DECEMBER 9, 2022
Kolom

Goenawan Mohamad: Dua Paus

image
Adegan film Two Popes (Foto: The Hollywood Reporter)

Oleh Goenawan Mohamad*

Seorang Paus dan seorang Kardinal bertemu di antara pepohonan taman Castel Gandolfo. Di bulan April 2011, siang terik, juga di tempat tetirah  para Paus di luar Roma itu.

Kedua orang tua itu duduk di sudut yang teduh, kadang-kadang berjalan —dan selamanya berkonfrontasi.

Baca Juga: Staf Museum di Vatikan Ajukan Pengaduan Kolektif Pertama Kalinya, Minta Perbaikan Kondisi Kerja

Adegan film “Two Popes” di kebun Italia abad ke-17 itu adalah poros karya Sutradara Fernando Meirelles ini, yang tumbuh dari fragmen penting sejarah Gereja Katolik, ketika iman, kekuasaan, dan dosa saling bertaut.

Sang uskup berkata kepada sang Paus: “Seluruh Gereja kita kini membutuhkan pengampunan”,

“Selama tahun-tahun belakangan ini kita sibuk menertibkan mereka yang tak menyetujui kebijakan kita —tentang perceraian, keluarga berencana, mereka yang gay... sementara planet ini sedang dihancurkan dan ketimpangan sosial tumbuh seperti kanker...”

Baca Juga: Ketua KWI Antonius Subianto Bunjamin: Paus Fransiskus Bawa Misi Kemanusiaan ke Indonesia

Anthony Hopkins sebagai Paus Benediktus dan Jonathan Pryce sebagai Kardinal Bergoglio membuat percakapan seperti itu tak berteriak, lebih seperti bunyi api dalam jerami. Dengan kemampuan seni peran yang mempesona, keduanya menghadirkan sejarah kehidupan yang berbeda, arah yang berseberangan.

Tapi dalam “Two Popes”  kita tak perlu melihat Paus dan Kardinal itu replika tokoh sejarah abad ke-21. Film ini tak mengundang kita melihat Hopkins sebagai rohaniawan angker yang dulu bernama Ratzinger dan Pryce sebagai Kardinal yang rendah hati dari Buenos Aires.

Di layar itu kita yang kita temui seorang pemimpin agama di saat guncang: korupsi terbongkar dalam manajemen keuanganTahta Suci, kasus pedofilia terbongkar di kalangan pastur. Vatikan seperti bukan lagi bagian dunia. Sementara itu, Paus Benediktus melihat Gereja, yang baginya suara“kebenaran yang universal”, dikepung “relativisme”.

Baca Juga: Paus Fransiskus: Negosiasi Gencatan Senjata Gaza yang Sedang Berlangsung Tidak Boleh Terhenti

Maka Gereja harus dijaga. Konon Stalin, pernah mengejek: “Vatikan — berapa batalion tentara dia punya?”. Tentu tak satupun. Tapi Gereja sebuah kekuatan moral di tengah dunia yang dilecut persaingan senjata, kapital, dan teknologi. Apa jadinya jika umat dilanda keraguan?

Benediktus melihat, harus ada batas yang kukuh. Harus ada tembok... Di pojok taman Gandolfo, ia tahu Kardinal Bergolio tak menyukai itu.

Bergeglio: “Apakah Yesus membangun tembok? Wajah Yesus wajah pengampunan, dan pengampunan ibarat dinamit yang meruntuhkan tembok-tembok”.

Baca Juga: Pameran Lukisan Karya Denny JA Tentang Paus Fransiskus Membasuh Kaki Rakyat Indonesia Dihadiri Kalangan Duta Besar

Sebuah kontras. Benediktus adalah nada tunggal. Sejak muda ia lebih banyak bergaul dengan buku ketimbang manusia. Orang yang selalu makan malam sendirian ini tak kenal dunia yang beragam. Ia menyukai musik (malam itu ia memainkan karya Bedrich Smetana pada piano) tapi ia tak tahu bahwa tango sebuah tarian. Ia hanya bisa mencoba melucu dengan “humor Jerman” — yang diakuinya sendiri “tak harus jenaka”.

