Kapal Induk Indonesia dan Respons Negara Tetangga: Politik Laut yang Bergerak Sunyi

Oleh Satrio Arismunandar*

ORBITINDONESIA.COM - Indonesia direncanakan akan memiliki kapal induk ringan, yang dibeli bekas dari AL Italia. Kehadiran kapal induk Indonesia akan menimbulkan gema yang berlapis. Tidak ada satu pun negara di kawasan yang tak menoleh ketika kapal sekelas itu berlayar. Tapi gema itu bisa terdengar berbeda di tiap telinga.

Dunia — terutama tetangga dan kekuatan besar — akan membaca langkah Indonesia ini. Karena di dunia militer, setiap kapal besar bukan hanya soal mesin, tapi juga pesan.

Malaysia dan Singapura: Antara Cemburu dan Kekhawatiran Terselubung

Bagi Malaysia, langkah Indonesia akan terasa ambigu. Di satu sisi, mereka mungkin memahami: Indonesia sedang naik kelas, ingin memperkuat keamanan maritim kawasan. Di sisi lain, kapal induk berarti perubahan keseimbangan kekuatan di Selat Malaka — jalur yang vital bagi mereka.

Selama ini, Malaysia lebih menonjol di sektor udara dan Angkatan Lautnya lebih ramping. Kapal induk Indonesia bisa menimbulkan tekanan psikologis: “Apakah Jakarta sedang menyiapkan peran baru sebagai pengawal Selat Malaka — atau pengendali?”

Sementara Singapura, dengan armada kecil tapi sangat modern, akan membaca ini lebih strategis. Mereka tahu Indonesia tak sedang mengejar konfrontasi, tapi stabilitas. Meski begitu, mereka juga akan memperkuat interoperabilitas dengan sekutu lamanya — Amerika Serikat dan Australia — hanya untuk berjaga.

Australia: Ketegangan Terkendali di Selatan

Australia sudah terbiasa dengan langkah Indonesia yang semakin percaya diri di laut. Tapi kapal induk menghadirkan rasa waspada baru. Canberra selama ini menempatkan diri sebagai penjaga “sayap selatan” Indo-Pasifik, dengan armada kapal amfibi kelas Canberra miliknya sendiri.

Mereka paham, Indonesia kini punya kemampuan serupa — artinya, bukan lagi mitra junior di kawasan.

Namun dalam konteks strategis, justru ada peluang: Australia bisa melihat Indonesia sebagai penyeimbang alami terhadap Tiongkok di Samudra Hindia Timur. Jika hubungan diplomatik kedua negara dikelola dengan dewasa, kapal induk Indonesia justru memperkuat kerja sama security architecture kawasan, bukan mengancamnya.

Tiongkok: Perhatian Serius, tapi Tidak Langsung Terancam

Dari semua pihak, Beijing mungkin yang paling mencatat langkah ini dengan tenang namun teliti. Bagi Tiongkok, Indonesia selama ini adalah negara nonblok yang enggan berpihak. Tapi kapal induk — apalagi bila disertai latihan bersama dengan AS, Jepang, atau India — bisa dianggap sebagai tanda bahwa Jakarta mulai menegaskan posisi geopolitiknya.

Tiongkok sendiri kini mengoperasikan tiga kapal induk, dengan ambisi menjangkau Samudra Hindia dan Pasifik Selatan. Kehadiran kapal induk Indonesia tak mengancam langsung, tapi mempersempit ruang manuver mereka di Laut Natuna dan selatan Laut China Selatan.
Jakarta mungkin tak bermaksud “menghadang”, tapi kehadirannya di wilayah itu membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum menekan terlalu jauh.

India: Rasa Hormat dan Harapan Kolaborasi

India melihat Indonesia sebagai mitra kunci di sisi timur Samudra Hindia. Bagi New Delhi, setiap langkah Indonesia untuk memperkuat armada lautnya adalah kabar baik — terutama jika mengarah ke pengamanan jalur energi dari Teluk Persia ke Asia Timur.

Kapal induk bagi India bukan hal baru; mereka telah mengoperasikannya sejak 1960-an. Jadi ketika Indonesia melangkah ke arah yang sama, India akan cenderung menawarkan tangan, bukan reaksi.

