Mila Muzakkar: Beginikah Wajah Lain Sastrawan Indonesia?
(Catatan dari Konferensi Pers BRICS Literary Award, di TIM)
Oleh Mila Muzakkar
ORBITINDONESIA.COM - Katanya, sastra itu bisa bikin hati lebih lembut, mudah tersentuh, bahkan menumbuhkan empati, selain sekadar menambah wawasan atau hiburan.
Bukan hanya katanya, ada penelitiannya juga. Salah satunya dalam novel karya Tere Liye, “Bidadari-Bidadari Surga”, yang dianggap mampu membangkitkan emotional intelligence pembaca (Isrowiyatul Mahmudah, 2009).
Orang bisa cepat meleleh ketika dengar puisi, merasa empati setelah membaca novel tentang luka sejarah yang dialami penulisnya seperti karya Pramoedya Ananta Toer, atau termotivasi untuk bercita-cita tinggi seperti dalam novel Laskar Pelangi.
Anyway, tentang ini, aku punya pengalaman langsung. Buku puisi esai yang aku tulis, “Karena Perempuan, Aku Di-Cancel”, bahkan sampai pada tahap call to action (CTA), di mana pembaca merasa terpanggil melakukan aksi nyata yang berdampak setelah membaca puisi itu.
Setelah tulisan itu aku share di WAG, tiba-tiba pesan masuk datang:
“Mbak Mila, minta tolong kirim nomor telepon Sutinah (tokoh perempuan yang aku ceritakan mengalami diskriminasi hanya karena dia perempuan), ada yang mau transfer untuk membantu."
Serius? Nggak nyangka akan ada yang merespons seperti itu, dan dalam waktu nggak lama setelah tulisan itu tersebar.
Di hari-hari berikutnya, pesan-pesan WA lain masuk yang intinya bilang:
Mbak, dapat salam dari si A, katanya terima kasih sudah menuliskan kisah nyata yang banyak dialami perempuan.”
“Terima kasih sudah mewakili perasaan kami. Puisinya indah dan sangat menggugah,” kata yang lain.
Di titik itulah aku menyadari dan membuktikan gimana sastra, salah satunya puisi esai, mampu menjadi jembatan pesan kemanusiaan.
Tapi hari ini, di salah satu pusat kebudayaan Indonesia - PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki - secara langsung dan telanjang, aku menyaksikan pemandangan yang berbeda. Wajah lain dunia sastra.
Di forum kebudayaan internasional yang diadakan BRICS Writers Association Indonesia, di tengah-tengah konferensi pers BRICS Literary Award, sekelompok orang yang menyatakan diri sebagai perwakilan sastrawan se-Indonesia (sebagai orang awam, aku nggak paham ya apakah ini benar-benar mewakili sastrawan se-Indonesia?) menunjukkan sikap yang kontra dengan imej sastra di atas.
Aku mengenal dan biasa ngobrol dengan beberapa sastrawan. Kesanku, mereka berpikir terbuka, suka ngebanyol, kalau dikritik malah dibalas pakai metafor atau pantun.
Anyway, untuk informasi singkat, BRICS Literary Award adalah penghargaan sastra internasional yang baru berdiri tahun 2024. Yah, semacam penghargaan Nobel gitulah. Bedanya, kalau Nobel kebanyakan didominasi oleh orang-orang Barat dan Eropa, sementara BRICS Literary Award ini diinisiasi oleh negara-negara anggota BRICS seperti Rusia, Brasil, India, Cina, Afrika, dan sekarang Indonesia juga menjadi anggota.
Jadi mekanismenya, setiap negara yang tergabung di BRICS boleh mengusulkan nama sastrawan dari masing-masing negaranya, tapi dewan juri yang akan menilai harus dari negara lain. Misalnya, kalau calon sastrawannya dari Indonesia, maka yang memilih adalah dari Brasil, Afrika, Rusia, dan seterusnya. Jadi setiap negara hanya boleh mengusulkan nama, tidak boleh memutuskan pemenangnya.
Beberapa indikator penilaian juri adalah: karyanya merupakan sesuatu yang positif di negara masing-masing, seberapa banyak menarik perhatian masyarakat, dan apakah ada nilai-nilai tradisional atau lokal di dalamnya.
Setelah melalui proses pemilihan calon yang cukup panjang, menurut Koordinator Nasional Jaringan Sastra BRICS di Indonesia, Sastri Bakry, terpilihlah 10 nama shortlist dari 10 negara calon penerima penghargaan ini. Dari Indonesia, kandidatnya adalah Denny JA.
Kenapa Denny JA? Menurut Vadim Teryokhin — Koordinator Umum Asosiasi Penulis BRICS dan Wakil Ketua BRICS Literature Network (Rusia) — yang menjadi salah satu pembicara di forum ini, Denny JA adalah penulis dan pencipta genre puisi esai yang dianggap membawa pengaruh positif di Indonesia.
