Kontroversi Kerja 4,5 Hari di Korea Selatan: Antara Produktivitas dan Kesejahteraan

ORBITINDONESIA.COM – Perubahan budaya kerja di Korea Selatan memicu perdebatan sengit: apakah keseimbangan hidup lebih penting daripada produktivitas ekonomi?

Korea Selatan dikenal dengan budaya kerja intensifnya. Pembahasan tentang pengurangan jam kerja menjadi 4,5 hari per minggu memunculkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Di satu sisi, karyawan mendambakan keseimbangan hidup yang lebih baik, namun di sisi lain, pengusaha khawatir akan dampaknya terhadap produktivitas dan biaya operasional.

Data OECD menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja tahunan di Korea Selatan mencapai 1.872 jam pada 2023, jauh di atas rata-rata negara maju lainnya. Namun, produktivitas pekerja masih belum sebanding, dengan GDP per jam kerja yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Eksperimen pengurangan hari kerja di beberapa perusahaan menunjukkan penurunan tingkat pergantian karyawan dan peningkatan kesejahteraan.

Dari sudut pandang ekonomi, penurunan hari kerja dapat mengurangi produktivitas, terutama di sektor manufaktur. Namun, dari perspektif sosial, langkah ini dapat mengatasi tantangan demografis, seperti angka kelahiran rendah. Pakar seperti Cho Joon-mo berpendapat bahwa pendekatan fleksibel yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan lebih efektif daripada regulasi seragam.

Perdebatan ini menyoroti kebutuhan untuk menyeimbangkan antara kesejahteraan individu dan kinerja ekonomi. Apakah mungkin menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak, atau akankah masalah ini terus menjadi polemik di masa depan? Langkah menuju reformasi kerja ini mungkin menjadi kunci bagi Korea Selatan dalam menghadapi tantangan abad ke-21.

(Orbit dari berbagai sumber, 4 November 2025)