Bergoglio adalah antithesisnya. Ia dari negeri yang meriah, rumit dan traumatik. Masa lalu Argentina diciderai kediktaturan, masa panjang digerogoti ketimpangan sosial.

Ia kesal agama Katholik tak bisa jadi inspirasi baru. Ia ingin Gereja berubah, tapi Benediktus anggap berubah sama dengan berkompromi dengan dunia yang tak langgeng.

Baca Juga: Ketua Umum GP Ansor Addin Jauharudin Ajak Anak Muda Bersuka Cita Sambut Paus Fransiskus

“Anda pengritik saya yang paling keras”, kata Paus.

Dilihatnya oposisi Bergoglio tak hanya kata-kata. Kardinal ini menolak tinggal di kediaman megah yang ditentukan Vatikan. Ia mengenakan sepasang boot tentara yang talinya mudah lepas, sementara Sri Paus sepatu cantik desain Zarra. “Sepatu anda juga sebuah protes”, kata Bapa Suci.

Tapi tak seluruh film ini kisah konfrontasi. Pelan-pelan ia jadi kisah persahabatan. Benediktus tahu, orang Argentina ini tulus. Kehangatannya spontan. Ia tak menjaga jarak dari zuster pengurus Istana, tukang kebun, penjaga pintu. Ia ikut berteriak-teriak seperti umumnya penonton pertandingan bola, dan suka jajan pizza dari kedai.

Baca Juga: Paus Fransiskus Kunjungi Indonesia Menumpang Maskapai Komersial, Bukan Jet Pribadi

Dan meskipun ia tak mendukung sikap Benediktus, tak ada dalam sikapnya yang dengan angkuh menghakimi.

Pelan-pelan orang yang duduk di Tahta Suci itu merenung. Dan di ruang dalam Kapela Sistina, ketika mereka kembali berdua, sang Paus mengatakan: “Saya tak menyetujui kebanyakan yang anda katakan”, katanya, “tapi ada sesuatu.... »

Ia tak selesaikan kalimatnya. Tapi kemudian ia ucapkan keputusannya: Gereja harus berubah, dan Begoglio-lah yang akan membawanya. Ia sendiri akan mengundurkan diri; ia ingin Kardinal Argentina itu jadi Paus berikutnya.

Baca Juga: 3 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Paus Fransiskus Tiba di Jakarta dan Spirit Keberagaman

Bergoglio menolak. Ia bukan orang yang tepat. Ada yang gelap di masa lalunya: di tahun 1970-an, untuk menjaga keselamatan gereja dan umat, ia bekerja sama dengan diktatur militer yang baru mengambil alih kekuasaan. Ketika teman-teman Jesuitnya membuat gerakan untuk demokrasi,
ia tak membantu. Mereka disergap, di antaranya dibunuh. Ia dituduh berkhianat, dan ia merasa berkhianat. Ia berdosa.

Dan baginya, “dosa itu luka, bukan cuma noda”. Maaf saja tak cukup.

Ini berlaku juga bagi Benediktus yang tak mengikis habis kejahatan seks di kalangan padri.

Baca Juga: Kemenag Imbau Stasiun Televisi Siarkan Azan Magrib via Running Text Selama Misa Paus Fransiskus, Kamis Besok

Maka kedua Paus itu bertaut. Saya ingat baris sajak Soebagio Sastrowardojo: “Melalui dosa kita bisa dewasa”.

Kesadaran akan dosa diri tak menghapus dosa itu, tentu, tapi bisa menghapus perasaan paling suci dan ketakaburan — dan kita akan lebih siap memeluk dunia yang rapuh.

25 Maret 2016:  Paus Fransikus (d/h Kardinal Bergoglio) membersihkan kaki imigran Muslim yang terpaksa lari dari tanah airnya. Caritas in veritate. “Kebenaran vital bagi hidup, tapi tanpa cinta kasih, ia tak tertanggungkan”, kata orang baik dari Argentina itu.

Baca Juga: Paus Fransiskus, Gembala Agama Cinta

*Goenawan Mohamad adalah kolumnis dan sastrawan. ***

Sumber: WhatsApp grup News

Berita Terkait