BNPB: Korban Banjir dan Longsor yang Melanda Aceh, Sumut, dan Sumbar Mencapai 659 Jiwa, yang Hilang 475 Orang
ORBITINDONESIA.COM - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis pembaruan data korban banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar). Hingga Selasa, 2 Desember 2025 siang, jumlah korban meninggal dunia mencapai 659 jiwa, sementara 475 orang masih dinyatakan hilang.
Data ini disampaikan melalui situs resmi Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB) sebagai bagian dari Rekapitulasi Terdampak Bencana. Selain korban jiwa, BNPB mencatat 2.600 warga mengalami luka-luka dan total 3,2 juta jiwa terdampak banjir besar yang melanda tiga provinsi tersebut. Adapun warga yang mengungsi mencapai 1,1 juta jiwa.
Merespons tuntutan dari berbagai kalangan supaya pemerintah menetapkan status bencana nasional untuk kasus bencana di Sumatera tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menyatakan, bahwa perlu dipertimbangkan secara hati-hati, karena penetapan tersebut dapat menciptakan persepsi bahwa seluruh wilayah Indonesia sedang menghadapi krisis.
Dengan penetapan status bencana nasional maka seluruh kewajiban penanggulangan bencana tersebut berada di pundak pemerintah pusat. Menurut Tito, penanganan bencana di 3 provinsi itu sudah dilakukan secara nasional. Artinya, semua kementerian dan lembaga terkait sudah langsung digerakkan begitu bencana terjadi.
Kementerian Sosial akan memberikan santunan kepada ahli waris yang anggotanya meninggal dunia dalam bencana di 3 provinsi tersebut sebesar Rp 15 juta per jiwa, sedangkan korban luka-luka mendapat santunan Rp 5 juta.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf hari Selasa mengungkapkan, santunan ini merupakan bentuk tali asih dari pemerintah, yang akan diberikan setelah asesmen selesai.
Thailand juga mengalami bencana serupa pada waktu bersamaan dengan kejadian di Sumatera, yang mengakibatkan 170 orang meninggal. Pemerintah Thailand memberikan santunan kepada setiap keluarga yang kehilangan anggota keluarga sebanyak maksimal 2 juta baht atau sekitar Rp 1 miliar.
Greenpeace Indonesia menyatakan, bencana di 3 provinsi Sumatera tersebut bukan semata-mata disebabkan oleh siklon tropis, tetapi turut dipicu oleh daya dukung dan daya tampung lingkungan yang semakin terdegradasi.
Pengurus Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan aktivitas ekonomi ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) menjadi penyebab utama penurunan kemampuan ekosistem dalam menahan laju air hujan.
Pendapat serupa disampaikan oleh Manajer Penanganan dan Pencegahan Bencana Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Melva Harahap. Aktivitas ekonomi yang bersifat eksploitasi dengan izin konsesi berskala besar, kata Melva, telah memperparah degradasi lingkungan di wilayah tersebut.***