Denny JA: Menuju Kemandirian dan Energi Hijau

- Kick-Off Menuju 1 Juta Barrel Per Day di Tahun 2029, Mungkinkah?

Oleh Denny JA

Suatu malam di sebuah desa pesisir di Sulawesi, lampu-lampu tiba-tiba padam.

Anak-anak yang sedang belajar berhenti menulis.

Ibu-ibu yang menanak nasi dengan rice cooker terdiam menunggu listrik menyala kembali.

Di kejauhan, suara generator tua mengerang pelan.

Seorang ayah berkata lirih kepada anaknya, “Kita harus sabar, Nak. Energi itu mahal.”

Kalimat sederhana itu menyentuh inti persoalan bangsa: kemandirian energi bukan sekadar angka di laporan, tetapi soal martabat hidup rakyat.

Ketika listrik padam di pelosok, di situlah terasa betapa rapuhnya ketergantungan pada energi impor.

Ketika harga minyak dunia naik, harga pangan pun ikut bergejolak.

Dan ketika negara lain menutup pasokan energinya, rakyat di negeri sendiri bisa kehilangan terang.

Dari cerita-cerita sederhana semacam inilah kesadaran tumbuh:

Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri.

Bukan hanya kaya akan sumber daya, tapi juga berdaulat dalam mengelolanya.

Maka lahirlah satu tekad nasional yang disebut: Roadmap Menuju 1 Juta Barrel per Day Tahun 2029, sebagai langkah awal menuju kemandirian dan energi hijau.

-000-

Jika melihat realisme di lapangan, 1 juta barrel per day di tahun 2029 (1M29)—hanya minyak saja, di luar gas—memang sulit, hampir mustahil dicapai.

Namun justru di sanalah letak romantisme dan perjuangannya.

Roadmap itu bukan sekadar proyek industri.

Ia adalah ijtihad energi bangsa—sebuah ikhtiar besar agar minyak dan gas Indonesia kembali menjadi tulang punggung kemandirian nasional.

Langkah awalnya dimulai dalam kick-off meeting di Jakarta, di sebuah ruangan yang dipenuhi para konsultan, komisaris, direksi, dan aneka komite Pertamina Hulu Energi, pada 15 Oktober 2025.

Di layar besar tertulis tegas:

“Menuju 1 Juta Barrel Per Day, 2029.”

Di sanalah dimulai perjalanan menyusun sebuah buku putih—The White Book—yang akan menjadi panduan kerja kolektif.

Executive summary-nya kelak akan diserahkan langsung kepada Dirut Pertamina, dan juga kepada Presiden Prabowo Subianto, sebagai stakeholder tertinggi energi bangsa ini.

Di dalamnya tersusun arah baru:

bukan sekadar memperbanyak produksi, tetapi membangun sistem energi yang berkelanjutan dan rendah karbon.

Karena masa depan tak lagi dimenangkan oleh siapa yang paling banyak membakar minyak,

melainkan oleh siapa yang paling cerdas memelihara bumi.

-000-

Selaku Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi—yang sejak dilantik membawa spirit ini—dalam acara pengarahan Kick-Off itu saya membuka dengan kutipan dari Victor Hugo:

“Tak ada yang lebih kuat dari sebuah gagasan yang waktunya telah tiba.”

Gagasan kemandirian energi dan produksi satu juta barel itu datang tepat pada waktunya.

Ketika dunia sedang bertransisi menuju ekonomi hijau, Indonesia tidak boleh tertinggal.

Kemandirian energi bukan nostalgia masa lalu, tetapi syarat untuk bertahan di masa depan.

Negeri ini memiliki sumber daya melimpah.

Namun selama pengelolaannya bergantung pada pihak lain, ketergantungan itu akan terus membatasi langkah.

Kini waktunya membalik keadaan.

Kemandirian harus menjadi kenyataan, bukan slogan.

