Hijrah Berkali-kali Ala Denny JA: Buku Inspirasi Untuk Milenial dan Generasi Z
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 26 Juli 2024 09:55 WIB
Oleh Mila Muzakkar*
ORBITINDONESIA.COM - Bernegosiasi dengan takdir. “Trial and Error,” mencoba lalu gagal, mencoba lagi. Mengubah jalan agar tetap sampai ke puncak.
Itulah kesan yang saya rasakan setelah lama mendalami pemikiran dan riwayat hidup Denny JA.
Dalam bahasanya sendiri, Denny menyatakan, ia berhijrah berkali-kali. Hasilnya memang membuat banyak orang terpana. Denny JA membuat prestasi untuk banyak hal sekaligus.
Di bidang politik, ia lima kali berturut-turut memenangkan Pilpres. Di bidang sastra, genre puisi esai yang digagasnya sekarang dijadikan festival tingkat ASEAN, yang dibiayai pemerintah Sabah, Malaysia.
Di bidang spiritualitas, ia bersama Forum Esoterika membuat tradisi baru merayakan hari besar berbagai agama dan kepercayaan secara lintas iman.
Di bidang bisnis dan usaha, Denny juga tumbuh merangkak dari bawah hingga memiliki aset dengan nilai melampaui satu triliun rupiah.
Sekarang, ia membawa tradisi baru pula melukis dengan Artificial Intelligence (AI). Sebuah hotel di Jalan Mahakam, Jakarta, menjadi galeri abadi lukisannya.
Sebagai penulis, ia sudah membuat lebih dari 100 judul buku bidang politik, filsafat hidup, psikologi, sastra, review film, sejarah, agama, hingga catatan perjalanan.
Denny JA juga mendapat penghargaan dari TIME magazine, memecahkan rekor dunia guinness book of world record, penghargaan sastra tingkat ASEAN dari Malaysia, sampai dicalonkan Nobel Sastra, sastrawan kedua Indonesia setelah Pramudya Ananta Toer.
Satu pribadi tapi multitalenta. Denny JA pun menjadi filantropis, banyak membiayai kegiatan budaya, sastra, toleransi agama, gerakan antidiskriminasi, dan membantu banyak penerbitan.
Saya ingin memahami energi yang menggerakkan Denny JA. Kaum milenial dan generasi Z dapat mengambil inspirasi dari pemikirannya. Buku ini dibuat untuk maksud itu.
Darurat Gangguan Kesehatan Mental
Tahun 2022, Generasi Literat melakukan survei kepada 249 generasi Z di 28 provinsi, tentang apa keresahan dan masalah terbesar yang mereka hadapi.
Hasilnya, isu gangguan kesehatan mental menjadi keresahan nomor dua. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM), 2021-2022, menyebutkan 2,45 juta anak muda di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi mayor, gangguan perilaku 0,9 persen, serta PTSD dan ADHD.
Survei lain, dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey tahun 2022, menyebutkan 1,4 persen remaja mengaku memiliki ide bunuh diri, 0,5 persen telah membuat rencana untuk bunuh diri, dan 0,2 persen telah melakukan percobaan bunuh diri.
Bukan hanya pada tataran ide dan rencana, selama tahun 2020, sebanyak 2.700 anak muda sudah melakukan bunuh diri (Asosiasi Bunuh Diri Indonesia).
Menurut Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI, ada 287 kasus bunuh diri sepanjang 1 Januari-15 Maret 2024.
Data di atas bukan sekadar angka. Tapi fakta betapa daruratnya kondisi gangguan kesehatan mental generasi muda di negara kita. Mereka mudah menyerah pada tumpukan masalah hidup, hingga memilih mengakhiri hidupnya.
Itulah yang dihadapi MPD, mahasiswa FISIP Universitas Indonesia. Tanggal 11 Maret 2023, ia akan diwisuda sebagai sarjana.
Namun, tiga hari sebelumnya, ia memilih mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari lantai 18 sebuah apartemen di Jakarta Selatan.
Di Surabaya, CA, mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan, mati karena menghirup zat beracun di dalam mobilnya.
Kejadiannya di bulan November 2023. NJW, mahasiswa Universitas Negeri Semarang, meninggal setelah melompat dari lantai 4 mal Paragon, Semarang.
Di Nusa Tenggara Timur, selama Oktober 2023, ada tiga mahasiswa yang tak lama lagi akan diwisuda dari perguruan tinggi berbeda, juga bunuh diri.
Tak hanya di Indonesia, di tingkat dunia, berdasarkan data WHO (2019) menunjukkan saat ini lebih banyak orang mati bukan karena perang atau kelaparan, tapi karena bunuh diri (793 ribu).
Ada apa dengan generasi muda kita?
Mengapa mereka sampai pada titik menyerah pada hidup?
Tak adakah cara untuk melewati masalah itu, atau makna hidup tertinggi yang mereka ingin capai itu yang tak ada?
Memaknai Hidup
Ke mana hidup ini harus diarahkan?
Apa makna tertinggi dari hidup ini?
Akan dikenang sebagai apakah jika saya mati nanti?
Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu mengganggu di keheningan malamnya. Ia selalu merenung, merefleksikan, menggali, hingga “hijrah” berkali-kali untuk “menjadi manusia”.
Dialah Denny JA—seorang intelektual, penulis, penyair, sastrawan, video maker, konsultan politik, pengusaha, dan filantropis. Ia adalah pembelajar ulung dan multitalenta.
Hasil-hasil renungan hidup yang ia tuangkan dalam berbagai karyanya: buku, puisi, video, dan lukisan, telah memberikan banyak pencerahan tentang bagaimana sebaiknya kita memaknai hidup dengan terus “menjadi manusia”.
