Catatan Denny JA: Mengapa Donald Trump Gagal Mendapatkan Nobel Perdamaian

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Di tepi gurun Negev, di bawah langit yang nyaris tak berawan, seorang ibu Palestina berlari tersandung pasir.

Ia memeluk anaknya yang telah sepuluh tahun tak pulang, anak yang ia kira sudah mati, ditelan perang. 

Kamera menyorot wajah mereka: air mata, tangan yang gemetar, dan bisikan lirih dalam bahasa Arab, “Alhamdulillah, kau masih hidup.”

Hari itu, lima puluh tujuh tawanan Palestina dibebaskan dari penjara Israel. Di sisi lain, dua belas warga Israel yang diculik Hamas juga dikembalikan.

Dunia menahan napas. Media internasional menulis satu nama di balik gencatan senjata itu: Donald J. Trump.

Ia menengahi perundingan yang gagal ditembus banyak pemimpin. Dalam waktu singkat, melalui tekanan ekonomi dan janji keamanan, ia berhasil memaksa dua musuh bebuyutan duduk di meja yang sama.

“Saya hanya ingin perdamaian, bukan penghargaan,” katanya kala itu, walau di dalam hatinya, ia tahu penghargaan itu sudah diidamkan: Hadiah Nobel Perdamaian.

-000-

Trump bukan diplomat konvensional. Ia tidak berpidato dengan kalimat filosofis, tetapi dengan transaksi politik yang tajam.
Dan hasilnya tak bisa diabaikan.

Pada tahun 2020, Abraham Accords lahir — kesepakatan bersejarah yang menormalisasi hubungan antara Israel dan empat negara Arab: Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.

Dunia terkejut; Timur Tengah yang selama puluhan tahun bergolak, tiba-tiba membuka pintu diplomasi baru.

Trump melanjutkan momentum itu. Ia memediasi perdamaian Serbia–Kosovo, mendorong stabilitas di Semenanjung Korea, dan bahkan mengklaim “mengakhiri tujuh perang” tanpa menembakkan peluru.

Di tengah dunia yang letih oleh konflik, ia tampil sebagai figur yang—setidaknya di atas kertas—mendamaikan.

Bahkan di Gaza tahun 2025, keberhasilannya menengahi gencatan senjata dan memulangkan sandera menempatkannya di halaman depan media global.

Banyak yang yakin, tahun itu Nobel akan jatuh ke tangannya.
Banyak yang yakin—termasuk dirinya sendiri.

-000-

Namun hari pengumuman itu tiba. Oslo sunyi. Nama Donald Trump tidak disebut. Dunia terbelah antara tawa dan simpati.

Trump marah di media sosial, menuduh Komite Nobel “hipokrit” dan “bias ideologis.”
Tapi di balik semua itu, ada alasan yang lebih dalam, lebih sunyi, dan lebih filosofis.

Tiga Alasan Mengapa Trump Gagal

1. Perdamaian yang Berdiri di Atas Transaksi

Komite Nobel tidak hanya menilai hasil, tapi juga jiwa dari proses. Trump membawa perdamaian? Ya, tapi dengan gaya yang menyerupai negosiasi bisnis.

Ia menjual keamanan demi keuntungan, bukan demi kemanusiaan.

Bagi Komite Nobel, perdamaian sejati bukan hasil barter politik, melainkan buah dari empati dan keadilan.

Trump mungkin menghentikan perang, tapi ia tidak menumbuhkan kepercayaan. Ia berdagang damai, bukan menanamkannya.

2. Paradoks Sang Pejuang dan Pemecah

Sementara ia menandatangani Abraham Accords, Trump juga menarik Amerika keluar dari Perjanjian Paris, menghentikan bantuan untuk WHO, dan memicu ketegangan dengan Iran serta Tiongkok.

Komite Nobel melihat paradoks ini: satu tangan menyalakan lilin, tangan lain meniupnya.

Dalam logika moral Nobel, perdamaian tidak bisa parsial. Ia harus konsisten dan universal.

3. Citra Diri yang Mendahului Misi

Trump begitu vokal menuntut Nobel, bahkan mengeluh di hadapan wartawan, “Obama mendapatkannya hanya karena berbicara, saya menciptakan perdamaian nyata.”

Namun di mata dunia, sikap itu memunculkan aroma keangkuhan. Perdamaian yang sejati tidak menuntut tepuk tangan. Ia cukup menjadi cahaya yang menerangi tanpa menyebut namanya sendiri.

Trump lupa bahwa dalam sejarah, Nobel bukan untuk mereka yang berteriak “aku pahlawan,” tetapi bagi mereka yang diam-diam menyalakan lilin di kegelapan.

-000-

Kegagalan Donald Trump meraih Nobel Perdamaian adalah pelajaran bagi semua pemimpin dunia. Bahwa perdamaian tidak dapat dibeli dengan kekuasaan, dan tidak lahir dari strategi, tetapi dari perubahan hati.

Mungkin Trump telah menciptakan gencatan senjata, tapi bukan kepercayaan. Ia memulangkan sandera, namun belum memulangkan rasa aman manusia terhadap sesamanya.

Komite Nobel mungkin tak memberinya penghargaan, namun sejarah tetap akan mengingat. Ia menunjukkan bahwa bahkan orang yang paling kontroversial pun dapat mengetuk pintu damai.

Hanya saja, pintu itu tak terbuka bagi yang mengetuk demi nama sendiri.

Perdamaian sejati adalah ketika seseorang tak lagi mengejar penghargaan, melainkan menghadirkan keheningan di mana dunia yang gaduh bisa beristirahat sejenak.

Dalam pusaran geopolitik modern, penghargaan terbesar kadang lahir bukan dari kekuatan militer atau ekonomi, melainkan dari kemampuan membangun kepercayaan lintas batas.

Itulah kekuatan lunak yang sesungguhnya. Penghormatan global tumbuh dari kerendahan hati, empati, dan ketulusan niat.  

Damai sejati bukanlah angka di neraca politik atau pesta kemenangan di Twitter. la adalah getar tangan Palestina-Israel yang tak lagi gemetar.

Juga bisikan "maaf" di perbatasan Serbia-Kosovo, atau secangkir kopi bersama di reruntuhan Gaza. 

Nobel tak diberikan untuk yang menciptakan jeda perang, melainkan untuk yang menanam benih percaya di tanah retak kebencian.

Dan di sanalah, jauh dari kamera dan tepuk tangan, sesungguhnya Nobel itu diserahkan, bukan oleh Komite di Oslo, tapi oleh hati nurani umat manusia sendiri.*

Jakarta, 19 Oktober 2025

Referensi:

[1] Nobel Peace Prize 2025: What Are Trump’s Credentials?, Al Jazeera (2025).

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1B9f5m48Uo/?mibextid=wwXIfr ***