Amidhan Shaberah: Bencana Sumatra dan Peringatan Allah
Oleh Dr. Amidhan Shaberah
Ketua MUI 1995-2015/Komisioner Komnas HAM 2002-2007
ORBITINDONESIA.COM - Banjir bandang dan tanah longsor yang kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatra – Aceh, Sumut, dan Sumbar dalam beberapa hari terakhir menyisakan duka sekaligus pertanyaan besar: sejauh mana ulah manusia turut memicu dan memperparah bencana alam yang terjadi?
Di tengah dahsyatnya banjir bandang dan longsor yang menerjang pemukiman; gedung fasilitas umum; jembatan dan pusat-pusat perekonomian yang kemudian luluh lantak -- kita kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar persoalan teknis, melainkan juga moral dan spiritual.
Kita hidup di negara yang dikaruniai bentang alam yang luas, subur, dan indah. Namun, kekayaan itu sering berubah menjadi ancaman ketika eksploitasi terjadi tanpa kendali. Perambahan hutan di perbukitan Sumatera, alih fungsi lahan besar-besaran, dan praktik tambang ilegal telah melemahkan daya dukung alam. Semua itu menjadi pemicu utama banjir dan longsor yang tampak semakin sering dan semakin parah.
Dalam perspektif keagamaan, fenomena ini bukan sekadar peristiwa fisik yang dapat dihitung dengan analisis hidrologi atau geologi. Al-Qur’an telah sejak lama mengingatkan manusia tentang keterkaitan antara kerusakan alam dan perilaku manusia.
Firman Allah dalam Surah Ar-Rum ayat 41 menegaskan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Pesan ini terasa begitu relevan hari ini. Kerusakan yang terjadi bukanlah semata “musibah alam”, melainkan cermin dari kegagalan manusia menjaga amanah bumi.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi -- pemelihara, bukan perusak. Salah satu pesan Nabi yang kuat adalah larangan melakukan fasad (kerusakan) dalam bentuk apa pun, baik terhadap alam maupun sesama manusia dan makhluk hidup lain.
Nabi Muhammad juga menegaskan bahwa menebang pohon tanpa kebutuhan yang jelas merupakan tindakan yang mendatangkan murka Allah. Spirit ini menegaskan bahwa setiap tindakan yang merusak lingkungan pada dasarnya merupakan pelanggaran etik dan spiritual.
Ketika banjir bandang menerjang pemukiman di Sumatera dan tanah longsor menutup akses jalan desa, kerugian materi hanyalah salah satu dampaknya. Yang lebih menyayat adalah hilangnya rasa aman masyarakat dan rusaknya ekosistem yang selama bertahun-tahun menjadi sumber penghidupan. Di antara lumpur dan puing, kita melihat bukti bahwa alam yang selama ini memberi begitu banyak, kini menagih “pembayaran” atas kelalaian manusia mengelolanya.
Jangan dikira alam itu tidak bernyawa. James Lovelock dalam bukunya yang terekenal: Gaia: A New Look at Life on Earth menyatakan bahwa bumi itu hidup. Ia menangis ketika manusia merusaknya. Dan tersenyum Ketika manusia memeliharanya. Jika manusia merusaknya, bumi akan membalas perbuatan manusia. Dan sebaliknya, bila manusia mengasihi bumi, ia pun akan mengasihi manusia. Tulis Lovelock, bumi itu hidup seperti halnya manusia. Punya hati dan air mata.
Apa yang ditulis Lovelock kini terbukti. Ketika manusia membuat kerusakan di bumi, alam pun akan membalasnya. Bencana alam yang kemudian kita sebut banjir bandang, longsor, global warming, dan lain-lain – sesungguhnya merupakan reaksi alam terhadap “kejahatan manusia” yang merusak bumi. Dan Allah melalui ayat-ayat Alqur’an telah mengingatkan manusia seperti disebutkan di atas.
Namun, ayat-ayat peringatan dalam Al-Qur’an tidak pernah hadir tanpa harapan. Peringatan itu sekaligus adalah ajakan untuk kembali memperbaiki diri. Musibah bukan sekadar teguran, tetapi juga peluang untuk berubah. Saat bencana melanda, kita dihadapkan pada pilihan: terus mengulang pola salah yang sama, atau mulai membangun hubungan baru dengan alam berdasarkan kehati-hatian, penghormatan, dan tanggung jawab.
Itu berarti pemerintah perlu menanggung pekerjaan besar: mengawasi penerbitan izin tambang dan perkebunan, memperketat pengelolaan kawasan hutan, serta menata kembali daerah rawan bencana. Namun, tanggung jawab tidak berhenti pada negara. Setiap individu memiliki bagian dalam menjaga bumi, mulai dari mengurangi eksploitasi berlebihan hingga berpartisipasi dalam gerakan rehabilitasi lingkungan.
Musibah di Sumatera mengingatkan kita bahwa keseimbangan alam bukanlah sesuatu yang dapat ditawar. Kita memetik hasil dari apa yang kita tanam—baik atau buruk.
Ketika ayat-ayat Al-Qur’an berbicara tentang kerusakan akibat ulah manusia, ayat itu bukan hanya ditujukan kepada pelaku perusakan hutan atau perusahaan tambang besar. Ayat itu ditujukan kepada seluruh umat manusia, agar kita tidak lupa bahwa bumi bukan milik kita sepenuhnya, melainkan titipan yang harus dijaga.
Di tengah puing bencana, terselip harapan bahwa masyarakat dan pemerintah dapat mengambil pelajaran penting. Bahwa pembangunan harus melibatkan keberlanjutan, bahwa kesejahteraan tidak boleh dibangun dengan meruntuhkan daya dukung alam, dan bahwa spiritualitas dapat menjadi landasan moral bagi pengelolaan lingkungan.
Sumatra kembali berbicara kepada kita—melalui banjir, melalui longsor, melalui luka alam yang tampak di mata. Pertanyaannya: apakah kita mendengar? Apakah kita akan menjadikannya titik balik untuk menghormati kembali batas-batas yang telah lama kita langgar?
Bencana ini, sejatinya, adalah peringatan. Dan setiap peringatan adalah ajakan untuk kembali pada jalan yang lurus. Semoga kita tidak hanya meratap, tetapi juga berbenah.***