DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Ketika Senjata Harus Diserahkan

image
Konflik Maluku, Ketika Senjata Harus Diserahkan.

 

Oleh: Denny JA

ORBITINDONESIA - Maluku, 2002.

Luka masih menganga.

Trauma menggantung di udara kota,

menempel di daun- daun pohon di desa.

Rasa takut, rasa cemas, dendam, mengalir di air selokan, di jalan- jalan setapak.

 

Di rumah Walid, di Ambon.

Di atas meja,

tergeletak senapan laras panjang rakitan.

Sekitar 10-15 pelurunya juga tercecer di atas meja.

 

Dari tadi, ia terus tatap senapan itu.

Disentuhnya.

Ia belai.

Ia bersihkan dengan kain sutra.

Berkali-kali.

 Baca Juga: Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian: Tiga Provinsi Baru Hasil Pemekaran di Papua Dipastikan Ikuti Pemilu 2024

Sungguh Walid  belum ikhlas.

Perjanjian Malino di tahun itu, tahun 2002, mengharuskan para kombatan menyerahkan secara suka rela aneka senjata. Perdamaian dimulai dengan pelucutan senjata.

 

“Haruskah kuserahkan senjata?

Ini penjagaku satu- satunya?

Ini bukan hanya senjata.

Ini nyawaku.

Nyawa istriku.

Nyawa anakku.”

 

“Bisa dipercayakah itu janji?

Janji  damai Laskar Kristus dan Laskar Jihad?

Bisakah harimau lapar berubah menjadi merpati yang terbang berkawan, beriringan?

 Baca Juga: Satu Keluarga, Termasuk Kepala Kantor Kemenag Kalimantan Timur Dikabarkan Meninggal Kecelakaan Mobil

“Hanya senapan ini yang kupercaya.”

 

-000-

 

Walid sesungguhnya tak suka senjata.

Itu tak pernah menyentuhnya.

Itu alat kekerasan.

Ia pengikut Mahatma Gandhi.

Ia percaya hidup yang nonkekerasan.

 

Namun bencana itu mengubahnya.

Febuari, di tahun 2000.

Anaknya bernama Simon baru berusia 13 tahun.

 

Apa daya.

Konflik Laskar Kristus versus Laskar Jihad ini benar-benar gila.

Siapa saja, yang berbeda agama, dibunuh.

Tak peduli ia wanita.

Tak peduli ia tua renta.

Tak peduli ia masih bocah.

 Baca Juga: Piala Presiden: Buat yang tidak Kebagian Tiket, Borneo FC Gelar Nonton Bareng di Indoor GOR Segiri

Jelas dan tegas arahannya.

Sikat!

Habisi!

Tak usah peduli siapa benar, siapa salah?

Karena jika kau tak membunuh, kau yang dibunuh.

 

Walid  tak lupa peristiwa itu.

Mobil pick up masuk ke pekarangan rumahnya.

Itu mobil ngebut, tergesa-gesa.

 

Dari luar, pengemudi mobil teman lamanya sudah berteriak.

“Walid, Walid.

Cepat.

Ambil  ini Simon.

Ayo cepaaaatt!!

 

Teman lama  itu mengeluarkan tubuh bocah, yang lunglai, bersimbah darah dari dalam mobil.

Baca Juga: Viral Kisah Pasutri yang Gemar Bagikan Ikan Gabus ke Orang Lain, Kini Istri Sakit 

Sebelum tubuh Simon disentuh Walid, istri Walid menjerit histeris.

 

“Simon, kamu mengapa?”

Diguncang-guncangkannya badan Simon.

Tak ada reaksi.

Diberinya Simon nafas buatan.

Tak ada reaksi.

 

“Simooooonnn.  Jangan tinggalkan Ibu, Nak.

Ampun, ampun.

Usiamu baru 13 tahun.

Kau masih bocah.

Mana kau mengerti dunia.

Tapi mengapa kau mati?

Siapa yang tega membunuhmu?”

 

Walid menenangkan istrinya.

Dipeluknya jasad Simon.

Tak ia duga.

Manusia bisa begitu ganas.

Serigala pun tak setega ini.

Baca Juga: Pencegahan dan Penanganan Bagi Pasangan Muda yang Radikal

Simon dimakamkan di pekarangan belakang rumah.

Situasi masih darurat.

Pemakaman apa adanya.

Tapi dimakamkan pula di sana hati dan sinar hidup Walid yang lama.

 

Sejak itu, istri Walid membujuk, memberontak.

