Agusto Sulistio: Mewaspadai Family Office dan Neo Kolonialisme
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Selasa, 09 Juli 2024 11:30 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa di Nusantara pada 1830, memaksa petani pribumi menanam tanaman ekspor untuk pemerintah kolonial, menguntungkan Belanda tetapi merugikan rakyat pribumi.
Kritik dari dalam negeri Belanda, terutama dari partai sosialis dan liberal, menyuarakan kekhawatiran atas eksploitasi sosial-ekonomi terhadap rakyat pribumi.
Pada 1864, tekanan ini memaksa Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Persekutuan Perusahaan Hindia Timur, Belanda mengubah kebijakan kolonial menjadi lebih liberal, menghapuskan tanam paksa demi mengundang modal swasta.
Baca Juga: Bhu Srinivasan: Americana, Empat Ratus Tahun Kapitalisme Amerika
Ini berujung pada Politik Etis, yang menuntut Belanda memberikan kesejahteraan kepada rakyat sebagai imbalan atas keuntungan kolonialisme, memperbaiki infrastruktur dan memberikan kesempatan pendidikan kepada pribumi, mendorong munculnya gerakan nasionalisme seperti yang digagas oleh Pahlawan Nasional Douwes Dekker, atau Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama Setiabudi (Danudirja Setiabudi).
Memasuki era ekonomi modern, tahun ini 2024, pemerintah Jokowi merencanakan kebijakan family office untuk memperkuat ekonomi dalam negeri dengan mengelola kekayaan keluarga kaya raya dan menarik investasi besar, mirip dengan praktek kolonial yang memberikan ruang bagi modal swasta.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan resiko seperti monopoli ekonomi, pengaruh politik yang besar, eksploitasi sumber daya alam, dan potensi ketergantungan ekonomi pada kelompok tertentu, yang serupa dengan dampak kolonialisme di masa lalu, pribumi dibawah kendali pendatang (penjajah).
Baca Juga: FS Itu Powerful Karena Mampu Mengkapitalisasi Jabatan yang Didukung Eksistensi Polri
Secara tegas dan nyata pemerintah kita sepertinya ingin menjadi negara kapitalis. Padahal untuk mencapai kemajuan ekonomi kita tak perlu menjadi kapitalis. Family office adalah salah satu bentuk nyata praktek kapitalis yang mana kekuatan modal menjadi sumber utamanya, dan ini berbeda dengan pandangan dasar negara kita Pancasila dan UUD 1945.
Friedrich Nietzsche mengemukakan konsep "Übermensch" atau "Superman" yang menekankan kemampuan individu untuk melampaui norma-norma dan menciptakan nilai-nilai sendiri dalam karyanya seperti "Thus Spoke Zarathustra" dan "Beyond Good and Evil".
Meskipun tidak secara langsung menghubungkan kekayaan dengan ke-ILahian, Nietzsche menyoroti bahwa kekuatan individu dapat diterjemahkan dalam konteks kekayaan sebagai sumber daya untuk mencapai tujuan pribadi dan dominasi sosial.
Baca Juga: Harga BBM Naik, Yuk Gunakan Sepeda Biar Sehat, Hemat, dan Kaum Kapitalis Hancur
Dalam konteks saat ini, kebijakan investasi pemerintah sering kali mengabaikan prinsip-prinsip kedaulatan. Kerjasama investasi yang lebih menguntungkan investor daripada negara menciptakan ketergantungan yang mirip dengan hubungan kolonialisme yang menguntungkan pihak kolonial.
Kesimpulan
Politik Etis mengajarkan pentingnya implementasi kebijakan yang hati-hati untuk menghindari konsekuensi negatif dari praktek kapitalisme, liberalisme, dan monopoli.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Tenggelamnya Rumah Allah oleh Banjir Kapitalisme
Kebijakan seperti family office berpotensi terjadinya kekuatan dalam dalam kekuasaan, karenanya harus memastikan manfaat yang merata bagi masyarakat, bukan hanya segelintir orang atau pihak luar.
Hal utama bagi pemerintah untuk mencegah neo-kolonialisme yang merugikan yaitu dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat, perlindungan lingkungan, dan kemandirian ekonomi.
Perspektif Nietzsche mengingatkan bahwa kekayaan dan kekuasaan yang tidak terkendali bisa merugikan masyarakat, serupa dengan dinamika kolonialisme masa lalu, kekuasaan ada tangan kekuatan modal.
Baca Juga: Ekonom Bhima Yudhistira Nilai Perlu Perketat Aturan Pencucian Uang untuk Family Office
Kalibata, Senin, 8 Juli 2024
Oleh: Agusto Sulistio - Pegiat Sosmed. ***