Resensi Buku Orbital Karya Samantha Harvey: Novel yang Melayang di Antara Bumi dan Kosmos
Orbital adalah sebuah novel singkat sekitar 136 halaman yang diterbitkan pada akhir 2023 dan kemudian memenangkan Booker Prize 2024—yang menyoroti kedalaman ide dan keindahan bahasanya.
Dalam narasinya, Harvey menempatkan pembaca di kabin stasiun luar angkasa—empat lelaki dan dua perempuan dari berbagai negara—yang selama 24 jam mengorbit Bumi sebanyak 16 kali.
Penulis sendiri menyebutnya sebagai “space pastoral”—gambaran ruang angkasa yang bukan sekadar teknis atau futuristik, tetapi punya karakter kontemplatif, spiritual, dan estetis.
Novel ini mengeksplorasi bukan hanya waktu dan ruang, tapi cara kita melihat Bumi, cara kita berada di dalamnya, dan bagaimana fragilitas planet ini tercermin dalam perjalanan manusia di luar angkasa.
Isi dan Gagasan Utama: Orbit, Pengamatan, dan Renungan
Cerita berlatar di atas International Space Station (ISS) atau stasiun sejenis, dalam satu hari penuh misi. Karakter-karakternya menjalani rutinitas ilmiah—eksperimen, pengamatan, olahraga—dan di sela-sela itu muncul refleksi tentang rumah, jarak, identitas, kematian, dan lingkungan.
Salah satu aspek paling menonjol adalah bagaimana sudut pandang “dari luar” membuat hal-hal biasa di Bumi menjadi luar biasa: gunung, lautan, hujan tropis, badai besar—semuanya tampak dari ketinggian dengan perspektif yang memaksa kita berpikir ulang tentang posisi kita sebagai manusia. Sebagai contoh, sebuah badai tropis yang mendekat terlihat dari stasiun angkasa bukan hanya sebagai meteorologi, tetapi sebagai potret bagaimana manusia dan alam terhubung, saling memengaruhi.
Pada level struktur, novel ini dibagi menjadi 16 bab—menyelaraskan dengan 16 orbit harian tersebut—yang memberi rasa siklus, pengulangan, dan waktu yang berbeda dari pengalaman sehari-hari di Bumi.
Gaya penulisannya sangat puitis: “Raw space is a panther, feral and primal; they dream it is stalking through their quarters.” Ini menunjukkan bagaimana Harvey menggabungkan deskripsi fisik ruang angkasa dengan metafora spiritual dan eksistensial.
Kekuatan: Estetika, Perspektif Baru, dan Relevansi Lingkungan
Satu kekuatan besar novel ini adalah kemampuan merombak perspektif kita—melalui narasi yang menempatkan pembaca “di atas” Bumi, Harvey membuat hal yang biasa menjadi tak biasa, hal yang jauh menjadi dekat. Mayoritas kritik memuji bagaimana novel ini “makes our world strange and new for us”.
Kedua, lewat setting yang tak lazim (stasiun angkasa) namun fokus pada manusia biasa dan hal-hal universal—kesepian, kerinduan, tanggung-jawab—novel ini menjembatani fiksi ilmiah, sastra kontemplatif, dan eksistensial tunduk. Sebuah pendekatan yang langka dan memikat.
Ketiga, relevansinya dengan isu lingkungan sangat kuat: pandangan dari orbit memberi kita “blue marble” Bumi yang rapuh, mengingatkan bahwa keberlangsungan manusia terkait erat dengan planet ini. Sebuah baris kritik menyebut novel ini sebagai “planet held hostage by humans, a gun to its vitals.”
Kelemahan: Kurangnya Plot Tradisional dan Perkembangan Karakter Terbatas
Namun, novel ini juga menghadapi kritik penting. Beberapa pembaca merasa bahwa karena fokusnya lebih pada suasana dan refleksi, plot tradisional—konflik, klimaks, pengembangan karakter—terasa sangat tipis atau bahkan nyaris absen.
Sebuah review menyebut: “the reader never gets to sit with Chie’s inner turmoil or learn more about her relationship to her mother… by striving to address too many existential questions … the book sacrifices character development.”
Fakta bahwa banyak pembaca di forum Reddit “couldn’t recall any of the character names or many of the plot points” menunjukkan bahwa kalau Anda pembaca yang mencari narasi beralur kuat dan karakter yang dielaborasi, novel ini mungkin terasa kurang memuaskan.
Selain itu, mungkin bagi sebagian pembaca, labirin metafora, pengulangan orbit, dan refleksi spiritual dapat terasa “terlalu dangkal” aksi atau emosi—bahwa gaya menonjol melebihi substansi cerita.
Relevansi untuk Pembaca Indonesia dan Implikasi Praktis
Bagi pembaca di Indonesia, Orbital dapat menawarkan beberapa hal menarik:
Menjadi pengingat kuat tentang bagaimana kita sebagai bangsa dan individu terhubung ke planet yang sama, dan implikasi dari perubahan iklim, deforestasi, dan degradasi alam. Perspektif “dari atas” bisa membuka kesadaran baru tentang isu-isu lingkungan lokal.
Sebagai latihan literasi reflektif: novel ini cocok untuk diskusi literatur di kampus atau komunitas buku yang ingin mengeksplorasi tema manusia-alam, teknologi, dan spiritualitas.
Walaupun settingnya luar angkasa, banyak tema yang dekat dengan kehidupan di Bumi: kerinduan, jarak, rutinitas, pengamatan terhadap perubahan yang cepat.
Pembaca Indonesia bisa mengaitkannya dengan konteks diri mereka, misalnya membaca ruang angkasa sebagai metafora untuk kota besar, ketergantungan teknologi, atau globalisasi.
Untuk pengajar sastra atau lingkungan, novel ini bisa digunakan sebagai bahan pembicaraan lintas disiplin: ilmiah-fiksi, sastra kontemplatif, dan ekologi—yang bisa memicu siswa memikirkan ulang posisi manusia di planet ini.
Namun, pembaca yang mengharapkan “petualangan luar angkasa” atau fiksi ilmiah penuh alur dramatis mungkin perlu menyesuaikan harapan: Orbital lebih meditatif daripada thriller; lebih puisi daripada plot.
Penutup: Sebuah Kawan Kontemplatif di Atas Bumi
Orbital bukan sekadar novel tentang manusia di luar angkasa. Ini adalah meditasi tentang manusia dan bumi, tentang jarak dan kedekatan, tentang pengamatan dan partisipasi, tentang teknologi yang membuat kita terpisah namun tetap terhubung.
Harvey menulis dengan bahasa yang ringan namun tajam—menampilkan bahwa keheningan orbit bisa lebih berisik daripada gemuruh kota.
Novel ini bisa menjadi teman sepi bagi pembaca yang bersedia melambat, berhenti, dan melihat. Ia mengajak kita untuk “melayang” sejenak, mengintip Bumi dari luar, dan kemudian kembali ke kehidupan sehari-hari dengan kesadaran berbeda.
Bagi mereka yang menerima bentuknya, ia akan menjadi pengalaman menemukan: bahwa dalam perputaran 90 menit, dalam bayangan matahari yang terbit dan terbenam 16 kali, ada refleksi besar tentang tempat kita di alam semesta.