DECEMBER 9, 2022
Kolom

Abustan: Pendidikan dan Kesehatan Hak Dasar Manusia Indonesia

image
Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (Foto: koleksi pribadi)

Oleh: Abustan*

Diskursus tentang pendidikan dan kesehatan menjadi hal yang mengemuka akhir-akhir ini diperbincangkan. Apalagi jika atmosfir kedua sektor ini dibahas melalui "teropong" filosofis hak asasi manusia.

Dari situlah, dapat dilihat bahwa negara kurang memberikan rasa empati dan proteksi terkait rasa keadilan. Akan tetapi, justru dianggap telah "tercerabut" dari akar nilai keadilan itu sendiri. Bahkan, tampak wewenang negara yang disubtitusi kepada pemerintah nyata-nyata telah diingkari, sehingga konstitusi tidak bergerak sebagaimana mestinya untuk melindungi rakyat.

Baca Juga: DR H Abustan: Antiklimaks Putusan Mahkamah Konstitusi

Problematika ini, menjadi menarik ketika menjadi topik diskusi. Berbagai dialektika dan respons bermunculan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan substansial. Seperti, sejauh mana sesungguhnya kepekaan hak asasi manusia yang dimiliki oleh pemerintah.

Atau seberapa besar keseriusan pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan untuk menegakkan hukum, hak untuk melindungi hak dasar masyarakat serta menindak para pelanggar HAM ?.

Bagaimanapun, rentetan pertanyaan tersebut, sejatinya menjadi komitmen negara. Karena itu, pendidikan sebagai ranah publik menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi, memajukan, melindungi, dan menegakkan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan merata (equal) tanpa diskriminasi.

Baca Juga: Dr H Abustan: Civil Society Pemilu 2024 yang Lebih Berkualitas

Dengan kata lain, pendidikan haruslah didistribusikan secara setara yang berdimensi keadilan kepada setiap warga negara tanpa membedakan status / strata sosial masing-masing warga negara.

Paradoks pendidikan

Namun, realitas pendidikan nasional, haruslah diakui sungguh-sungguh mengalami awan gelap, diselimuti beragam paradoks. Maka, tentu saja tak mengherankan jika media cetak dan elektronik melaporkan pendidikan Indonesia berada pada urutan terrenda. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawa bersama Meksiko dan Brasil.

Baca Juga: Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?

Hal itu,  menjadi paradoks sebab sejak negara ini berdiri, para founding fathers telah mengingatkan untuk memperhatikan "mencerdaskan kehidupan bangsa". Lebih dari itu, secara tegas pula diamanatkan pendidikan nasional yang disebutkan  dalam pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945, yaitu pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menggarisbawahi  penegasan konstitusi tersebut, sebagai manifestasi terpenting bagi kehidupan manusia yang telah di jamin oleh konstitusi adalah masalah pendidikan. Tak ada artinya penduduk melimpah, tetapi lebih dari separuhnya memiliki tingkat pendidikan rendah, serta bersekolah dengan durasi di bawah standar.

Bahkan, arti penting pendidikan mengalahkan faktor kekayaan alam. Sebab kekayaan alam, tak dapat dipungkiri juga bisa sebaliknya menjadi "kutukan".  Lalu, negara lalai memperbaiki tingkat pendidikan warganya.

Baca Juga: Abustan: Keprihatinan Kampus Selamatkan Demokrasi

Hal itu bisa dibuktikan, ketika separuh lebih tenaga kerjanya maksimal hanya berijazah SMP. Akibatnya, produktifitas mereka rendah dan miskin inovasi sehingga konsekwensinya tentu negara pada akhirnya menjadi pasar produk impor.

Pelayanan kesehatan

Dalam konteks pelayanan kesehatan, amanat konstitusi telah menegaskan bahwa setiap orang berhak dan wajib mendapatkan kesehatan dalam derajat yang optimal. Karena itu, peningkatan derajat kesehatan harus terus menerus dupayakan untuk memenuhi hidup sehat. 

Baca Juga: Abustan: Wajah Rakyat di Puncak Pemilu

Untuk itulah, kondisi sekarang dibutuhkan manajemen pelayanan kesehatan, yang dimulai dengan lebih mengutamakan aspek pencegahan penyakit. Di samping itu, dalam kaitan kesehatan kepada masyarakat juga dibutuhkan perhatian pemerintah, berupa jaminan kesehatan masyarakat.

Lebih dari itu, juga peningkatan pelayanan oleh dokter, ketersediaan obat-obatan, dan kesiapan rumah sakit di seluruh Indonesia menjadi pelayan atas kebutuhan dan hak pasien sebagai implementasi HAM untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang paripurna selaku warga negara.

Tetapi sorry to say, realitas inilah yang menjauh dari kehidupan rakyat. Hal itu bisa dibuktikan dengan fenomena gizi buruk (stunting) yang dialami rakyat di pelosok pedalaman.

Baca Juga: Abustan: Imaji Demokrasi, Kembali ke Rumah Sendiri

Akhirnya, kedua sektor tersebut, kita berharap ke depan (pemimpin baru RI) lebih memberikan perhatian. Dengan demikian, rakyat tidak makin jauh dari nilai keadilan. Akan tetapi, rakyat yang nota bene selaku pemberi sumbangan nasionalisme dan moril terbesar terhadap berdirinya Indonesia sebagai negara berdaulat, terus mendapatkan tempat agar pemimpin bangsa memperhatikan hak dasar masyarakat Indonesia. Bukan sebaliknya, tersisih secara hukum, politik, dan ekonomi (kesejahteraan).

Sekali lagi, harapan rakyat tersebut tidaklah muluk-muluk. Namun, hal itu sesuai komitmen (keinginan) Presiden RI ke 8 bahwa yang paling utama dibutuhkan bangsa ini ke depan adalah kesejahteraan dan rasa aman. Tegasnya, buat apa bangun bandara dan jalan raya kalau negara tidak aman (https://www.cnnindonesiacom/nasional).

Oleh karena itu, carut-marut negara ini haruslah mendapat prioritas perhatian oleh penyelenggara negara. Dan, cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah sejalan dengan pendiri bangsa ini (foundhing fadhers).

Baca Juga: Abustan: Mencegah Jebakan Paradoks SDA Indonesia

Jakarta, 22 Juli 2024

*Abustan, Pengajar Hukum Universitas Islam Jakarta.***

Berita Terkait