Satrio Arismunandar: Perlu Berdayakan Budaya Malu dan Kebersalahan untuk Atasi Korupsi
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 20 September 2022 10:37 WIB
ORBITINDONESIA - Kita perlu memberdayakan dan menghidupkan kembali budaya malu (shame culture) dan budaya kebersalahan (guilt culture), sebagai strategi budaya untuk mengatasi masalah korupsi. Kedua budaya itu bersifat universal dan ada di seluruh dunia.
Demikian gagasan yang diajukan buku “Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia” karya Satrio Arismunandar. Satrio menggarisbawahi pernyataan tokoh proklamator, Bung Hatta, bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya.
Maka cara mengatasi korupsi tak cukup dengan sekadar perangkat hukum, seperti ancaman hukuman mati. Tetapi juga harus menggunakan strategi budaya.
Baca Juga: Bela Isi Ceramah Islah Bahrawi, Menko Mahfud MD: Dimana Islamphobianya?
Satrio memberi beberapa contoh bagaimana korupsi sudah membudaya. Yakni, masyarakat sendiri tidak memberlakukan sanksi sosial terhadap para pelaku korupsi.
Misalnya, kalau ada acara kawinan, pelaku korupsi tetap diundang sebagai tamu. Para mempelai tidak merasa malu, bahkan dengan bangga berfoto bersama pelaku korupsi. Khususnya jika si pelaku korupsi itu adalah tokoh ternama atau pejabat.
Maka, secara tak langsung masyarakat sebetulnya turut mendukung perilaku korupsi. Walaupun secara formal dan secara hukum, korupsi tetap dianggap sebagai kejahatan luar biasa.
Untuk memberantas korupsi, ada dua konsep budaya yang dapat digunakan, yaitu budaya malu (shame culture) dan budaya kebersalahan (guilt culture).
Baca Juga: Disebut Islamphobia, Ini Isi Ceramah Islah Bahrawi soal Riba dan Teroris di Depan Mahasiswa IPDN
Budaya kebersalahan biasanya lebih menonjol di Eropa dan Amerika Utara. Sedangkan di negeri-negeri Asia, yang lebih menonjol biasanya adalah budaya malu.