“Abang, kau masih punya aku.

Kita masih punya Dimas.

Kau kepala keluarga.

Lindungi kami.

Jangan kau terlalu lugu.

Aku takut, Abang.

Bagaimana jika rumah kita diserbu?

Bagaimana kau bisa melawan?”

 

“Mereka semua harimau.

Mereka semua singa.

Aku takuuuuuutt, abang!”

 

Itulah pertama kali dalam hidup.

Walid terpikir mempunyai senjata.

Tidak untuk apa-apa.

Awalnya hanya untuk membela diri.

Jaga-jaga.

 Baca Juga: Piala Presiden, Aremania: Bawa Piala ke Malang Lagi

Kombatan dari Laskar Jihad tak hanya memberinya senjata.

Walid juga dilatih menggunakannya.

 

Di bagian ujung senjata laras panjang itu,

Walid  mengukir nama: Simon Alfarabi.

Nama anak sulungnya yang mati dibunuh.

 

Perang horizontal ini memang gila.

Ia melihat di cermin.

Wajah batinnya tak ia kenali lagi.

 

Dulu, ia seorang aktivis nonkekerasan.

Kini berubah, ia menjadi ahli menembak.

 Baca Juga: Persija Jakarta Tampilkan Permainan Efisien, Hanno Behrens, Ondrej Kudela, dan Michael Krmencik Idola Baru

Entah berapa banyak yang sudah ia bunuh.

Walid ingin melupakannya.

 

Apa daya.

Di era Maluku yang gila.

Senjata ini malaikat penjaga.

Memberinya rasa aman.

Menyimpan banyak  memori.

Tapi karena perjanjian Malino, senjata ini kini bermasalah.

 

Jika tak diserahkan, ia melanggar kesepakatan.

Ia menjadi musuh bersama.

 Baca Juga: Soekarno: Imperalis dan Kapitalis Itu Harus Diisap jadi Asap dan Debu

Tapi jika diserahkan,

bagaimana jika perang meletus lagi?

 

“Oh, aku tak ingin kehilangan anak lagi. Cukup Simon saja.”

 

Walid tak tidur malam itu.

Tengah malam menjadi subuh.

Walid tetap di sana.

Menatap senjata.

Memeluk senjata.

 Baca Juga: Duda Keren dari Saudi Arabia Ini Bercerai Karena Istrinya Tidak Bisa Memasak, Netizen: Masya Allah Gantengnya

Rasa cemas hinggap di pintu, menyelinap lewat lubang angin jendela, memenuhi langit-langit rumahnya.

 

-000-

 

Malino wilayah yang indah.

Ia terletak di kaki bukit, di Gowa, Sulawesi Selatan.

 

Alam yang indah melembutkan pikiran.

Udara sejuk meredam kemarahan.

 

Malino dipilih sebagai tempat perundingan konflik Maluku.

Baca Juga: Piala Presiden: Borneo FC Melawan Arema FC Disiarkan Langsung Indosiar Minggu Malam Ini

Sebelumnya, sudah terjadi konflik serupa di Poso,  Sulawesi Tengah.

 

Malino digunakan sebagai tempat mendamaikan konflik Poso.

Itu bulan Desember 2001.

 

Kini  Febuari 2002.

Giliran konflik Maluku ingin diakhiri, juga di Malino.

 

Ada Jusuf Kala, di sana,

selaku Menko Kesra.

Ada Susilo Bambang Yudhoyono di sana,

selaku Menko Polkam.

Ada Da’i Bachtiar di sana,

selaku  Kapolri.

Baca Juga: Piala Presiden: Borneo FC Melawan Arema FC Disiarkan Langsung Indosiar Minggu Malam Ini

Perwakilan komunitas Kristen dan Laskar Kristis ikut hadir.

Juga datang perwakilan komunitas Islam dan Laskar Jihad.

 

Di ruangan itu,

semua wajah tersenyum.

Tapi  dasar laut di dalam tubuh, siapa yang tahu?

Panas hati membara ditutupi oleh baju batik yang necis.

 

Mereka bergantian pidato:

“Sekitar 8 ribu nyawa melayang.

Maluku membunuh Maluku.

Tiga tahun sudah.

Sampai kapan ini dibiarkan?

 

Ekonomi rusak.

Pengangguran menumpuk.

Pengungsi bertambah.

Kota dan desa penuh permusuhan.

Ketakutan.

Trauma.

Kebuasan.

Pembunuhan.

