Buku Perang Pasifik Karya P.K. Ojong: Sejarawan-Jurnalis di Tengah Api Perang Dunia

ORBITINDONESIA.COM- Nama Petrus Kanisius Ojong (1920–1980) atau dikenal sebagai P.K. Ojong lebih dikenal publik Indonesia sebagai salah satu pendiri harian Kompas bersama Jakob Oetama. Namun di luar dunia jurnalistik, Ojong adalah seorang penulis sejarah populer yang serius dan teliti. Hal ini 

Melalui karya-karya seperti Perang Pasifik, Perang Eropa, Perang Dunia I, dan Nusantara dalam Arus Sejarah Dunia, ia menempatkan dirinya sebagai penghubung antara sejarah akademik dan kesadaran publik.

Buku Perang Pasifik yang terbit pada 1979 dan terbit edisi revisi pada 2006 menjadi salah satu karyanya yang paling dikenal, karena membahas fase paling menentukan dari Perang Dunia II di kawasan Asia dan Samudra Pasifik, yang sekaligus menjadi latar penting lahirnya kesadaran nasional di Indonesia.

Dengan gaya penulisan yang lugas, detail, dengan gaya populer serta informatif, dan bebas jargon akademik, P. K. Ojong berhasil menghidupkan kembali babak dramatis antara dua kekuatan besar: Jepang dan Sekutu.

Ringkasan Isi dan Struktur Buku

Buku ini secara garis besar memetakan periode 1941–1945, ketika Jepang, setelah menyerang Pearl Harbor, berusaha membangun imperium Asia Timur Raya (Dai Nippon Teikoku) dengan slogan “Asia untuk orang Asia”. Narasinya tersusun kronologis, tetapi disertai analisis sosial-politik yang membuatnya lebih dari sekadar kronik perang.

Pertama: Serangan ke Pearl Harbor dan Ekspansi Jepang

Bab-bab awal buku menggambarkan bagaimana Jepang yang baru bangkit dari isolasi abad ke-19 berubah menjadi kekuatan militer agresif. Serangan ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 dijelaskan Ojong secara rinci—tidak hanya dari sisi militer, tetapi juga dari segi strategi geopolitik dan psikologi bangsa Jepang yang merasa terpojok oleh embargo minyak Amerika Serikat.

Kedua: Pendudukan Jepang di Asia Tenggara

Ojong kemudian menjelaskan bagaimana Jepang melancarkan ofensif cepat ke Asia Tenggara: menaklukkan Filipina, Malaya, Burma (Myanmar), hingga Hindia Belanda.

Di bagian ini, pembaca disuguhi analisis yang menarik mengenai perubahan politik di Indonesia selama masa pendudukan Jepang.

Bagi Ojong, masa ini adalah paradoks: di satu sisi penuh penderitaan, di sisi lain justru menumbuhkan kesadaran politik kebangsaan yang kemudian meletus pada 1945.

Ketiga: Perlawanan Sekutu dan Balik Arah Perang

Bagian tengah buku menggambarkan pertempuran-pertempuran besar seperti Midway, Guadalcanal, Iwo Jima, dan Okinawa, yang menandai kebangkitan kembali kekuatan Sekutu di bawah Amerika Serikat.

Dengan gaya narasi yang mendekati jurnalisme perang, Ojong menulis seolah pembaca menyaksikan langsung pergulatan kapal-kapal induk dan pesawat kamikaze di samudra yang bergolak.

Keempat: Bom Atom dan Akhir Tragedi

Bab-bab terakhir menjadi klimaks tragis: jatuhnya Hiroshima dan Nagasaki akibat bom atom pada Agustus 1945. Di sini Ojong tidak hanya menguraikan fakta, tetapi juga menggugat moralitas perang modern.

Ia menyoroti bagaimana kemenangan yang dirayakan Amerika Serikat menyisakan luka mendalam bagi kemanusiaan.

Penutup buku ini menyinggung dampak Perang Pasifik terhadap Asia, terutama kebangkitan nasionalisme di Indonesia, Vietnam, dan negara-negara lain yang menyadari bahwa bangsa Eropa tidak lagi tak terkalahkan.

Dengan demikian, perang yang dimulai sebagai konflik imperialis justru melahirkan gelombang dekolonisasi global.

Tema dan Gagasan Utama: Antara Kolonialisme dan Kebangkitan Asia

Tema besar buku ini bukan hanya peperangan, tetapi pertarungan peradaban dan politik kolonial. Ojong memandang Perang Pasifik sebagai titik balik sejarah Asia, di mana rakyat di kawasan ini mulai menyadari kekuatannya sendiri setelah tiga abad dijajah Barat.

