DECEMBER 9, 2022
Buku

Ikigai: Merangkai Hidup Panjang yang Bermakna dari Negeri Matahari Terbit

image

ORBITINDONESIA.COM - Di tengah arus hidup yang serba cepat dan penuh tekanan, kita sering terjebak pada pertanyaan eksistensial: Untuk apa sebenarnya aku hidup? Buku Ikigai: The Japanese Secret to a Long and Happy Life karya Héctor García dan Francesc Miralles hadir sebagai jawaban lembut dan penuh makna dari pertanyaan tersebut.

Buku ini mengajak kita menyelami konsep hidup masyarakat Jepang yang tampak sederhana namun menyimpan kedalaman filosofi: ikigai, atau "alasan untuk bangun setiap pagi".

Kedua penulis—yang merupakan jurnalis dan penulis asal Spanyol—melakukan perjalanan ke Okinawa, Jepang, yang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan angka harapan hidup tertinggi di dunia.

Baca Juga: Mengenal Paradoks Zen Haemin Sunim

Mereka menelusuri rahasia umur panjang para penduduknya, bukan hanya dari sisi pola makan atau gaya hidup, tetapi juga dari sisi makna hidup yang dipegang erat oleh setiap individu.

Konsep ikigai sendiri berakar dari kata “iki” (hidup) dan “gai” (nilai). Dalam buku ini, ikigai dipetakan sebagai titik temu dari empat hal: apa yang kamu cintai, apa yang kamu kuasai, apa yang dunia butuhkan, dan apa yang bisa kamu dibayar untuk melakukannya.

Saat seseorang menemukan titik ini, ia tidak hanya hidup lama, tapi juga hidup penuh makna. Buku ini tidak menyuguhkan teori psikologis berat, melainkan mengajak pembaca berjalan bersama tokoh-tokoh lanjut usia di Okinawa yang tetap aktif, bahagia, dan penuh semangat meski usia mereka sudah di atas 90 tahun.

Baca Juga: Buku Dane E. King Menggali Hubungan Unik Iman, Spiritualitas, dan Pengobatan

Salah satu bagian paling menarik dari buku ini adalah kisah-kisah nyata para tetua yang masih bercocok tanam, menari, berlatih seni bela diri, atau sekadar bercengkerama dengan komunitasnya setiap hari.

Mereka tidak pensiun dari kehidupan. Mereka tetap “hidup” karena memiliki tujuan, betapapun kecilnya. Inilah kekuatan buku ini: ia tidak mendikte, tapi menginspirasi lewat contoh nyata dan keseharian yang otentik.

Namun tentu saja, buku ini bukan tanpa kekurangan. Bagi sebagian pembaca yang menginginkan kedalaman filsafat atau kajian ilmiah, Ikigai mungkin terasa terlalu ringan dan naratif. Ia lebih cocok dibaca sebagai refleksi ketimbang sebagai panduan praktis atau akademis.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Indonesia Jadi Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga

Selain itu, pendekatannya yang cenderung “cerita ringan” mungkin terasa kurang sistematis bagi mereka yang terbiasa dengan buku self-help barat yang penuh struktur dan strategi.

Meski demikian, pentingnya buku ini tak bisa disangkal. Di tengah budaya kerja keras yang melelahkan dan pencarian kesuksesan yang kerap hampa, Ikigai mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, mendengar suara hati, dan kembali pada hal-hal kecil yang memberi makna: memasak, berkebun, membantu orang lain, atau sekadar menikmati pagi dengan teh hangat.

Buku ini seperti cermin lembut yang mengajak kita bertanya: Apa yang membuatku terus hidup dengan gembira? Jawaban setiap orang bisa berbeda, dan itulah keindahannya. Ikigai bukan tujuan akhir, tapi proses mencintai hidup itu sendiri.***

Halaman:

Berita Terkait