Dalam pandangan saya, “menjadi manusia” artinya menjadi orang yang berprinsip untuk menjalani hidup dengan berpikir dan bertindak dalam kebaikan dan kebenaran, seperti tujuan Tuhan menciptakan manusia.
Ketika dalam proses itu, manusia “keseleo”, “keserempet”, atau “kecebur” ke lubang yang bernama “kesalahan”, maka ia akan berusaha kembali kepada prinsip “menjadi manusia”. Begitu seterusnya, sampai kembali pada Sang Pencipta.
Hijrah berkali-kali adalah proses Denny menjadi manusia. Ia terus berusaha mencari passion-nya, memperkaya dirinya dengan melahap berbagai genre ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup, bahkan bernegosiasi dengan takdirnya ketika ia merasa gagal, lalu mencari jalan yang lebih sejati. Pada akhirnya,
Denny sampai pada puncak pencariannya, yaitu jalan menuju kebajikan.
Buku Menjadi Manusia: Menggali Makna Hidup dari Denny JA
Perjalanan Denny JA memaknai hidup sebagai manusia menurut saya menjadi penting dan relevan untuk dijadikan pelajaran, khususnya untuk generasi muda (Milenial dan Gen-Z), yang saat ini berada pada titik darurat gangguan kesehatan mental.
Kenapa Denny JA? Karena ia adalah pembelajar ulung. Denny JA melahap berbagai genre ilmu pengetahuan: filsafat, agama, sastra, politik, ekonomi, bisnis, gender, lingkungan, pengembangan diri, sampai isu-isu kekinian yang dibicarakan Milenial dan Gen-Z seperti mental health, AI, dan media sosial.
Saya berpikir, Denny JA ini seperti paket lengkap: berwawasan sangat luas, pola pikirnya sangat maju, update terhadap isu-isu kekinian, bijak dalam menghadapi berbagai situasi, dan yang paling penting ia menggunakan kekayaannya di jalan yang benar: untuk menolong orang yang membutuhkan.
Buku ini tentu saja tak bermaksud mengatakan: Denny JA adalah manusia yang sempurna. Absolutely No! Karena rumput yang bergoyang pun tahu, semua manusia pasti punya kelemahan dan kelebihan.
Tapi, saya pun percaya, setiap manusia bisa menjadi tempat dan guru untuk mengambil pelajaran hidup. Itulah yang membuat saya menuliskan buku yang berjudul “Menjadi Manusia: Menggali Makna Hidup dari Denny JA”.
Buku mungil yang berisi kumpulan tulisan pendek, ringan, serta dikemas dengan bahasa yang sangat populer ini, berusaha menggali pengetahuan dan kebijaksanaan hidup dari sosok Denny JA, yang sudah ia sebar di berbagai media sosial dan di lukisannya yang menggunakan Artificial Intelligence (AI).
Karya-karya itu sebagian saya kutip langsung, apa adanya, lalu saya elaborasi dan relevansikan dengan isu-isu kekinian yang dihadapi milenial dan gen-Z.
Dalam beberapa bagian, saya berikan masukan yang diperlukan, serta memperkayanya dengan menambahkan pengalaman pribadi yang relevan.
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian utama. Bagian pertama berisi tentang bagaimana menjadi pribadi yang bertumbuh. Beberapa cara yang dapat dilakukan seperti, bernegosiasi dengan takdir, mencari makna hidup, melampaui diri, karakter autentik, rumus sehat di dunia digital, hidup optimistis dan kekuatan psikologis.
Dengan mempraktikkan cara-cara di atas, harapannya, milenial dan gen-Z akan memiliki mindset yang lebih jernih, sehat, dan positif, dalam memandang dan merespons berbagai permasalahan hidup.
Bagian kedua akan mengeksplor lebih dalam tentang apa sebenarnya makna cinta. Cinta di sini dibicarakan dalam konteks yang luas, seperti bentuk cinta yang tertinggi, agama cinta, cinta dalam spiritualitas, cinta yang dibutuhkan orang tua, cinta lingkungan, cinta pada pekerjaan, cinta beda agama, serta tipe pemimpin yang dicintai rakyatnya.
Dengan landasan cinta, harapannya apa pun yang kita lakukan, akan berdasarkan semangat cinta kasih kepada sang Pencipta dan ciptaannya, alam semesta.
Bagian ketiga buku ini menonjolkan manusia “bertelinga besar” sebagai ikon manusia yang lebih peka, peduli dan empati kepada orang-orang di pinggirkan, yang suaranya jarang didengarkan.
Suara-suara itu ada pada penderitaan anak-anak di Gaza, pernikahan anak di berbagai belahan dunia, pemerkosaan pada anak-anak di lembaga pendidikan agama, pelarangan ibadah kelompok penganut agama/kepercayaan, perihnya menjadi seorang LGBT, pengekangan tubuh perempuan, hingga merebaknya kebohongan dan fitnah di dunia digital.
Sekali lagi, buku ini begitu penting dibaca oleh milenial dan gen-Z khususnya, sebagai inspirasi dan mungkin panduan, dalam mencari makna hidup yang sejati.
Dengan demikian, mereka tak lagi menjadi generasi yang rapuh, pesimistis, dan mudah menyerah pada masalah kehidupan.
Sebaliknya, mereka akan terus berproses “menjadi manusia” untuk dirinya, juga untuk manusia lainnya. ***
*Penulis adalah Founder Generasi Literat, Trainer Pengembangan Diri, dan Pegiat Anak Muda