Baca Juga: Serangan Rudal Rusia ke Pabrik Roket Luar Angkasa Ukraina di Dnipro Tewaskan Tiga Orang

Di Malino, diniatkan babak baru.

Sebelas kesepakatan dicapai.

 

Semua laskar diminta membubarkan diri.

Semua senjata harus diserahkan.

Mereka yang ke Maluku untuk berperang dipulangkan.

 

Semua bersalaman.

Tangan bersentuh tangan.

Tapi antara hati dan hati, apakah ikut bersalaman?

Dari jabat tangan sampaikah ke sanubari?

 

Wakil dari pemerintah pusat kembali berpidato:

Baca Juga: Serangan Rudal Rusia ke Pabrik Roket Luar Angkasa Ukraina di Dnipro Tewaskan Tiga Orang 

“Konflik Maluku sudah meluas.

Isu separatisme RMS lahir kembali.

Koneksi Maluku ke Afganistan, Pakistan juga terbentuk.

Tak hanya Maluku dalam bahaya.

Indonesia juga dalam bahaya.”

 

Pemerintah pusat membentuk dua komisi.

Komisi hukum dan keamanan.

Juga komisi ekonomi dan sosial.

 

Selalu ada komponen ekonomi,

dalam konflik agama sekalipun.

Atau konflik agama bisa juga hanya megaphone, hanya toa saja, dari problem ekonomi.

 

Tentara dan polisi diperkuat.

Hukum yang tak memihak diterapkan.

Baca Juga: Piala Presiden: Borneo akan Balas Arema FC di Stadion Segiri

Kini pendeta dan ustadz berpidato bergantian:

 

“Cukup sudah Maluku membunuh Maluku.

Era baru harus dimulai.

Era damai.

Era Maluku kembali bersaudara.”

 

Tapi semudah itukah?

Luka masih menganga.

Trauma memenuhi Maluku, menempel di daun- daun pohon, tercecer di jalan- jalan, membekas di udara, dan menetap di hati.

Baca Juga: Presiden Jokowi Diminta Perhatikan 6.000 Pensiunan Bank BRI, yang Belum Mendapat Hak Pesangonnya

-000-

 

Di ruang itu,

Walid berperang melawan Walid.

Haruskah ia serahkan ini senjata.

 

Hari masih subuh.

Walid mendatangi makam Simon, di pekarangan belakang rumah.

Senjata itu dibawanya.

 

Setelah dikirimkannya doa Al- Fateha, Walid menangis keras sekali. Dadanya berguncang.

 

“Simon, anakku sayang.

Maafkan Ayahmu,

tak bisa menjagamu.

Telah kucari ke semua sudut Maluku. Siapa yang membunuhmu. Tapi tetap tak kujumpa.”

Baca Juga: Presiden Jokowi Diminta Perhatikan 6.000 Pensiunan Bank BRI, yang Belum Mendapat Hak Pesangonnya

“Dulu aku bertekad.

Senjata ini akan kugunakan untuk membunuh pembunuhmu.

 

“Izinkan aku, sayangku.

Mata tak bisa kubalas dengan mata.

Tak bisa kubunuh pembunuhmu.

 

Kasihan Maluku.

Kasihan Ayah juga.

Hati Ayah tidak di perang ini.

Harus kuserahkan ini senjata.

Maluku harus damai kembali.”

 

Walid meneguhkan hati.

Apapun yang terjadi,

ia ingin mulai dengan niat baik.

Ia mulai dengan menyerahkan senjata.

Baca Juga: Kabur ke Papua Nugini, KPK Segera Terbitkan DPO kepada Bupati Mamberamo Tengah

“Ya, Allah, kuatkan aku.

Kuatkan niat baikku.”

 

Dari makam simon,

niat baik melayang ke udara,

ditiup angin, menerpa ranting dan daun, menyentuh hati manusia. ***

 

Juli 2022.

 

CATATAN:

Bahkan anak- anak berusia 10-13 tahun ikut berperang di Maluku

https://www.bbc.com › indonesia › t...Mantan tentara anak Ambon: 'Kami berdamai ...

 

Perjanjian Malino 2 Febuari 2002 memulai kesepakatan damai di Maluku

https://nasional.tempo.co › read › pe...Perundingan Ambon di Malino Digelar 11 ...

 

Penyerahan dan pelucutan senjata menjadi syarat perdamaian di Maluku.

liputan6.comSebelas Kesepakatan Mengakhiri Pertemuan ...

 

-000-

 

#Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998),  Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang dan penduduk Asli di Lampung (2012).

Berita Terkait