Nyoto Santoso: Dampak Banjir Bali terhadap Eksistensi Budaya Pulau Dewata

Oleh Nyoto Santoso*

ORBITINDONESIA.COM - Pulau Dewata menjerit. Banjir besar melindasnya. Tanpa ampun. 

Turis dan penduduk Pulau Bali panik. Sorga wisata dunia ini pun nyaris tenggelam. Jembatan ambruk, tanah longsor, dan air coklat deras menyeret apa pun yang dilaluinya. 

Ratusan rumah hancur. Fasilitas umum roboh. Tanah longsor menutupi jalan dan sarana umum. Korban tewas sampai hari ini tercatat mencapai 18 orang. Ratusan lainnya luka arah. Ribuan orang mengungsi. Termasuk turis-tutis asing yang tengah menikmati keindahan Pulau Dewata. 

Inilah banjir terbesar yang menerjang "Pulau Sakral" dalam satu dekade terakhir. Banjir melanda sebagian besar wilayah Provinsi Bali sejak diguyur hujan lebat pada Selasa (9 September 2025) hingga Rabu (10 September 2025).

Curah hujan ekstrem membuat sejumlah sungai meluap dan sistem drainase tak mampu menampung air. Akibatnya, banjir besar melanda enam kabupate dan kota di Bali.

Banjir merendam ratusan rumah, pasar tradisional, jalan utama, hingga menyebabkan bangunan roboh. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat 18 orang meninggal dan ratusan warga mengungsi.

Denpasar jadi wilayah paling parah terdampak. Banjir merendam Padangsambian, Jalan Sulawesi, Jalan Maruti, hingga kawasan pasar tradisional. Air merangsek ke dalam rumah warga sejak dini hari. 

Sementara itu, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Provinsi Bali mencatat 562 warga mengungsi, dengan rincian 327 warga di Kabupaten Jembrana dan 235 warga di Kota Denpasar. 

Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali, Gede Agung Teja Bhusana Yadnya, penyebab banjir di Bali adalah gabungan dari faktor alam dan kelalaian manusia. Faktor alam yang dimaksud adalah curah hujan tinggi sejak Selasa. Lalu, faktor kelalaian manusia adalah manajemen sampah yang buruk. Dan masifnya pembangunan infrastruktur pariwisata tanpa mempedulikan aspek lingkungan.

Kondisi tersebut terkait pula dengan Dipole Mode Index (DMI) -- sebuah indikator gradien suhu timur-barat di Samudra Hindia tropis --  yang negatif. Ini meningkatkan aktivitas awan di wilayah Bali. 

Gelombang atmosfer Rossby, Kelvin, dan Madden Julian Oscillation (MJO) juga diperkirakan masih terus menghantui Bali pada pekan-pekan mendatang. Ketiganya merupakan fenomena atmosfer yang memengaruhi cuaca di wilayah tropis. Ketika aktif secara bersamaan, potensi pertumbuhan awan hujan akan meningkat dan menyebabkan cuaca ekstrem.

Dilansir situs BMKG, Gelombang equatorial Rossby atau Rossby Ekuator adalah suatu fenomena yang terjadi di fluida (atmosfer/lautan) yang berotasi secara berpasangan dan bergerak ke arah barat di sekitar kawasan ekuator. Gelombang Rossby juga dikenal dengan istilah gelombang planet. Gelombang planet ini memainkan peran penting dalam membentuk cuaca.

Sementara itu, gelombang Kelvin di atmosfer yang merupakan sistem curah hujan tropis yang disertai pola angin barat dan timur, bergerak ke arah timur mengelilingi bumi.  Calvin dapat mengelilingi daerah tropis selama sebulan.

Gelombang Rossby dan Kelvin termasuk dalam gelombang ekuator skala planeter (Equatorial Planetary Wave). Gelombang ekuator skala planeter merambat pada arah timur dan barat yang terbentuk di atmosfer dan lautan di sekitar khatulistiwa.

Di pihak lain, gelombang Osilasi Madden-Julian (MJO) masih terus bergerak. MJO adalah pola sirkulasi atmosfer skala besar yang bergerak ke timur di wilayah tropis, ditandai dengan gelombang peningkatan dan penurunan curah hujan yang siklusnya berlangsung setiap 30 hingga 60 hari. Fenomena ini terjadi di lapisan troposfer dan dapat menyebabkan perubahan signifikan pada cuaca, seperti peningkatan hujan lebat dan awan konvektif, serta mengganggu pola cuaca global. 

Aktifnya ketiga gelombang tersebut menjadikan wilayah atmosfir di Bali dan sekitarnya dilanda curah hujan ekstrim. Dampaknya Bali dilanda banjir besar dalam beberapa hari. BNPB melaporkan bahwa curah hujan dalam satu hari di Bali saat itu mencapai 385 mm. Ini setara dengan curah hujan normal selama satu bulan di Bali. 

Beberapa faktor yang menjadikan banjir besar sulit diatasi di Bali, antara lain, tersumbatnya drainase oleh sampah dan sedimentasi. Air pun tidak dapat mengalir secara cepat dan akhirnya meluap ke permukiman dan jalanan. Faktor lainnya, yaitu perubahan penggunaan tanah (land use) yang cukup cepat dan besar sehingga mengurangi kawasan hijau resapan air. Pembangunan di daerah lereng atau kawasan yang memiliki ruang resapan, juga menjadi salah satu faktor yang memperparah banjir. 

Kita jadi ingat renungan sastrawan Putu Setia dalam buku Menggugat Bali, 40 tahun lalu. Putu menggugat pembangunan pariwisata Bali seperti hotel, vila, dan sarana tourism lain yang mengorbankan sawah, pantai, dan hutan di Pulau Dewata. 

Bali akan hancur di masa depan -- kata Putu 40 tahun lalu di bukunya --  jika pembangunan Pulau Dewata  merusak lingkungan dan hutan. Prediksi Putu Setia kini mulai terlihat nyata. Banjir di Bali menunjukkan kebenaran prediksi Putu. 

Dalam tradisi Hindu Bali -- gunung, danau, dan laut adalah satu kesatuan kosmis yang harus dijaga.
Namun modernisasi membuat kesakralan itu terpinggirkan!  Hutan di kaki gunung digunduli, sungai tercemar,  dan pantai dijadikan lokasi pesta atau resort. 

Putu Setia menyoroti betapa cepatnya desa-desa agraris berubah menjadi kawasan komersial, sehingga kehilangan daya dukung ekologis. Bagi Putu Setia, sastrawan asli tanah Dewata, kerusakan alam bukan hanya soal hancurnya lingkungan fisik, tapi juga ancaman pada jati diri orang Bali, termasuk budaya dan agamanya. 

Alam yang rusak berarti hilangnya ruang hidup bagi ritual, kesenian, dan filosofi Bali yang sejak lama berpaut erat dengan lanskap alam (sawah, subak, gunung, laut). Itulah pandangan kosmologis orang Bali. 

Putu Setia menulis dengan gaya protes – semacam suara hati orang Bali yang khawatir,  Bali dijual terlalu murah demi pariwisata. Alam diperas dan kesucian diperdagangkan. Kalau dibiarkan, Bali bisa kehilangan roh dan hanya tersisa “kulit budaya” untuk dipajang ke wisatawan. 

Menyedihkan. Ayo kita kembalikan Bali pada jati dirinya.

Dr. Ir. Nyoto Santoso
Dosen Fakultas Kehutanan IPB University, Bogor.***