Syaefudin Simon: Lucy Agnes yang Memilih Hudup Sederhana
Oleh Syaefudin Simon, Kolumnis/Penulis Satupena
ORBITINDONESIA.COM - Menjalani hidup mewah dan bergelimang harta mungkin menjadi impian banyak orang. Namun, bagi Lucy Agnes, putri tunggal konglomerat Paul Darmoko, kemewahan bukanlah tujuan akhir. Gadis berdarah ningrat bisnis ini—yang masih berkerabat dengan taipan rokok Robert Budi Hartono—justru memilih jalan yang berlawanan: meninggalkan segala gemerlap dunia dan menjadi biarawati.
Pilihan itu bukan keputusan yang mudah. Ia meninggalkan rumah besar, mobil mewah, dan masa depan yang pasti makmur. Dalam diam, Lucy memilih mengenakan jubah sederhana dan hidup dalam doa, pelayanan, dan kesunyian. Ia memilih hidup asketis, sebuah kehidupan yang memandang dunia hanya sebagai persinggahan, bukan tempat menetap.
Lucy Agnes menapaki jalan yang sama dengan mereka yang menolak diperbudak oleh dunia. Kita mengenal nama-nama seperti Bunda Teresa, Usman bin Affan, John Wesley, Santo Fransiskus dari Assisi, Raja Bhartrihari, hingga Siddhartha Gautama—mereka yang menemukan makna hidup bukan dalam tumpukan harta, melainkan dalam penyerahan diri kepada Yang Maha Tinggi.
Semua tokoh itu, dalam bahasanya masing-masing, menyuarakan pesan yang sama: dunia bukan segalanya. Ada kebahagiaan lain yang lebih dalam dan abadi—yaitu ketika jiwa manusia menyatu dengan Tuhannya, ketika hati tak lagi bergantung pada hal-hal yang akan hilang.
Ana al-Haq—"Akulah Kebenaran," kata sufi Al-Hallaj.
Sebuah kalimat yang menggambarkan puncak penyerahan, saat manusia menyatu dengan sumber segala kehidupan.
Hidup di Dunia yang Sementara
Di tengah hiruk-pikuk zaman modern, manusia seperti berlomba tanpa jeda. Semua ingin sukses, kaya, terkenal, dan diakui. Dunia terasa begitu penting, hingga banyak hati yang tenggelam di dalamnya.
Namun, di balik semua kemilau itu, ada kerapuhan yang sering kita abaikan. Dunia hanyalah panggung sandiwara yang singkat; apa pun yang kita kejar hari ini bisa lenyap besok. Kekayaan, jabatan, dan popularitas hanyalah bayangan sementara.
Di kitab klasik At-Tamtsil wal Muhadloroh ada tulisan hikmah yang sangat bagus.
> الدنيا كلها غموم، فما كان منها في سرور فهو ربح
“Seluruh dunia ini penuh dengan kesedihan, dan apa pun yang Mendatangkan sukacita darinya adalah keuntungan.”
Kalimat itu seperti mengetuk kesadaran: dunia bukan tempat bahagia, tapi ladang ujian. Jika sesekali kita diberi tawa, rezeki, atau kebahagiaan, itu bukan hasil jerih payah semata, melainkan anugerah kecil yang patut disyukuri—bukan alasan untuk terlena.
Kebahagiaan sejati bukan soal berapa banyak yang kita punya, tapi seberapa lapang hati kita menerima. Dunia bisa kita genggam, tapi jangan biarkan ia bersemayam di dada.
Silakan kaya, sukses, berprestasi—tidak ada yang salah dengan itu. Namun ketika ambisi duniawi menutup pintu kebijaksanaan, di situlah masalah bermula. Hati yang dikuasai dunia mudah gelisah, mudah iri, sulit bersyukur. Ia tak pernah cukup, selalu haus akan lebih banyak.
Padahal, ketenangan justru lahir dari kesadaran akan keterbatasan. Dari kemampuan menahan diri, mengukur kekuatan, dan mengendalikan emosi. Dunia menjadi ringan ketika kita menjalaninya dengan tenang, bukan dengan nafsu yang membara.
Letakkan Harta di Tangan, Bukan di Hati
Setiap manusia akan kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam hudupnya: waktu, kesempatan, orang yang dicintai, atau bahkan dirinya sendiri. Maka, tak bijak bila kita menggantungkan seluruh hati pada sesuatu yang pasti pergi.
Dunia hanyalah perjalanan singkat, sekadar halte tempat menunggu kereta menuju kehidupan berikutnya. Ketika kita terlalu mencintainya, maka kehilangannya akan terasa seperti luka yang tak sembuh.
Karena itu, letakkan dunia di tangan, bukan di dada. Jadikan ia alat untuk berbuat kebaikan, bukan tujuan yang menyesatkan.
Di sanalah letak kebijaksanaan sejati—hidup dalam dunia tanpa diperbudak olehnya.
Lucy Agnes telah memilih jalannya sendiri: melepaskan dunia untuk menemukan kedamaian batin. Keputusannya mungkin tampak aneh bagi sebagian orang. Tapi di situlah Lucy Agnes menemukan makna hakiki kehidupan.
Ia membuktikan bahwa tidak semua orang harus menaklukkan dunia—sebagian cukup menaklukkan dirinya sendiri.
Dan ketika itu terjadi, barulah kita benar-benar memahami makna kalimat yang sederhana tapi penuh makna:
Dunia bukan segalanya. ***