Memilih Ketua MA di Era Transisi Kepemimpinan Nasional
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 14 Oktober 2024 16:26 WIB
Dalam kondisi "transisi politik" yang perjalanannya tertatih-tatih sejak 2023 karena intervensi eksekutif yang amat kental, seleksi Ketua MA harus mengedepankan check and balance. Ini penting untuk mewujudkan negara hukum serta terciptanya kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945).
Dalam Pasal 24 (1) UUD 1945 disebutkan pula bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka. Ini artinya, seorang hakim dalam memutus suatu perkara tidak boleh terpengaruh atau diintervensi oleh siapa pun. Kecuali oleh akal dan nuraninya sendiri!
Ini penting agar hakim dapat menjalankan kekuasaannya secara bebas dan merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Baca Juga: TOK! Mahkamah Agung Tolak Peninjauan Kembali Moeldoko dalam Sengketa Kepengurusan Partai Demokrat
Hal inilah yang menjadikan kedudukan seorang hakim sangat strategis dalam mewujudkan negara hukum. Karena tataran ini pula negara memiliki kewajiban menjamin kesejahteraan dan keamanan mereka sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman.
Dari aspek inilah, KMA yang baru harus didukung oleh seluruh institusi penegak hukum. Agar MA benar-benar menjadi tumpuan para pencari keadilan (justice seeker). Karena itu para hakim harus memiliki integritas, bersih, dan anti gratifikasi-korupsi.
Bagaimana pun hakim memiliki kekuasaan yang menentukan. Sehingga tanpa didukung oleh masyarakat dan terutama negara dari segi kesejahteraan dan keamanan, maka bukan tidak mungkin banyak hakim yang akan tergoda! Tergoda untuk tidak bersikap mandiri dan independen dalam mewujudkan free and impartial tribunals.
Baca Juga: Mahkamah Agung Sunat Denda Koruptor Surya Darmadi Jadi Rp2 Triliun, Awalnya Rp42 Triliun
Saat ini, kondisi hukum di Indonesis tidak sedang baik-baik saja. Berdasarkan data World Justice Project (WJP), skor Indeks Negara Hukum atau Rule of Law Index (RLI) Indonesia masih berada di angka 0,53 pada 2023. Nilai tersebut tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya. Skor RLI tersebut menempatkan Indonesia di posisi 66 dari 142 negara di dunia. Kenapa demikian?
Ini disebabkan oleh banyak faktor seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran etik institusi hukum, Kepolisian, KPK, dan proses legislasi yang tidak melibatkan partisipasi publik. Karena itu kita berharap, KMA yang akan "memimpin" mahkamah memenuhi 7 kriteria.
Pertama, memiliki integritas yang baik, dibuktikan dengan rekam jejak yang tidak bermasalah secara hukum.
Kedua, memiliki kapabilitas dan leadership sebagai Ketua MA.