Pertamina Dikorupsi Rp 285 triliun, Mendingan untuk Kereta Cepat Whoosh Jakarta-Surabaya yang Jauh Lebih Bermanfaat
Oleh Andre Vincent Wenas*
ORBITINDONESIA.COM - Perlu terus diingatkan ke publik bahwa Indonesia sejatinya adalah negara pengekspor BBM, bukan pengimpor seperti belakangan ini. Apalagi impornya dari Singapura yang nota bene mengimpor minyak mentahnya dari Indonesia. Minyak mentah itu “dicuci” sebentar di Singapura dan diekspor balik ke Indonesia.
Luar biasa pintar buat Singapura, dan luar biasa “tidak pintar”-nya Indonesia selama ini. Ulah mafia migas memang keterlaluan. Kita maksudkan mafia migas di sini adalah konspirasi orang-orang (pejabat-pengusaha bermental korup) yang telah meluluh lantakan Indonesia dalam jurang kemiskinan gegara kuadriliun rupiah telah dihabiskan untuk impor sesuatu yang sebetulnya mampu kita ekspor, yaitu Bahan Bakar Minyak (BBM) dan malah bisa dapat devisa.
Itu sketsa besarnya. Baru-baru ini dilaporkan skandal korupsi terkait Riza Chalid yang telah merugikan negara totalnya sampai Rp 285 triliun!!! Bandingkan dengan proyek Kereta Cepat Whoosh Jakarta-Bandung yang “cuma” Rp 120 triliun. Pertamina (atau Indonesia) dikorupsi habis percuma, bayangkan kalau dengan duit segitu proyek Kereta Cepat Jakarta ke Surabaya tentu bisa dibiayai dengan mudah.
Sekilas saja kita simak dari sidang Muhamad Kerry Adrianto Riza (anak Riza Chalid) selaku Beneficial Owner PT Tangki Merak dan PT Orbit Terminal Merak (PT OTM) yang bersama empat terdakwa lainnya, yakni 1) Eks Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PT PIS), Yoki Firnandi, 2) Senior Manager Crude Oil Supply PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI) periode 2022-1 April 2023, Agus Purwono, 3) Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara (PT JMN) dan Presiden Komisaris PT OTM, Dimas Werhaspati, dan 4) Komisaris Utama PT Jenggala Maritim Nusantara dan Presiden Direktur PT OTM, Gading Ramadhan Joedo. Betapa gila-gilaannya bancakan uang negara dihabiskan.
Dalam sidang itu terungkap, ada kerugian negara yang berasal dari pengeluaran yang seharusnya tidak dikeluarkan oleh PT Pertamina (Persero) maupun anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga karena memang tidak perlu, misalnya pembayaran “through-put fee” dan pekerjaan tambahan yang tidak perlu kepada PT Orbit Terminal Merak. Ini bancakan yang sudah tidak pakai malu lagi.
Dalam dakwaan jaksa terungkap PT Pertamina (Persero) telah memenuhi permintaan pihak Riza Chalid agar perusahaan menyewa terminal BBM yang akan dibeli oleh PT Tangki Merak dari PT Oiltanking Merak (OTM). Penyewaan tersebut terjadi sekitar kurun April 2012-November 2014. Padahal saat itu Pertamina tidak membutuhkan terminal BBM itu.
Akibat pembayaran sewa terminal BBM yang tidak diperlukan itu terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 2,9 triliun. Itu sekedar contoh kecil dari proses sewa-menyewa tanki yang tidak diperlukan Pertamina. Betapa mudahnya para koruptor yang bersekongkol dengan para ordal (orang dalam) Pertamina dan kemungkinan besar pejabat-pejabat di lingkaran Kementerian.
Hal menyebalkan yang juga terungkap misalnya, jaksa bilang bahwa sebagian uang pembayaran sewa terminal BBM Merak yang sudah diterima oleh PT Oiltanking Merak sebesar Rp 176,3 miliar mengalir masuk ke kantong Kerry dan Gading dan digunakan untuk bermain golf di Thailand bersama Dimas Werhaspati, Yoki Firnandi, Sani Dinar, Agus Purwono, dan Arief Sukmara. Pesta pora… Sawadikaaaappp !!!
Berikut rincian kerugian keuangan negara yang totalnya mencapai Rp 285 triliun tadi (menurut keterangan jaksa dan dikutip dari reportase KumparanNEWS, 14 Oktober 2025): Dari ekspor minyak mentah, yakni USD 1.819.086.068,47. Dari impor minyak mentah USD 570.267.741,36. Dari impor produk kilang atau BBM USD 332.368.208,49. Dari pengapalan minyak mentah dan BBM USD 11.094.802,31 dan Rp 1.073.619.047,05. Dari sewa terminal BBM Rp 2.905.420.003.854,06. Dari kompensasi Rp 13.118.191.145.790,47. Dari penjualan solar non-subsidi, yakni Rp 9.415.196.905.676,86.
Total keseluruhannya sebesar USD 2,7 miliar (setara Rp 45,1 triliun) dan Rp 25,4 triliun. Dengan demikian, total kerugian keuangan negara Rp 70,5 triliun. Kerugian Perekonomian Negara terdiri dari: Kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi yang ditimbulkan dari harga tersebut sebesar Rp 171,9 triliun.
