DECEMBER 9, 2022
Kolom

Gaduh Ijazah Palsu dan Demokrasi Digital

image
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro (keempat kanan) bersama Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko (kedua kiri) dan Kepala Pusat Laboratorium Forensik (Kapuslabfor) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Sudjarwoko (kedua kanan) memberikan keterangan saat konferensi pers tentang hasil penyelidikan pengaduan masyarakat tentang dugaan tindak pidana terkait ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 22 Mei 2025. ANTARA FOTO/Fauzan/tom/pri. (ANTARA FOTO/FAUZAN)

Prof. Dr. Viktor Mayer-Schönberger, pakar demokrasi digital dari University of Oxford, mendukung pernyataan Simone, bahwa "Demokrasi digital dapat memperkuat hubungan antara pemerintah dan masyarakat dengan memungkinkan masyarakat untuk memberikan umpan balik dalam proses pengambilan keputusan."

Dalam agenda setting pemerintah misalnya, ketika menentukan kebijakan strategis, publik dapat berpartisipasi menyampaikan ide dan gagasannya secara daring.

Memang tidak mudah, karena demokrasi digital juga memiliki beberapa kelemahan, di antaranya tidak semua masyarakat memiliki koneksi kuat untuk memasuki ruang teknologi digital, sehingga perlu kesetaraan akses. Disamping itu, demokrasi digital juga memerlukan keamanan data untuk melindungi informasi masyarakat dan mencegah penyalahgunaan.

Baca Juga: Baru Diringkus, Penggugat Ijazah Palsu Jokowi Langsung Jadi Tersangka

Ingat, kasus dugaan ijazah palsu Jokowi bermula dari penyebaran berita dan data atau gambar secara bebas, sehingga menimbulkan kegaduhan dan perselisihan pandangan yang berujung pada proses hukum.

Terlepas dari kelemahannya tersebut, demokrasi digital juga memungkinkan untuk mendeteksi segala bentuk penyimpangan sejak dini. Dengan demikian, siapapun tidak dapat berkelit ketika mencoba memanipulasi data atau melakukan kebohongan publik.

Di masa depan, sistem verifikasi independen dan digitalisasi arsip dapat menjadi solusi untuk mencegah polemik serupa. Dengan mengedepankan fakta, metode ilmiah, dan dialog yang konstruktif, masyarakat Indonesia dapat membangun demokrasi yang lebih matang, di mana kebenaran tidak hanya soal siapa yang paling keras bersuara, tetapi siapa yang mampu membuktikan dengan data dan integritas.

Baca Juga: Mengambil Pelajaran dari Kasus Hoax Ijazah Palsu Jokowi

Perlu langkah konkret yang paling efektif untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap keabsahan dokumen resmi di era digital ini.

*Dr. Eko Wahyuanto adalah Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Yogyakarta. ***

Halaman:

Berita Terkait