DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Bangkitnya Klan Marcos di Filipina, Pelajaran untuk Indonesia

image
Dr. Ir. Satrio Arismunandar, M.Si, MBA

ORBITINDONESIA - Mei lalu ada berita besar dari negeri tetangga kita Filipina. Putra diktator Ferdinand Marcos, yang akrab dipanggil Bongbong, unggul mutlak dalam pemilihan Presiden.

Dengan lebih dari 95 persen suara dihitung, Bongbong meraih sekitar 30 juta suara. Ferdinand Marcos Junior itu meraih lebih dari dua kali lipat suara saingan terdekatnya, Wakil Presiden Leni Robredo.

Leni Robredo cuma memperoleh sekitar 14 juta suara. Ini baru hasil perhitungan parsial dan tidak resmi dari Komisi Pemilihan Umum atau Comelec. Tetapi Presiden Amerika Serikat Joe Biden sudah mengakui dan memberi ucapan selamat pada anaknya Marcos.

 Baca Juga: Penodaan/Penistaan Agama dan Kasus Holywings As Case Study

Bagaimana anak diktator dan koruptor bisa terpilih menjadi Presiden Filipina? Kemenangan Bongbong terjadi berkat kampanye media sosial yang masif. Kampanye ini berhasil mengubah citra kelam era Marcos lama.

Diktator Marcos sempat berkuasa 31 tahun, hampir seperti Soeharto di Indonesia. Era Marcos diwarnai periode darurat militer, dan pelanggaran HAM yang mengerikan.

Ditambah korupsi yang meluas di pemerintahan, dan hampir terjadi keruntuhan ekonomi. Bank Dunia dan PBB melaporkan, ada 10 miliar dollar Amerika uang hasil korupsi yang dicuri Marcos.

Tetapi di medsos saat ini, era Marcos dipropagandakan sebagai zaman keemasan. Zaman yang penuh kemakmuran dan bebas kejahatan. Kampanye medsos yang manipulatif ini sudah berlangsung intensif dalam 10 tahun terakhir.

 Baca Juga: Merayakan Masa Anak-anak dengan A Day for Sandcastles

Bongbong juga diuntungkan oleh komposisi pemilih di Filipina. Mayoritas pemilih adalah kaum muda, yang tidak mengalami represi zaman diktator Marcos.

Kepada mereka, Bongbong menggambarkan diri sebagai tokoh yang pro-perubahan. Bongbong menjanjikan kebahagiaan dan persatuan. Ini seperti angin surga di Filipina.

Rakyat Filipina sudah lelah selama bertahun-tahun oleh polarisasi politik dan kesulitan pandemi. Rakyat yang susah haus akan cerita yang lebih baik, walaupun cerita itu penuh tipu.

Padahal, Bongbong hanya berbicara sedikit tentang detail kebijakannya saat berkampanye. Yang diomongkan Bongbong juga daftar janji yang biasa-biasa saja.

Baca Juga: Representasi Kulit Hitam dalam Ruang Literasi
Bahkan sebagian besar cuma melanjutkan kebijakan Presiden Duterte. Sebetulnya tidak ada yang  baru.

Menanggapi hal ini, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Evi Fitriani, pun berkomentar. Evi menilai, kemenangan Bongbong bisa terjadi karena sistem demokrasi yang belum matang.

Budaya politik di Filipina belum menunjang sistem demokrasi. Hal ini terlihat dari orang yang memilih hanya karena uang, hubungan pribadi, atau persona pribadi si kandidatnya.

Di Filipina, klan-klan keluarga yang kaya mendominasi kongres serta partai politik. Hal ini sudah terjadi sejak zaman dulu, seperti keluarga Aquino dan Marcos.

 Baca Juga: Beli Hewan Kurban tidak Perlu Repot, Lewat Toko Online Ini Juga Bisa

Jadi walau diktator Marcos sudah dijatuhkan, proses hukumnya tidak tuntas. Malahan dalam waktu lima tahun, keluarga Marcos bisa come back. Bongbong bisa memulai karir politik lagi.

Ia mulai dari jabatan gubernur, anggota senat, dan lalu terpilih jadi presiden. Hal ini karena mereka punya pengikut, yang dulu diuntungkan sejak zaman Marcos berkuasa.

Ditambah lagi, banyak masyarakat Filipina yang miskin dan tingkat pendidikan belum merata. Sehingga rakyat mudah dibohongi oleh pemberitaan medsos, yang memutar balik sejarah.

Evi memperingatkan, hal yang sama juga bisa terjadi di Indonesia. Keluarga Cendana kini tengah berusaha membersihkan nama Presiden Soeharto.

 Baca Juga: Piala AFF U19: Indonesia Melawan Brunei Darussalam di Indosiar Malam Ini

Kita ingat, ada aktivis mahasiswa yang mengatakan, zaman Orde Baru penuh kemakmuran dan kebebasan. Ini pernyataan orang yang naif dan buta sejarah.

Padahal banyak media yang kritis telah dibreidel di zaman Soeharto. Di zaman Soeharto, rakyat tidak bebas bersuara, dan tidak bebas berorganisasi. Jumlah partai politik juga sangat dibatasi.

Jika mahasiswa yang terdidik saja bisa ditipu, apalagi rakyat biasa yang awam. Untuk itu, Evi meminta masyarakat Indonesia, agar lebih cerdas.

Evi juga mengharap peran media, yang tidak disetir kelompok-kelompok tertentu. Karena, dalam kasus di Filipina, yang banyak bermain adalah media alternatif. Media ini disebar oleh kelompok Bongbong dengan kekuatan uang.

 Baca Juga: Orang yang Berkurban Idul Adha Didoakan oleh Malaikat Sampai Hari Kiamat

Jadi, untuk mengatasi manuver sejenis di Indonesia, media yang independen harus diperkuat. Kelompok-kelompok civil society juga harus diperkuat. Tujuannya adalah untuk membuat counter  narasi.

Staf Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, ikut berkomentar.

Ia menilai, terpilihnya Bongbong di Filipina sebagai peringatan untuk demokrasi di Indonesia. Soalnya, gejala politik ini sudah kian umum di Asia Tenggara.

Secara regional, selain bangkitnya klan Marcos, muncul pemerintahan militeristik di Myanmar dan Thailand.

 Baca Juga: Piala Presiden: Inilah Empat Tim di Semifinal dan Jadwal Pertandingannya

Hal ini menunjukkan lampu kuning terhadap perkembangan demokrasi di ASEAN. Artinya, termasuk pula demokrasi Indonesia.

Wahai, para pejuang demokrasi di Indonesia, waspadalah dan bersatulah! Jangan sampai Indonesia mengalami situasi politik seperti Filipina.***

Berita Terkait