-000-

Dalam rencana awal, target nasional produksi minyak tahun 2029 berada di angka sekitar 850 ribu barel per hari—sebuah capaian realistis, namun belum cukup menggugah semangat kebangsaan.

Roadmap baru ini mengubah arah itu.

Bukan lagi business as usual, melainkan kerja luar biasa untuk hasil luar biasa.

Targetnya dipercepat: satu juta barel per hari bukan di 2032 atau 2033, tetapi di 2029.

Ini bukan hanya soal angka, tapi soal keberanian menegosiasikan batas diri.

Karena energi adalah medan perjuangan baru—antara disiplin dan inovasi, antara ilmu dan keberanian.

-000-

Enam Kisi-Kisi Menuju 1 Juta Barrel Per Day Tahun 2029

1. Revitalisasi Merger dan Akuisisi

Yang paling penting adalah perubahan mindset.

Produksi nasional jangan dibatasi hanya oleh teritori nasional.

Seluruh bumi Tuhan ini adalah area produksi nasional jika Pertamina melakukan akuisisi dan merger yang legal dan sah di mana pun.

Wilayah Indonesia hanya 1,63 persen dari total luas dunia.

Maka definisi produksi nasional harus keluar kandang: mencakup aset strategis di luar negeri yang dimiliki atau dikendalikan oleh perusahaan Indonesia.

Langkah tercepat menuju satu juta barel adalah memperluas sumber produksi melalui M&A generasi baru.

Negara lain telah membuktikannya.

Tiongkok, misalnya, menambah kapasitas produksinya secara signifikan setelah CNOOC mengakuisisi Nexen pada 2012–2013 dari Kanada. Akuisisi itu menambah lebih dari 150–200 ribu barel per hari bagi produksi nasional Cina.

Indonesia dapat menempuh jalan serupa—bukan sekadar memperbanyak portofolio, tapi mempercepat pertumbuhan.

Sebuah task force khusus yang kuat perlu dibentuk untuk mempercepat proses ini dengan prinsip transparansi dan tata kelola yang kokoh.

Keberanian digandeng dengan akuntabilitas; percepatan dijaga oleh integritas.

Karena di era baru ini, kecepatan tanpa tata kelola adalah bahaya,

tetapi tata kelola tanpa keberanian akan dikalahkan oleh waktu dan kompetitor.

-000-

2. Dari 2C ke 2P ke Produksi: Menyulap Potensi Menjadi Pendapatan

Ribuan data cadangan minyak Indonesia masih berstatus 2C (contingent resources)—potensi yang belum bisa diproduksi.

Jika dibiarkan, ia hanya menjadi angka di atas kertas, indah tapi tak berguna.

Transformasi dari 2C ke 2P (proven plus probable) hingga akhirnya menjadi produksi nyata adalah kunci menuju 1 juta barel.

Setiap potensi yang dihidupkan berarti pemasukan bagi negara, lapangan kerja bagi rakyat, dan bukti bahwa ilmu geosains Indonesia mampu bersaing di tingkat global.

Kini teknologi AI dan digital subsurface modeling membantu mempercepat langkah ini.

Apa yang dulu memakan waktu bertahun-tahun, kini bisa divalidasi dalam hitungan bulan.

Setiap titik data menjadi denyut energi.

Setiap sumur yang hidup kembali adalah simbol kebangkitan bangsa.

-000-

3. Minyak Non-Konvensional: Teknologi Mutakhir

Cadangan minyak non-konvensional (MNK) di Indonesia sesungguhnya besar, tersebar dari Sumatera hingga Kalimantan.

Namun selama ini tersembunyi di balik tantangan teknologi dan biaya tinggi.

Minyak non-konvensionallah yang membuat Amerika Serikat melompat jauh.

Dengan teknologi pengeboran canggih, negeri Paman Sam kini menjadi produsen minyak terbesar di dunia—dari batu yang dulu dianggap tak ekonomis.

Kini, dengan kombinasi riset, kemitraan global, dan teknologi terkini, cadangan MNK Indonesia mulai dibuka.

