DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Forum Esoterika dan Enam Prinsip Emas Spiritualitas di Era Artificial Intelligence

image
Ilustrasi (Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Di jantung Silicon Valley, pusat gemuruh inovasi digital, sebuah paradoks terungkap. Raksasa teknologi seperti Google, yang menghasilkan algoritma untuk mengukur segalanya, justru mengajarkan karyawan mereka seni untuk melepaskan pengukuran: meditasi dan mindfulness.

Di tengah kode-kode yang mengutamakan kecepatan, manusia diingatkan untuk berhenti dan jeda sejenak.

Spiritualitas, yang dulu bersandar pada dogma, kini bertransformasi menjadi keterampilan hidup. Ia tak lagi eksklusif milik kuil atau gereja, tetapi masuk ke ruang kerja, di mana jadwal rapat dan notifikasi bertemu.

Sebuah bentuk baru lahir: spiritualitas tanpa embel-embel agama, tanpa janji surga, tetapi membawa ketenangan di dunia yang terus melaju.

Apa yang baru dari spiritualitas ini? Ia hadir dengan sekuleritas yang segar, menjembatani kebutuhan batiniah dan tuntutan duniawi. Tak ada dogma yang harus dihafal, hanya napas yang perlu disadari. Para pekerja tak perlu menjadi murid, cukup menjadi diri sendiri yang sadar.

Namun, apakah ini hanya utilitarian, sarana meningkatkan produktivitas? Atau, seperti algoritma yang terus belajar, manusia menemukan kembali kebutuhannya untuk berhenti, merenung, dan hidup?

Di balik kesibukan, Silicon Valley mengingatkan kita bahwa kemajuan sejati adalah perjalanan ke dalam diri. Spiritualitas, meski berbaju baru, tetap adalah pencarian atas makna yang sama: kedamaian dan hidup bermakna.

-000-

Sebagai penutup buku, saya merumuskan enam prinsip utama spiritualitas di era AI. Saya menyebutnya “The Six Golden Principles of Spirituality in the Era of AI.”

Pertama: Persamaan sesama Homo sapiens lebih tua, lebih asasi, dan lebih mendalam dibandingkan perbedaan karena keyakinan dan agamanya.

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Berita Terkait