Ia menolak pandangan bahwa Jepang hanya penjajah baru yang menggantikan Belanda dan Inggris. Walau Jepang melakukan kekejaman, Ojong melihat bahwa propaganda Asia Timur Raya tanpa disadari membangkitkan gagasan kebangsaan Asia.

Inilah yang menjelaskan mengapa setelah Jepang kalah, negara-negara seperti Indonesia, Filipina, dan India segera memproklamasikan kemerdekaan.

Selain itu, Ojong mengangkat kritik tajam terhadap imperialisme Barat, yang menurutnya menjadi akar dari semua perang besar abad ke-20.

Baginya, Perang Dunia II di Pasifik adalah buah dari keserakahan ekonomi dan politik kolonial Eropa serta Amerika Serikat yang menekan Jepang hingga meledak dalam agresi.

Analisis Kritis: Sejarah Populer dengan Kedalaman Moral

Sebagai jurnalis sekaligus sejarawan autodidak, Ojong tidak menulis dengan gaya akademik penuh catatan kaki, melainkan dengan cerita yang hidup dan reflektif.

Namun di balik kesederhanaan bahasanya, terdapat analisis historis yang matang. Ia tidak berpihak secara ideologis kepada pihak mana pun; bahkan terhadap Jepang yang menjajah Indonesia, Ojong tetap menulis dengan obyektivitas moral.

Kekuatan utama buku ini ada pada sudut pandang Asia, yang jarang muncul dalam historiografi Perang Dunia II. Jika kebanyakan buku sejarah berbahasa Inggris menulis Perang Pasifik dari perspektif Amerika, Ojong menempatkan Indonesia dan Asia Tenggara sebagai pusat perhatian.

Ia mengajak pembaca melihat bagaimana perang global ini mengubah nasib jutaan rakyat jajahan, bukan hanya elite politik dunia.

Namun demikian, karena ditulis sebagai sejarah populer, buku ini kurang disertai rujukan akademik atau arsip militer, sehingga bagi peneliti sejarah profesional, isinya lebih bersifat interpretatif daripada dokumentatif.

Meski begitu, justru di situlah keunggulannya: Ojong menulis untuk membangkitkan kesadaran dan agar dipahami pembaca, bukan sekadar menumpuk data. P.K. Ojong berhasil mengajak pembacanya seolah-olah berada di medan perang dan merasakan suasana di medan Perang Pasifik.

Gaya Penulisan dan Nilai Literer

Bahasa yang digunakan Ojong sederhana, komunikatif, dan kadang diselingi dengan refleksi moral yang menggugah.

Ia tidak sekadar memaparkan pertempuran, tetapi juga mendalami sisi manusiawi perang: penderitaan penduduk sipil, dilema moral para serdadu, dan kebanggaan nasional yang rapuh.

Gaya naratifnya membuat sejarah terasa dekat. Setiap peristiwa ia jelaskan dengan konteks yang mudah dipahami pembaca awam tanpa mengorbankan kedalaman.

Ojong berhasil menempatkan diri sebagai “guru sejarah yang bercerita di ruang kelas besar bernama bangsa Indonesia.”

Relevansi Kontemporer

Dalam konteks kekinian, Perang Pasifik tetap relevan karena membuka mata tentang dampak kolonialisme dan perang global terhadap pembentukan identitas Asia.

Di era modern, ketika Asia kembali bangkit melalui ekonomi dan geopolitik, Ojong mengingatkan bahwa kebangkitan sejati bukan sekadar teknologi atau kekuatan militer, melainkan kesadaran sejarah dan kemanusiaan.

Buku ini juga mengajarkan pentingnya belajar dari sejarah agar bangsa Indonesia tidak kehilangan arah di tengah persaingan global.

Dengan memahami bagaimana Asia pernah terbakar oleh ambisi dan keserakahan, kita dapat lebih berhati-hati membangun masa depan tanpa mengulang tragedi.

Kesimpulan: Sebuah Epik Sejarah Asia dari Perspektif Nusantara

Buku Perang Pasifik karya P. K. Ojong adalah perpaduan antara catatan sejarah, renungan moral, dan kesadaran kebangsaan. Ia menulis bukan untuk sekadar menceritakan perang, tetapi untuk menjelaskan bagaimana perang itu membentuk dunia yang kita tinggali hari ini.

Karya ini menegaskan posisi Ojong sebagai sejarawan rakyat — seorang jurnalis yang menulis dengan tanggung jawab intelektual dan nurani kemanusiaan. Melalui buku ini, ia meninggalkan pesan bahwa memahami sejarah bukan soal menghafal tanggal dan tokoh, tetapi tentang mengenali arah kemanusiaan di tengah pusaran kekuasaan.

“Perang tidak pernah memberi pemenang sejati. Yang ada hanyalah bangsa-bangsa yang belajar atau binasa karenanya.”
P. K. Ojong, Perang Pasifik.***