Taufan Hunneman: Kontribusi Sektor Migas Bagi Kemandirian Energi

Oleh Taufan Hunneman*

ORBITINDONESIA.COM - Kemandirian energi kerap disebut sebagai salah satu fondasi utama kedaulatan bangsa. Dalam sejarah panjang pembangunan Indonesia, energi selalu menjadi penopang bagi pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, hingga layanan dasar masyarakat.

Di tengah tuntutan global untuk mempercepat transisi menuju energi terbarukan, posisi minyak dan gas bumi (migas) tidak serta-merta kehilangan relevansinya.

Justru, pada tahap saat ini, migas masih memegang peran krusial sebagai sumber daya yang menopang kebutuhan energi sehari-hari, sekaligus menjembatani peralihan menuju sistem energi yang lebih bersih.

Pertamina EP Cepu (PEPC) menjadi salah satu contoh konkret bagaimana sektor migas masih memainkan peran penting dalam agenda kemandirian energi.

Memasuki dua dekade perjalanan usahanya, kinerja PEPC menunjukkan tren positif, baik dari sisi produksi maupun pengelolaan aset strategis.

Sebagai bagian dari Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina, PEPC mengelola aset yang tersebar di Jawa Timur, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua, dengan kombinasi operasi darat dan laut.

Capaian ini mengingatkan bangsa Indonesia bahwa infrastruktur dan produksi migas tetap relevan, meski agenda transisi energi kian menguat.

Hingga kini, permintaan migas domestik masih tinggi, terutama di sektor transportasi yang belum sepenuhnya dapat dialihkan ke energi terbarukan.

Sementara itu, gas dipandang sebagai bahan bakar fosil yang relatif lebih bersih, sehingga menjadi energi transisi yang strategis.

Dengan demikian, arah kebijakan tidak bisa hanya berfokus pada percepatan energi terbarukan, tetapi juga memastikan sektor migas berkontribusi optimal sembari mengurangi dampak lingkungannya.

Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan menegaskan target ambisius agar Indonesia segera mencapai kemandirian energi dalam lima tahun ke depan.

Energi, menurut Presiden, bukan hanya persoalan teknis penyediaan infrastruktur, tetapi instrumen strategis untuk mengentaskan kemiskinan, memperkuat daya saing industri nasional, dan membawa Indonesia menuju status negara modern.

Optimisme itu didasarkan pada keyakinan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah serta kapasitas untuk melakukan transformasi energi.

Pemerintah, bahkan telah menetapkan target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2030, yang menjadi tolok ukur penting bagi agenda transisi.

Kinerja kelembagaan

Dalam kerangka itu, kinerja PEPC pada 2024 patut dicatat. Produksi gas meningkat 27 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sementara laba bersih mencapai 817,6 juta dolar AS, naik dari 805,8 juta dolar AS pada 2023.

Total produksi minyak dan kondensat mencapai 24,82 juta barel, sedangkan gas sebesar 96,67 miliar standar kaki kubik.

Produksi harian rata-rata menembus 67,81 ribu barel minyak per hari dan 264,13 juta standar kaki kubik gas per hari, dengan tambahan cadangan sebesar 12,99 juta barel, setara minyak dari Lapangan Jambaran–Tiung Biru (JTB) dan Banyu Urip.

Sebagaimana disampaikan Direktur Utama PEPC Muhamad Arifin, bahwa tahun 2024 merupakan milestone penting dalam sejarah perusahaan, dimana Lapangan Unitisasi Gas Jambaran-Tiung Biru (JTB) telah berhasil mendapatkan persetujuan place into service (PIS).

Dengan kapasitas produksi penuh 192 juta standar kaki kubik gas per hari, JTB memasok energi ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, wilayah yang sangat bergantung pada kesinambungan pasokan gas.

Hingga kini, serapan gas dari lapangan tersebut baru sekitar 125 juta standar kaki kubik per hari, dengan pelanggan utama, seperti PLN, PKG, dan jaringan gas rumah tangga.

Artinya, masih ada ruang untuk meningkatkan serapan sekitar 70 juta standar kaki kubik per hari. Tantangan bagi PEPC bukan hanya menjaga kestabilan produksi, tetapi juga memastikan keandalan fasilitas pengolahan agar pasokan dapat dimanfaatkan secara optimal.

Dari sisi tata kelola, PEPC mencatat capaian signifikan. Operasi tanpa kecelakaan kerja, dengan lebih dari 67 juta jam selamat menjadi indikator penting penerapan standar keselamatan.

Sejumlah penghargaan, seperti Subroto Award kategori Zero Accident hingga pengakuan atas penerapan good corporate governance (GCG) dan Sistem Manajemen Anti Penyuapan berstandar ISO 37001:2016 memperlihatkan komitmen pada tata kelola yang sehat.

Selain itu, program berbasis environment, social and governance (ESG), termasuk penanaman lebih dari 183 ribu pohon, menjadi langkah awal mendukung agenda dekarbonisasi, meski kontribusinya tentu masih perlu diperbesar jika dibandingkan dengan skala operasi migas itu sendiri.

Pertanyaan penting yang patut diajukan adalah bagaimana sektor migas dapat benar-benar menopang transisi energi, alih-alih menjadi beban di kemudian hari.

Di satu sisi, produksi migas yang meningkat memberi ruang fiskal dan pasokan energi bagi negara. Di sisi lain, ketergantungan berlebihan dapat menghambat percepatan energi terbarukan.

Kemandirian energi

Inilah dilema yang dihadapi Pertamina dan entitasnya, yakni bagaimana memperkuat bisnis migas untuk menjaga ketahanan energi, sekaligus menyiapkan langkah diversifikasi melalui pengembangan energi rendah karbon.

Strategi ganda ini realistis dalam jangka pendek, tetapi harus dipastikan tidak menjadi alasan untuk menunda transformasi struktural.

Pertamina sendiri telah mulai mengembangkan inisiatif, seperti gasifikasi terintegrasi, pemanfaatan carbon capture, utilization, and storage (CCUS), hingga investasi pada energi hijau.

Semua langkah ini tidak hanya bertujuan menekan emisi, tetapi juga memperkuat ketahanan energi nasional serta menciptakan lapangan kerja baru.

Dengan strategi tersebut, kontribusi migas diposisikan sebagai batu pijakan menuju ekosistem energi yang lebih berkelanjutan, bukan sebagai hambatan.

Kemandirian energi, sebagaimana ditegaskan Presiden Prabowo, harus dipandang sebagai kunci kedaulatan, sekaligus fondasi pembangunan.

Tanpa energi yang merata, berkelanjutan, dan terjangkau, sulit membayangkan pemerataan kesejahteraan, ketangguhan industri, atau kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri.

Dalam konteks geopolitik global yang dinamis, bangsa yang tidak mampu mengamankan pasokan energinya akan selalu dibayangi kerentanan krisis.

Di sinilah peran sektor migas harus dipahami secara strategis, bukan semata soal keuntungan jangka pendek, tetapi sebagai penopang transisional bagi peralihan menuju energi terbarukan.

Produksi yang stabil, tata kelola yang akuntabel, serta orientasi pada keberlanjutan akan menentukan apakah migas dapat menjadi jembatan yang kokoh atau justru batu sandungan.

Jika momentum ini dimanfaatkan dengan tepat, capaian sektor migas hari ini dapat menjadi pijakan untuk transformasi energi Indonesia di masa depan.

*Dr Taufan Hunneman adalah Komisaris Utama Pertamina EP Cepu (PEPC). ***