Supriyanto Martosuwito tentang Tiga Pilar Kehidupan IKN

ORBITINDONESIA.COM - Pada pagi, siang dan petang hari kemarin, saya dan teman teman Youtuber Nusantara mengunjungi tiga fasilitas penting di IKN. Tiga Pilar Kehidupan di Kota Baru ini semakin meneguhkan modernitasnya— tak hanya melalui TPST, bendungan, dan bandara, tetapi juga dengan Bandara Nusantara yang kini telah meraih sertifikasi resmi ICAO dengan kode WALK, simbol pengakuan dunia internasional.

Berita tentang pembangunan Ibu Kota Nusantara sering dipenuhi perdebatan politik, tarik menarik kepentingan, hingga keraguan soal keberlanjutan. Namun, di balik hiruk-pikuk itu, ada karya nyata yang sudah bisa disentuh, dilihat, bahkan dirasakan.

Kunjungan ke fasilitas pengolahan sampah, bendungan penyedia air baku, serta bandara di IKN memberikan kesan yang berbeda: bahwa ibu kota baru ini mulai berdenyut, dengan infrastruktur dasar yang disiapkan untuk kehidupan modern yang berkelanjutan.

Mari kita mulai dari yang sering luput dari sorotan: sampah. Kota tanpa sistem pengelolaan sampah ibarat rumah tanpa dapur. Cepat atau lambat, bau busuk akan menyeruak.

IKN memilih untuk menyiapkan “dapur” itu lebih dulu. TPST seluas lebih dari 22 hektare di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan dibangun dengan kapasitas 74 ton sampah per hari. Tidak sekadar mengangkut dan menimbun, melainkan mengolah, mendaur ulang, bahkan memanfaatkan lumpur hingga 15 ton per hari.

Dengan target lebih dari 60 persen sampah bisa didaur ulang, ini bukan hanya fasilitas teknis, tetapi juga cermin mentalitas kota baru: membuang adalah awal dari memulihkan.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono pernah berujar, “Kalau kita ingin kota yang sehat, kita harus mulai dari pengelolaan sampah dan air limbah. Tidak ada kota modern tanpa itu.” Kutipan ini menjadi nyata di IKN: pengelolaan sampah sudah disiapkan sebagai fondasi, bukan pelengkap.

Siang kemarin, keterangan yang sama disampaikan Ir. Agus Ahyar MSc, Direktur Sarana dan Prasarana Sosial IKN yang mendampingi kami. Ada Wahyu yang bertanggungjawab di keamanan bandara IKN yang memberikan keterangan panjang lebar tentang fasilitas yang dijaga oleh timnya.

Dari sampah, kita bergeser ke air. Bendungan Sepaku–Semoi yang diresmikan tahun lalu adalah jantung yang memompa kehidupan bagi IKN. Luas genangannya 322 hektare dengan tampungan 16 juta meter kubik. Angka-angka itu bukan sekadar hitungan teknis, melainkan jaminan: air bersih akan mengalir ke rumah, kantor, sekolah, dan fasilitas umum.

Dengan kapasitas 2.000 liter per detik untuk IKN dan tambahan 500 liter per detik bagi Balikpapan, bendungan ini menjawab kecemasan klasik: apakah ibu kota baru bisa hidup tanpa krisis air? Jawabannya, sudah disiapkan. Bahkan intake Sungai Sepaku yang mampu menyumbang 3.000 liter per detik menambah kepastian bahwa air tidak sekadar janji.

Kepala OIKN Bambang Susantono menegaskan, “Air adalah urat nadi kota. Kalau pasokan air aman, kehidupan di IKN akan berjalan lancar.”

Lalu ada bandara IKN, simbol keterhubungan dengan dunia luar. Landasan pacu sepanjang 3.000 meter sudah membentang, apron seluas lebih dari 100 ribu meter persegi siap menampung burung-burung besi berbadan lebar.

Terminal VIP dan VVIP berdiri elegan, dan kini bandara ini bukan hanya berstatus VVIP, melainkan juga sudah terdaftar resmi di ICAO dengan kode WALK. Artinya, IKN telah masuk peta penerbangan dunia, siap menjadi simpul yang menghubungkan Nusantara dengan jaringan global.

Tiga fasilitas ini—pengolahan sampah, bendungan, dan bandara—adalah simbol awal. Kota baru memang tidak bisa dinilai dari gedung tinggi yang menjulang, melainkan dari fondasi yang menopang kehidupan sehari-hari. Bagaimana sampahnya dikelola, bagaimana airnya tersedia, dan bagaimana akses transportasinya terjamin. Dalam tiga hal itu, IKN sudah memiliki jawaban.

IKN memang masih muda, masih meraba jalan, dan masih sering disangsikan. Tetapi dengan fondasi tiga pilar kehidupan—sampah yang dikelola, air yang terjamin, dan bandara yang diakui dunia—ibu kota baru ini menunjukkan tekadnya.

Nusantara dengan ibukota barunya sedang menulis bab pertama, dan bab itu dimulai bukan dengan janji, melainkan dengan karya.

*Supriyanto Martosuwito adalah wartawan senior. ***