Targetnya jelas: 150 ribu barel per hari dari MNK antara 2026–2029.

Jika target itu tercapai, romantisme menuju 1 juta barel per hari di tahun 2029 bukan lagi utopia.

Ada nilai filosofis di baliknya:

bahwa bangsa ini tak menyerah hanya karena sesuatu tampak sulit.

Di tangan manusia berilmu dan beriman pada kemajuan, bahkan batu pun bisa mengeluarkan minyak.

-000-

4. Menjinakkan Decline: Menyelamatkan yang Tua, Menghidupkan yang Baru

Sebagian besar lapangan minyak Indonesia adalah lapangan tua.

Produksinya menurun alami 8–20 persen per tahun.

Namun dengan inovasi dan ketekunan, decline rate harus ditekan hingga 6 persen per tahun.

Angka itu lahir dari analisis lembaga energi dunia seperti IEA dan studi akademik internasional.

Itu menjadi benchmark rata-rata decline rate global untuk lapangan konvensional.

Inilah seni menjaga kehidupan sumur tua—seperti merawat orang tua yang masih bijak dan produktif.

Melalui Enhanced Oil Recovery (EOR), injeksi CO₂, dan pemantauan berbasis AI, sumur-sumur lama diberi napas baru.

Setiap tetes tambahan dari sumur tua adalah penghormatan terhadap warisan pendahulu bangsa.

-000-

5. Efisiensi dan Kecerdasan Finansial

Produksi energi tak bisa hanya digerakkan oleh semangat; ia harus disertai efisiensi dan kecerdasan finansial.

Biaya pengeboran MNK dioptimalkan agar turun bertahap hingga USD 14–15 juta per sumur, dari kisaran USD 20 juta saat ini.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, sumur shale hanya sekitar USD 2–3 juta per sumur di wilayah utama seperti Permian, Eagle Ford, dan Bakken.

Strategi cluster drilling dan AI-based design menjadikan setiap dolar lebih bermakna.

Efisiensi bukan sekadar penghematan, tapi kebijaksanaan dalam menggunakan sumber daya.

Energi yang berkelanjutan lahir dari pikiran efisien dan hati yang jernih.

-000-

6. Mengurai Benang Kusut: Regulasi dan Insentif

Kemandirian energi juga memerlukan dukungan lintas lembaga: fiskal, perizinan, dan investasi.

Karena itu, roadmap ini menuntut task force lintas institusi untuk mempercepat seluruh enabler: perizinan, fiskal, hingga kebijakan investasi.

Di sinilah kemauan politik diuji.

Kemandirian energi tak akan lahir jika regulasi berjalan lebih lambat dari semangat bangsa.

Zaman telah berubah.

Kini kecerdasan buatan menentukan lokasi pengeboran terbaik, drone memantau pipa, dan algoritma memprediksi kebocoran bahkan sebelum terjadi.

Namun teknologi hanyalah alat.

Yang terpenting tetap niat manusia yang menggunakannya.

Dunia usaha juga diajak ikut serta—bukan sekadar investor, tetapi mitra bangsa.

Energi yang adil tidak lahir dari kompetisi, melainkan dari kolaborasi yang saling memperkuat.

-000-

Menjadi Pelopor Energi Rendah Karbon

Ada satu bab baru yang membuat roadmap ini berbeda:

Indonesia tak hanya mengejar jumlah minyak, tetapi juga mengejar kesucian udara.

Menjadi pelopor energi rendah karbon berarti membuktikan bahwa kemajuan dan kelestarian bisa berjalan seiring.

Produksi meningkat, tetapi bumi tidak semakin luka.

Langkah awal dimulai di PT Badak LNG, Kalimantan Timur—pusat inovasi energi hijau.

Salah satunya: konversi CO₂ menjadi DME (Dimethyl Ether) dan metanol, bahan bakar bersih pengganti LPG.

