Abdul Aziz: Ambruknya Ponpes Al-Khoziny dalam Perspektif Fikih
Oleh Dr. Abdul Aziz, M.Ag., Dosen Fakultas Syarian UIN Raden Mas Said, Surakarta
ORBITINDONESIA.COM - Tragedi ambruknya bangunan tiga lantai Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 September 2025, menyisakan duka mendalam. Ratusan santri yang tengah salat Asar terjebak di bawah reruntuhan beton. Ratusan santri luka parah dan puluhan lainnya tewas.
Namun di balik tangis itu, muncul pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab? Apakah semuanya bisa diserahkan kepada “takdir Allah”, atau ada unsur kelalaian manusia yang harus dipertanggungjawabkan — bukan hanya di hadapan hukum negara, tapi juga di hadapan Allah?
Pengasuh pondok, KHR. Abdus Salam Mujib, menyebut peristiwa itu sebagai takdir Allah. Sebagai ungkapan spiritual, kalimat ini tentu wajar. Dalam Islam, takdir adalah bagian dari iman. Tapi jika pernyataan itu dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab, maka hal itu justru bertentangan dengan prinsip dasar agama.
Beberapa akun dakwah, seperti @almahbaroh dan @aunasiden, menyoroti kasus ini dari sudut pandang fikih. Mereka mengingatkan bahwa dalam Islam, setiap pembangunan yang melibatkan nyawa manusia adalah amanah besar. Amanah itu menuntut ikhtiar maksimal, bukan sekadar niat baik.
“Kalau terjadi kelalaian, maka bukan hanya secara hukum dunia, tapi juga akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah,” tulis akun @almahbaroh (4 Oktober 2025).
Dalam maqāṣid al-syarī‘ah, terdapat prinsip ḥifẓ al-nafs — menjaga keselamatan jiwamu sebagai tujuan utama syariat Islam. Maka, setiap orang yang memegang tanggung jawab publik — pengasuh, kontraktor, donatur, maupun pejabat — wajib memastikan pembangunan dilakukan dengan aman, profesional, dan sesuai kaidah teknik.
Dalam fikih, kelalaian terhadap keselamatan bukan sekadar dosa sosial, melainkan pelanggaran moral dan syar‘i. Ulama fikih klasik menyebut istilah dzimmah — tanggung jawab moral dan hukum yang melekat pada seseorang bila tindakannya menimbulkan mudarat bagi orang lain.
Artinya, jika seseorang membangun tanpa memperhatikan standar keamanan, padahal tahu ada risiko, maka ia memikul dosa dan tanggung jawab atas akibatnya. Dalam konteks Ponpes Al-Khoziny, indikasi bahwa bangunan tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), perencanaan teknis yang lemah, dan kemungkinan kelalaian dalam konstruksi adalah hal serius yang tidak bisa ditutupi dengan kata “takdir”.
Islam bukan hanya menekankan tanggung jawab moral, tapi juga mendorong tegaknya keadilan di dunia. Karena itu, aturan hukum positif juga memiliki posisi penting.
Dalam KUH Perdata Pasal 1369, disebutkan bahwa pemilik atau pengguna bangunan bertanggung jawab atas kerugian akibat kelalaian pemeliharaan atau konstruksi. Sementara Pasal 46 UU No. 28 Tahun 2002 (tentang Bangunan Gedung, yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja) memberikan sanksi pidana bagi pemilik bangunan yang tidak memenuhi standar keselamatan.
Dengan adanya korban jiwa, pasal-pasal tersebut relevan untuk diterapkan dalam kasus Al-Khoziny. Namun tentu, proses hukum harus didasarkan pada penyelidikan yang profesional — dengan; bukti teknis dari ahli konstruksi, pemeriksaan lapangan, dan proses peradilan yang adil.
Hukum tidak boleh tergesa-gesa, tapi juga tidak boleh diam. Karena setiap kelalaian yang menyebabkan nyawa melayang bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi pelanggaran kemanusiaan.
Tragedi ini harus menjadi titik balik bagi dunia pesantren. Pembangunan pondok bukan sekadar soal memperluas gedung atau menambah kamar santri. Keselamatan harus menjadi bagian dari iman.
Bekerja sama dengan : kontraktor profesional, memperhatikan perencanaan teknis, dan melakukan pengawasan berkala bukanlah pemborosan, tapi bentuk tanggung jawab terhadap amanah Allah: menjaga kehidupan.
Pesantren juga perlu menanamkan budaya keselamatan di kalangan santri — bagaimana bersikap saat terjadi gempa, bagaimana mengenali risiko bangunan, dan bagaimana menjaga fasilitas bersama.
Musibah memang bagian dari takdir. Tapi dalam Islam, takdir tidak pernah membebaskan manusia dari tanggung jawab. Nabi sendiri mengajarkan, “Ikatlah unta terlebih dahulu, baru bertawakal.”
Artinya, manusia wajib berusaha maksimal menjaga keselamatan diri dan orang lain. Bila kelalaian terjadi dan menimbulkan korban, maka dosa dan tanggung jawab tetap melekat.
Tragedi Ponpes Al-Khoziny adalah peringatan keras bagi seluruh pengelola pesantren dan lembaga pendidikan Islam. Bahwa membangun gedung tanpa perencanaan matang bukan hanya melanggar hukum negara, tapi juga mengkhianati prinsip syariat.***