin besar yang tanpa noda. Mao, Jengis Khan, Sadat — semuanya memiliki sisi gelap yang tak dapat dipungkiri. Tetapi negara memilih mengenangnya karena kontribusinya dalam membentuk fondasi bangsa dan persatuan nasional. 

Dalam  penilaian serupa, banyak rakyat Indonesia melihat Soeharto bukan hanya sebagai figur sempurna, tetapi sebagai pemimpin besar yang membangun stabilitas, pendidikan, pangan murah, dan fondasi ekonomi yang menopang Indonesia modern.

Dan bagi mereka, kesalahan Soeharto tidak menghapus capaian monumental yang pernah ia bangun. Maka, dengan keyakinan yang sederhana namun kuat, mereka berkata: Soeharto pahlawan kami.***