Di sini, karbon tidak lagi dianggap musuh, tetapi bahan mentah kehidupan baru.

Asap diubah menjadi energi; polusi menjadi nilai tambah.

Teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) diterapkan: CO₂ dikompresi lalu disimpan jauh di bawah tanah, di formasi geologi yang aman—seolah bumi kembali menelan jejak karbon yang dulu ia lepaskan.

Untuk meyakinkan dunia, proyek energi bersih Indonesia harus diukur dengan standar global.

Karena itu, sertifikasi seperti ISO 14064-1, ISO 50001, dan VERRA Carbon Credit diterapkan.

Dengan sertifikasi ini, setiap langkah produksi dapat diverifikasi, setiap emisi dihitung, dan setiap inovasi diperjualbelikan di pasar karbon internasional.

Indonesia tak lagi hanya menjual minyak, tapi juga kredibilitas dan komitmen pada masa depan.

Dapat ditambahkan di sini strategi circular energy economy: daur ulang limbah tambang menjadi material konstruksi ramah lingkungan. Misalnya, slag jadi paving block, dan konversi gas flare menjadi listrik desa.

Dengan memadukan prinsip ekonomi sirkuler dan kearifan lokal ("zero waste"), roadmap ini tak hanya mencapai target produksi, tetapi juga menjadi model global energi berkelanjutan.

-000-

Energi bukan hanya urusan mesin dan pipa, tetapi juga urusan jiwa dan tanggung jawab.

Cara bangsa memperlakukan energinya mencerminkan cara bangsa itu memperlakukan masa depannya.

Di masa lalu, minyak mungkin sekadar sumber kekayaan.

Kini, minyak adalah amanah moral.

Setiap barel yang diproduksi harus membawa manfaat bagi manusia, bukan sekadar laba bagi korporasi.

Energi sejati adalah ketika kilang tak hanya menghasilkan bahan bakar, tetapi juga menyalakan harapan.

-000-

Maka dari seluruh perjalanan ini lahirlah satu kalimat yang menjadi roh:

“PHE: Pelopor Energi Rendah Karbon, berikhtiar mencapai 1M29—1 juta barrel per day di tahun 2029.”

Ini bukan sekadar slogan, tetapi kompas moral.

Bahwa di tengah persaingan global, Indonesia memilih jalan berdaulat, berakal, dan beradab.

Satu juta barel per hari bukan hanya tentang kemampuan industri,

tetapi tentang iman terhadap masa depan bangsa.

Kemandirian energi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga revolusi nilai.

Semua institusi yang terkait harus bersinergi menghidupkan kembali kearifan lokal: silih asah, asih, asuh.

Belajar, mengasihi, dan merawat—setiap kebijakan energi harus menjadi cermin karakter bangsa.

Kemandirian adalah janji pada masa depan: warisan bumi yang utuh bagi generasi yang merdeka.

-000-

Ketika malam kembali tiba di desa pesisir itu, lampu-lampu perlahan menyala.

Anak-anak melanjutkan belajar, ibu-ibu menanak nasi, dan seorang ayah tersenyum melihat rumahnya terang kembali.

Kemandirian energi bukan sekadar istilah teknis.

Ia adalah keadilan yang terasa hingga ke dapur rakyat.

Ia adalah doa yang dijawab dengan kerja keras, inovasi, dan cinta tanah air.

Karena setiap revolusi besar selalu dimulai dari gagasan yang waktunya telah tiba.

Dan kini, waktunya telah tiba—

bagi Indonesia untuk menyala,

bukan hanya terang oleh listrik dan minyak,

tetapi juga oleh semangat menjadi pelopor energi rendah karbon dan penghasil 1 juta barel per hari di tahun 2029.*

 

Jakarta, 16 Oktober 2025

REFERENSI

1. Smil, Vaclav. Energy and Civilization: A History. MIT Press, 2017.

2. Yergin, Daniel. The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations. Penguin Press, 2020.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/18dBvBnySV/?mibextid=wwXIfr