Ketegangan di Tengah Gencatan Senjata Gaza: Bantuan Tertahan di Perbatasan Rafah

ORBITINDONESIA.COM - Meski dunia menyambut lega pengumuman gencatan senjata antara Israel dan Hamas pasca KTT Perdamaian di Mesir pekan lalu, ketenangan di Jalur Gaza masih jauh dari pulih. Di balik pernyataan diplomatik dan foto-foto pertemuan para pemimpin dunia, krisis kemanusiaan di lapangan terus memburuk—terutama di sekitar perbatasan Rafah, satu-satunya gerbang vital yang menghubungkan Gaza dengan Mesir.

Israel hingga kini menahan sebagian besar aliran bantuan kemanusiaan yang hendak masuk ke Gaza. Langkah itu disebut sebagai bentuk tekanan terhadap Hamas, yang dianggap belum menunjukkan “itikad nyata” dalam mengembalikan jenazah para sandera Israel yang tewas selama pertempuran.

Pemerintah Israel menyebut bahwa setiap proses normalisasi, termasuk pembukaan jalur bantuan, “harus sejalan dengan komitmen penuh dari pihak Hamas terhadap kesepakatan pasca-gencatan senjata.”

Sementara itu, di sisi lain perbatasan, truk-truk bantuan dari berbagai lembaga internasional menumpuk di bawah terik matahari Sinai. Palang Merah Internasional, Bulan Sabit Merah Mesir, dan badan-badan PBB seperti WFP dan WHO melaporkan adanya keterlambatan signifikan dalam distribusi logistik. Bantuan medis, makanan bayi, hingga bahan bakar untuk rumah sakit terpaksa menunggu izin melintas yang tak kunjung diberikan.

“Setiap jam keterlambatan berarti nyawa,” ujar seorang pejabat WHO di Kairo, menggambarkan situasi di rumah sakit Gaza yang kini kekurangan oksigen dan obat-obatan dasar. Di beberapa wilayah utara Gaza, warga mulai memanfaatkan sumur air asin dan menyalakan generator darurat dengan bahan bakar sisa.

Rafah sendiri menjadi simbol dari paradoks Gaza—pintu yang menghubungkan dunia luar, tapi sekaligus saksi betapa rapuhnya harapan bagi warga yang terperangkap di dalamnya. Meskipun Mesir berupaya menengahi agar bantuan dapat mengalir dengan pengawasan ketat, negosiasi mengenai mekanisme distribusi masih menemui jalan buntu. Israel menuntut kontrol penuh atas semua kargo yang masuk, sementara kelompok Hamas menilai hal itu sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan dan hasil kesepakatan KTT.

Sumber diplomatik di Kairo menyebut bahwa tekanan kini meningkat terhadap kedua pihak untuk menunjukkan “komitmen pascaperang yang nyata.” Namun, kepercayaan yang terkikis selama berbulan-bulan konflik membuat setiap langkah kecil menuju koordinasi terasa berat.

Sementara dunia menunggu hasil negosiasi lanjutan, Gaza kembali terperangkap dalam diam yang tidak benar-benar damai—gencatan senjata di atas kertas, tapi penderitaan di lapangan belum surut. Rafah tetap tertutup, dan di balik gerbangnya, ribuan orang masih menunggu seberkas tanda bahwa kemanusiaan belum sepenuhnya kehilangan arah.***