Melistriki Pedalaman Mentawai Sumatra Barat Melalui Sinergi Energi
- Penulis : M. Ulil Albab
- Minggu, 03 Agustus 2025 11:29 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Senja pecah di ufuk barat, semburatnya tandas pada helai-helai daun sagu kering di atap rumah. Dari celah rumbia itu, asap kayu bakar membumbung ke langit.
Aman Lippat menyalakan lampu teras Uma seperti biasa di Dusun Maruibaga, Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Anaknya merebus keladi di dapur yang membuat asap mengepul.
Sebagai Sikerei, dukun tradisional Mentawai, Aman Lippat tidak terlalu bergantung dengan listrik kecuali untuk penerangan Uma, rumah panggungnya itu. Ia masih bergantung pada alam, namun anggota keluarganya yang lain tetap membutuhkan stopkontak untuk mengisi daya ponsel mereka.
Baca Juga: YLKI Apresiasi Diskon 50 Persen Tarif Listrik untuk 97 Persen Pelanggan Rumah Tangga PLN
Langit sudah gelap, jalan perkampungan selebar 2,5 meter itu terlihat temaram. Hanya lampu-lampu dari rumah masyarakat yang jaraknya berjauhan, membantu penerangan saat melintas, termasuk rumah Aman Lippat.
Hari itu, biasanya listrik diesel dari PLN sudah menyala sekitar pukul 17.00 WIB, namun hingga pukul 19.00 WIB dan langit sudah gelap, listrik belum menyala. Aman Lippat menyalakan lampu terasnya menggunakan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang masih memiliki daya karena cuaca bagus tanpa hujan.
Kepala Desa Matotonan, Ali Umran mengatakan, daya listrik dari mesin diesel PLN biasanya menyala mulai sore hingga tengah malam, sementara PLTS menyala mulai pukul 08.00 WIB. "Kami di sini memanfaatkan dua daya energi listrik, pertama ada PLTS dan mesin diesel PLN yang membantu warga sehari-hari meskipun belum maksimal," katanya.
Baca Juga: PLN Siapkan Daya Mampu Pasok 53 Gigawatt pada Natal 2024 dan Tahun Baru 2025
Awalnya, masyarakat Matotonan hanya menggunakan lampu minyak tanah untuk membantu penerangan, tanpa daya listrik hingga tahun 2005. Kemudian tahun 2006, masyarakat mulai mencari solusi energi alternatif sendiri, di antaranya menggunakan panel tenaga surya dan aki untuk menyalakan listrik.
Ketika itu hanya panel surya yang dapat menjadi alternatif tenaga listrik di Matotonan, karena jika menggunakan genset, warga kesulitan membawa bahan bakar minyak (BBM) ke desa karena akses terbatas.
Akses satu-satunya ke Desa Matotonan hanya melewati sungai Sarereiket yang kini dapat ditempuh paling lama dua jam perjalanan dari Desa Ugai, dan ditambah dua jam perjalanan darat ke Muara Siberut.
Baca Juga: PLN: Rasio Elektrifikasi di Tanah Papua Mencapai 97,53 Persen pada 2024
Sebelum tahun 2004, perjalanan ke Muara Siberut ditempuh menggunakan sampan sampai satu harian karena saat itu masyarakat belum mengenal mesin pompong. Kemudian 2010 jalan darat mulai dibangun menyambung dusun-dusun di pedalaman, namun hingga kini belum sampai ke Matotonan.