Catatan Denny JA: 100 Tahun Ahmadiyah, Bendera Merah Putih di Tempat Pengungsian
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 15 April 2025 06:46 WIB

Nasionalisme seharusnya mengajarkan cinta tanah air tanpa syarat identitas sosial. Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi semua keyakinan, selama tak melukai. Tapi di banyak tempat, seperti di Mataram itu, keduanya belum selesai belajar menjadi adil.
Ini bukan hanya cerita Indonesia. Di Eropa, Islam yang menjadi minoritas juga sering disalahpahami. Masjid-masjid dilempari. Perempuan berjilbab dicurigai.
Di Timur Tengah, Kristen Koptik Mesir yang sudah ribuan tahun hidup berdampingan, kerap dibakar gerejanya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Janji Kampanye Donald Trump yang Menyulitkan Pemerintahan Baru
Dimanapun, ketika mayoritas lupa diri, minoritas menjadi korban. Yang kita suka lupa, agama apapun dapat menjadi minoritas di satu negara.
Lebih ironis lagi, kita memprotes perlakuan mereka terhadap agama kita (ketika minoritas), tapi ketika kita yang mayoritas kita perlakukan minoritas dengan cara sama.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia Perlu Belajar Dari United Emirat Arab, Dari Gurun Pasir ke Pusat Dunia
Tiga Akar Diskriminasi di Negeri Demokratis
Mengapa masih terjadi diskriminasi di negara yang mengaku demokratis?
Pertama, karena mayoritarianisme. Demokrasi yang mestinya menyejahterakan semua, kadang jatuh ke tangan tirani mayoritas. Jika 51 persen memaksakan kehendak atas 49 persen tanpa ruang kompromi, demokrasi kehilangan jiwa.
Kedua, karena butanya sejarah. Banyak masyarakat tak tahu bahwa Ahmadiyah sudah hadir sejak 1925 di Indonesia, bahkan sebelum republik ini lahir. Mereka turut menyumbang pemikiran, pendidikan, dan semangat kemerdekaan.