Ia sudah menerbitkan lebih dari 150 buku puisi esai di Indonesia dan Asia Tenggara, penerima ASEAN Humanitarian and Diplomacy Literature Award (2020), penerima Lifetime Achievement Award dari Satupena (2021), dan pernah masuk 30 tokoh paling berpengaruh di internet versi Time Magazine (2015).
Nah, nama Denny JA ini (kayaknya nama ini langganan banget jadi nama kontroversial) menjadi penyebab sekelompok sastrawan yang mengatasnamakan perwakilan sastrawan se-Indonesia menolak dengan cara dan sikap yang nggak elok, nggak intelektual, dan nggak empatik.
Kayak gimana nggak eloknya? Pertama, di saat narasumber dari Rusia masih membacakan nama nominasi dari Indonesia di depan, tiba-tiba mereka berteriak dari belakang: “Menolak!”, “Tidak setuju!”, “Karyanya buruk!” dan teriakan-teriakan lain yang menghakimi. Dua di antaranya bahkan menyerobot ke depan, pengen ngambil mic dari MC yang masih bertugas. Apa coba namanya kalau bukan nggak menghargai orang lain, apalagi tamu dari luar negeri yang nggak tahu apa-apa tentang kondisi dunia sastra di Indonesia.
Kedua, ini kan forum intelektual, diadakan oleh lembaga resmi, didukung oleh pemerintah dan Kedutaan Rusia, terbuka untuk publik, dan ingat: ini forum sastrawan loh (yang katanya berhati lembut, bijak, bla bla) dan dalam rangka bicara tentang penghargaan atas kebudayaan. Seorang intelektual, minimal banget, akan menyampaikan ketidaksetujuannya secara intelektual juga dong!
Aku agak kaget sih melihat pemandangan ini. Bukan karena perbedaan pendapatnya, bukan soal pro-kontra terhadap kandidat penerima penghargaan karena ini sangat normal untuk diperdebatkan, tapi tentang cara mereka (yang menamakan diri sastrawan se-Indonesia) menyampaikan pendapat di depan forum resmi yang dihadiri oleh perwakilan BRICS, Kedutaan Rusia, Lembaga Badan Bahasa, anggota DPR, dan kayaknya beberapa akademisi juga aktivis.
Selain kaget, aku juga agak malu sih sebagai orang Indonesia, melihat sikap sekelompok orang Indonesia, apalagi katanya sastrawan senior, punya sikap kayak gitu.
Ketiga, salah satu alasan dari sastrawan itu menolak nama Denny JA karena dianggap bisa bikin malu dunia sastra di tingkat internasional. Tapi, dia nggak sadar bahwa sikap yang ia tunjukkan justru yang mempermalukan nama Indonesia di mata orang-orang Rusia, dan mungkin bisa menyebar menjadi berita di tingkat dunia
Maksudku gini loh, aku nggak masalah dengan pro-kontra, itu biasa banget dalam hidup — bukan hanya dalam hal sastra — dan bahkan harus ada biar hidup lebih berwarna, ya nggak sih?
Tapi kan ada cara-cara yang lebih baik, yang menempatkan penghargaan satu sama lain, dan dengan pola komunikasi intelektual ala sastrawan yang bijak dan empatik, dalam menyampaikan ketidaksetujuan terhadap sesuatu.
Kalau ada yang nggak setuju dengan nama yang diusulkan ke penghargaan BRICS ini, sampaikan aja dengan misalnya, pertama, biarkan dulu pembicara menyelesaikan kalimatnya, lalu minta waktu bicara dengan baik.
Kedua, bikin forum publik lain dengan mengundang berbagai sastrawan dan orang-orang yang dianggap tepat untuk mendiskusikan tentang BRICS Award. Diskusikan nama-nama yang patut diusulkan, apa indikator penilaiannya, dan seterusnya. Bukan dengan cara mengacaukan dan merebut forum orang lain.
Ketiga, jika memang benar tujuannya adalah membela sastra, memangnya sastra yang kayak gimana sih yang mau disampaikan? Apa wajah sastra yang mudah marah, mengolok-olok, menghakimi orang lain yang mau ditonjolkan ke generasi sekarang?
Kalau kayak gini, aku khawatir Milenial dan Gen Z malah nggak tertarik dengan dunia sastra. Karena anak muda lebih senang bicara produktivitas dan dampak. Daripada dengerin orang berantem, lebih seru ngobrol sama AI.
Sebagai media pesan kemanusiaan, kenapa nggak memanfaatkan BRICS Award ini sebagai kesempatan untuk berlomba-lomba menampilkan berbagai macam karya sastra terbaik dari Indonesia, dan mendukung siapa pun yang memperjuangkan itu?
Taman Ismail Marzuki, 27 Oktober 2025***