DECEMBER 9, 2022
Puisi

Malam di Taman Makam Pahlawan

image
Ilustrasi, puisi berjudul Malam di Taman Makam Pahlawan. (Istimewa)

Oleh: Leni Marlina

ORBITINDONESIA.COM - Berikut ini adalah puisi karya Leni Marlina tentang harapan pahlawan yang telah berbaring abadi di Taman Makam Pahlawan, berjudul "Malam di Taman Makam Pahlawan".

1)

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kulihat Raksasa Itu Tumbang

Malam itu, kelam menggantung berat di atas langit,
Aku berjalan di lorong sunyi,
Melintasi barisan nisan yang terdiam dingin.
Di bawah sorotan bulan pucat,
Batu-batu makam bagaikan tulang belulang
Yang mengintip dari perut bumi,
Menungguku, menelanku dalam sunyi yang kekal.

Angin berbisik, membawa napas para pahlawan
Dari dunia yang tak terlihat,
Menyelinap ke telinga, ke hati, ke tulangku,
Mereka bangkit dari tanah yang kaku,
Mata mereka bersinar seperti bara api yang menyala
Dalam ruang yang beku oleh waktu.

2) 

Baca Juga: Puisi Denny JA: Dilema di Tanah Asing

Satu per satu, sosok mereka muncul
Dari kegelapan yang pekat,
Baju mereka compang-camping,
Kebesaran mereka terbungkus debu dan tanah.
"Kenapa kau datang di malam kami?"
Tanya mereka dengan suara yang bergaung dalam bisikan,
"Malam di mana sejarah tidak tidur,
Di mana kami tak pernah benar-benar mati."

Aku menggigil, tubuhku gemetar,
Namun langkahku tetap maju,
Seolah terseret dalam gravitasi masa lalu,
Menuju mereka, para penjaga tak kasat mata.

3)

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kuburan Mereka Berserakan di Berbagai Negara

Mereka tersenyum, tapi senyum itu
Adalah senyum yang patah,
Wajah mereka retak-retak seperti tanah gersang,
Luka menganga di tangan yang dulu menggenggam senjata.
"Cinta kami pada negeri ini,
Adalah cinta yang ditulis dengan darah,"
Kata mereka,
"Matahari merah yang kau lihat setiap pagi,
Adalah kami,
Yang terbakar untuk cahaya yang kau hirup."

Aku melihat sawah-sawah terbakar di mata mereka,
Hutan-hutan yang ditebang habis,
Lautan yang meradang oleh tumpahan minyak hitam.
"Tanah air ini bukan untuk dijual,"
Seru mereka, dan suara mereka bagaikan gemuruh badai.
"Tidak untuk diperdagangkan di pasar gelap global,
Bukan untuk terik panas kapital yang menghisap nyawa.
Kami telah membayar harga yang tak terhitung,
Agar tanah ini tetap hijau."

4)

Baca Juga: Puisi Denny JA: Aktivis Ideologi Itu Memilih Menjadi Dokter

Mereka merentangkan tangan ke arahku,
Kulit mereka seperti arang, hangus terbakar oleh peperangan,
Tapi mereka tetap berdiri tegak,
Seperti pohon-pohon tua yang menantang badai.

"Tidak ada emas yang lebih berharga
Dari darah yang telah kami tumpahkan,
Tidak ada kekayaan yang lebih agung
Dari kemerdekaan yang telah kami ukir
Dengan luka di dada dan tanah di tangan."

Mereka membakar udara dengan kehadiran mereka,
Membuat langit menangis gerimis,
Tapi aku tahu, itu adalah air mata mereka.
Aku tersentak, napasku tersengal-sengal,
Namun aku tak bisa berpaling,
Aku tak bisa lari dari tatapan mereka,
Yang menusuk jiwaku seperti pedang yang terhunus.

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kubawa Cincin Janjiku

"Bumi ini tak boleh tergadai,
Kami adalah bayangan di bawah kakimu,
Jangan kau gadaikan tanah yang telah kami jaga."

Aku merasakan bumi bergetar di bawah langkahku,
Seolah tanah ini berbicara,
Dari tulang belulang yang tak terlihat,
Dari darah yang masih mengalir di akar pepohonan.

Malam itu terasa abadi,
Tapi aku tahu,
Bahwa meski mereka telah terkubur,
Cinta mereka pada negeri ini
Tak akan pernah hilang.
Seperti api yang terus menyala,
Seperti bintang yang menembus malam.

Padang, Sumatra Barat, 2018 ***

-----

Penulis adalah anggota aktif perkumpulan penulis SATUPENA Sumatra Barat (Sumbar).

Berita Terkait