Latihan bersama, pertukaran teknis, dan kolaborasi keamanan maritim bisa meningkat. Indonesia dan India bisa berbagi beban menjaga rute perdagangan di Samudra Hindia — dari Selat Sunda hingga Kepulauan Andaman.

Amerika Serikat dan Jepang: Dukungan Berhati-hati

Washington dan Tokyo akan melihat langkah ini sebagai peluang sekaligus ujian. Peluang, karena kapal induk memperkuat posisi Indonesia sebagai partner of stability di Indo-Pasifik. Ujian, karena mereka harus memastikan bahwa Indonesia tetap menjaga jarak strategis dan tidak condong ke blok mana pun.

AS mungkin akan menawarkan pelatihan awak kapal, transfer teknologi helikopter, atau latihan carrier operation bersama. Jepang, dengan pengalaman operasional Izumo-class carrier, bisa menjadi mitra alami untuk aspek teknis dan logistik.

Namun, kedua negara ini juga akan memperhatikan pesan politiknya: apakah Indonesia tetap “bebas-aktif”, atau mulai menyusun blok baru kekuatan di laut?

Kekuatan Baru yang Tak Perlu Berisik

Indonesia, jika cerdas memainkan kartu ini, tak perlu menggertak siapa pun. Kapal induk bukan senjata untuk menakut-nakuti; ia alat untuk menegaskan bahwa negara ini siap menjaga kepentingannya sendiri, tanpa harus memohon perlindungan.

Keunggulan Indonesia justru terletak pada ambiguitas konstruktif: tidak memihak, tapi berdaya; tidak agresif, tapi berwibawa. Dalam lanskap Indo-Pasifik yang sarat kecurigaan, itu aset langka.

Penutup: Laut Sebagai Bahasa Kekuasaan Baru

Jika dilihat dari jauh, akuisisi kapal induk ini adalah langkah yang senyap tapi dalam.

Dunia mungkin melihat Indonesia sedang mencoba memperkuat diri. Tapi sejatinya, Indonesia sedang menulis ulang cara ia dipersepsikan — dari negara kepulauan yang reaktif, menjadi kekuatan maritim yang proaktif.

Samudra bukan lagi batas. Ia berubah menjadi ruang bicara. Dan lewat kapal induk itu, Indonesia akhirnya punya mikrofon yang cukup besar untuk didengar.

-ooo-

*Dr. Ir. Satrio Arismunandar, M.Si., MBA* adalah penulis buku dan wartawan senior. Saat ini menjabat Pemimpin Redaksi media online OrbitIndonesia.com dan majalah pertahanan/geopolitik/hubungan internasional ARMORY REBORN.

Ia saat ini menjadi Staf Ahli di Biro Pemberitaan Parlemen, Sekretariat Jenderal DPR RI. Juga, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA (sejak Agustus 2021).

Ia pernah menjadi jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-2001), Executive Producer di Trans TV (2002-2012), dan beberapa media lain.

Mantan aktivis mahasiswa 1980-an ini pernah menjadi salah satu pimpinan DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) di era Orde Baru pada 1990-an. Ia ikut mendirikan dan lalu menjadi Sekjen AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 1995-1997.

Ia lulus S1 dari Jurusan Elektro Fakultas Teknik UI (1989), S2 Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional UI (2000), S2 Executive MBA dari Asian Institute of Management (AIM), Filipina (2009), dan S3 Filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2014). Disertasinya tentang perilaku korupsi elite politik di Indonesia dalam perspektif strategi kebudayaan.

Buku yang pernah ditulisnya, antara lain: Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia: Perspektif Strategi Kebudayaan (2021); Lahirnya Angkatan Puisi Esai (2018); Hari-hari Rawan di Irak (2016); Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi (kumpulan puisi esai, 2015); Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penggulingan Rezim Soeharto (2005); Megawati, Usaha Taklukkan Badai (co-writer, 1999); Di Bawah Langit Jerusalem (1995); Catatan Harian dari Baghdad (1991); Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (Antologi bersama, 2018); Kapan Nobel Sastra Mampir ke Indonesia? (2022); Direktori Penulis Indonesia 2023 (2023).

Pernah mengajar sebagai dosen tak tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), IISIP, President University, Universitas Bakrie, Sampoerna University, Kwik Kian Gie School of Business, dan lain-lain.

Kontak/WA: 0812 8629 9061. E-mail: sawitriarismunandar@gmail.com ***