Keuntungan ilegal yang didapat dari selisih antara harga perolehan impor BBM yang melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM dari pembelian yang bersumber di dalam negeri sebesar USD 2,6 miliar (setara Rp 43,1 triliun). Dengan demikian, total kerugian perekonomian negara dalam kasus ini yakni Rp 215,1 triliun. Jika ditotal, maka kerugian negara baik keuangan maupun perekonomian negara dalam kasus ini yakni mencapai sekitar Rp 285 triliun.
Whoosh… whoosh… whoosh duit negara pun meluncur deras ke kantong para mafia dan penjabat-pejabat korup itu. Sebagian habis untuk pesta pora main golf ke Thailand sebagian besar lainnya entah diparkir dalam bentuk deposito, belanja mobil mewah, villa atau property dan perhiasan mahal lainnya.
Kembali ke soal dasar. Janji Pertamina dulu (tahun 2018) untuk membangun 7 kilang baru dalam kurun 5 tahun terbukti hanya janji surga, kenyataannya nol besar. Akhirnya oleh manajemen Pertamina yang sekarang di bawah kepemimpinan Simon Aloysius Mantiri barulah dibuatkan onstream Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan.
Lalu kapan beroperasinya dan berapa besar kapasitasnya kilang-kilang baru yang direncanakan? Hal-hal ini belumlah dikemukakan secara terbuka. Sementara ini Pertamina “cuma” punya 6 kilang utama, yaitu di Dumai (Riau), Plaju (Sumatera Selatan), Cilacap (Jawa Tengah), Balikpapan (Kalimantan Timur), Balongan (Indramayu Jawa Barat), dan Kasim (Papua Barat). Kapasitas total sekitar seribu juta barrel lebih per hari, padahal konsumsi per hari sekitar 1,6 juta barrel.
Dalam hal Refinery Development Master Plan (RDMP), sebetulnya lebih dahulu mesti ditanya, kapan RDMP totalnya selesai? Maksudnya yang untuk keseluruhan (rencana nasionalnya). Ini fase planning, perencanaan yang membutuhkan kerja-kerja intelektual yang tinggi. Dalam terminologi PDCA (Plan-Do-Check-Act) dikenal adagium “If you fail to plan, you plan to fail” (kalau kamu gagal merencanakannya, kamu memang merencanakan untuk gagal).
Pertanyaan mendasar dalam suatu “strategic planning” adalah dengan memulai dari akhir, “begin with the end in mind”. Misalnya Indonesia akan kembali menjadi eksportir BBM dalam kurun 5 tahun ke depan. Kembali jadi anggota OPEC (Organization of Pertroleum Exporting Countries), misalnya.
Lalu dihitung proyeksinya, kebutuhan BBM sekarang, dan kebutuhan satu sampai dua dekade kedepan, kemampuan lifting minyak mentah, dan berbagai faktor lain (eksternal maupun internal) yang berkaitan dengan aspek PESTEL (Politics, Economy, Social, Technology, Environment and Legal), lalu Analisa SWOT. Akhirnya “policy cascading”, semua dihitung dan direncanakan dengan cermat.
Lalu ujungnnya keluarlah estimasi, Indonesia perlu 7 (atau lebih) kilang baru dengan kapasitas sekian juta barrel per hari. Dengan demikian kita bisa memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri serta mendapat devisa ekspor sekian miliar dollar dengan mengekspor sekian juta barrel.
Semua diperhitungkan dalam “plot” waktu yang masuk akal, dalam sekian tahun kilang mulai beroperasi, lalu tahun pertama produksinya berapa, tahun kedua berapa, sampai ke tahun produksi optimal. Itu dari sisi produksi. Kemudian dari sisi finansial juga dihitung cermat faktor investasi (pengembalian modal) sampai ke titik BEP (Break Even Point) dan potensi tambahan keuntungan dari aktivitas ekspor, dan lain-lain.
Kita tahu bahwa sebuah kilang minyak mampu memproduksi minyak bensin (gasoline). Minyak bensin merupakan produk terpenting dan terbesar dari kilang minyak. Lalu minyak tanah (kerosene), LPG (Liquified Petroleum Gas), Minyak distilat (distillate fuel), Minyak residu (residual fuel), Kokas (coke) dan aspal, Bahan-bahan kimia pelarut (solvent), Bahan baku petrokimia serta Minyak pelumas. Mungkin masih ada lainnya.
Pokoknya semua potensi Revenue (pemasukan) dan semua aspek Capex (Capital Expenditure) dan Opex (Operational Expenditure) dalam bentuk proyeksi dihitung terinci dan masuk akal. Segala bentuk mark-up atau “rencana korupsi” di-eliminasi sejak tahap perencanaan. Jangan ulangi kasus korupsi e-KTP dan BTS yang memang dikorupsi sejak tahap planning (perencanaan).
Karena itu keterbukaan publik menjadi imperatif bagi Pertamina. Go Public atau melakukan IPO (Initial Public Offering) alias melantai di bursa saham menjadi salah satu milestone penting. Pak Simon Aloysius Mantiri dan timnya harus bekerja keras dan cepat, secepat kereta Whoosh… whoosh… whoosh…
Jakarta, Minggu 19 Oktober 2025
*Andre Vincent Wenas, MM, MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta. ***