Anick HT: Guernica dan Anak-anak Gaza Itu
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Kamis, 20 Juni 2024 02:31 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Sebuah platform artificial intelligence mengantarkan saya pada sepotong lukisan berjudul Guernica. Ada kuda yang terluka, seekor banteng, perempuan yang berteriak, bayi yang meninggal, tentara yang terpotong, dan semburat api.
Picasso menciptakan Guernica sebagai respons terhadap pengeboman Guernica pada 26 April 1937 oleh Jerman Nazi dan Italia Fasis atas permintaan Nasionalis Spanyol. Lukisan ini kemudian terbang keliling dunia, membantu menarik perhatian global terhadap Perang Saudara Spanyol yang berlangsung dari 1936 hingga 1939.
Konon, Guernica adalah salah satu karya seni yang paling mengharukan dan kuat dalam sejarah, dan oleh banyak kritikus seni dianggap sebagai lukisan anti-perang yang paling berkesan.
Baca Juga: Denny JA, Fernando Botero, dan Lukisan Artificial Intelligence di Mahakam 24 Residence Jakarta
Jelas, Picasso berhasil menghadirkan sebuah lukisan sebagai pelantang untuk isu kemanusiaan dan ironi perang. Bagi Picasso, seni adalah cermin realitas sosial kita.
Pesan kuat ini pula yang saya rasakan ketika menginjakkan kaki di lantai 6 Mahakam Residence 24, sebuah hotel sederhana yang sekaligus menjadi galeri seni untuk 182 lukisan Denny JA. Lukisan dengan beragam tema itu memenuhi lorong-lorong hotel, dari lantai dasar hinggal lantai ketujuh.
Setelah mengamati lantai demi lantai yang dindingnya dipenuhi kanvas lukisan, di lantai 6 ini, sederet lukisan dramatis terhidang. Pesan kuat dan emosional segera menyulut, karena lukisan-lukisan berbasis artificial intelligence itu didominasi oleh gabungan ironi yang menyesakkan, anak-anak dalam suasana perang.
Anak-anak yang seharusnya tumbuh dalam keceriaan dan kegembiraan, harus hidup di tengah desingan peluru dan bom yang meluluhlantakkan rumah-rumah dan tempat bermain mereka. Tergambar jelas kepedihan anak-anak mungil dan imut itu dalam beberapa lukisan Denny JA tersebut.
Anak-anak yang seharusnya mengisi hari-harinya dengan bermain, bersekolah, mengaji, harus menjadi saksi betapa murahnya nyawa teman bermainnya, tetangganya, ibunya.
Ya, lukisan itu mewakili realitas tragedi kemanusiaan yang paling memilukan saat ini. Bisa dibayangkan, dalam 8 bulan penyerangan Israel ke Gaza, Rafah, dan sekitarnya, kantor berita WAFA Agency Palestina melaporkan jumlah korban yang fantastis: 37.084 orang tewas, 84.494 orang luka-luka.
Baca Juga: Melintasi Batas: Lukisan AI Denny JA dan Era Baru Seni Lukis Indonesia
Publik luas telah menyebut operasi pembantaian yang dilakukan Israel ini sebagai genosida. Dan Israel bergeming. Di hari warga Palestina merayakan Iduladha sekalipun, pasukan Israel juga melancarkan serangan udara di lingkungan Tel al-Sultan di Rafah.
Dalam liputannya, Tempo bahkan menyebutkan, selama 8 bulan operasinya, Israel telah menjatuhkan 70 ribu ton bom di Jalur Gaza, atau jauh melampaui gabungan jumlah bom yang digunakan di Dresden, Hamburg, dan London selama Perang Dunia II.
Menurut berbagai perkiraan, termasuk arsip dari New York Times, selama Perang Dunia II berlangsung, Jerman membom London dengan menjatuhkan sekitar 18.300 ton bom antara tahun 1940 dan 1941. Sedangkan Hendrik Althoff, seorang peneliti di Departemen Sejarah di Universitas Hamburg mengatakan sekutu menjatuhkan 8.500 ton bom di Hamburg pada musim panas 1943. Sekutu juga menggunakan 3.900 ton bom di Dresden pada Februari 1945 berdasarkan catatan sejarah.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Lukisan Denny JA dan Tragedi Terbesar Dunia Abad 21 di Mahakam 24
Lalu di manakah anak-anak Gaza itu?
4 Juni terlewati begitu saja, dan Israel bergeming.
4 Juni adalah Hari Internasional Anak Tak Bersalah Korban Agresi (International Day of Innocent Children Victims of Aggression) atau yang lebih dikenal sebagai Hari Anak Korban Perang Internasional.
Peringatan ini bertujuan untuk mengakui rasa sakit dan kepedihan yang diderita oleh anak-anak di seluruh dunia yang menjadi korban pelecehan fisik, mental, dan emosional akibat perang atau konflik.
Menurut laporan Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), jumlah anak yang menjadi korban mencapai 15.162 dan puluhan ribu lainnya terpisah-pisah dari keluarga mereka. Jumlah perempuan tewas dalam serangan Israel mencapai 10.018 sementara 7.000 lainnya hilang. Pemberitaan media massa mencatat, dalam 100 hari pertama konflik, lebih dari 1.000 anak Palestina di Gaza terbunuh. Jumlah pengungsi warga Palestina 1,2 juta dan sebagian dari mereka telah mengungsi beberapa kali untuk mencari ruang aman.
WHO juga mencatat, lebih dari 8.000 anak di bawah usia 5 tahun telah didiagnosis dan dirawat karena kekurangan gizi akut, termasuk 1.600 anak dengan gizi buruk akut yang parah. Namun, karena ketidakamanan dan kurangnya akses, hanya dua pusat stabilisasi untuk pasien gizi buruk yang dapat beroperasi.
Baca Juga: Iwan Partiwa: Denny JA dan Kreasi Lukisannya yang Berbasis Artificial Intelligence
Hingga saat ini, telah tercatat 32 kematian akibat kekurangan gizi, termasuk 28 anak di bawah usia 5 tahun. Krisis kesehatan tidak hanya terjadi di Gaza, tetapi juga meningkat di Tepi Barat.
Saya tercenung cukup lama di hadapan sederet lukisan anak Palestina itu. Denny JA berhasil menyulut saya dengan gambaran dramatis di hadapan saya. Wajah-wajah polos namun sendu.
Melangkah naik ke lantai 7 hotel tersebut, ironi kian menebal. Di lantai 7 itu, Denny JA menghadirkan sederet lukisan artificial intelligence dengan tema keceriaan anak-anak dengan dunianya. Tawa riang, keceriaan, senyum lebar khas anak-anak.
Baca Juga: Isti Nugroho: Kebermaknaan Lukisan AI Karya Denny JA
Sungguh kontras ini amat menyesakkan.
Eksperimen Denny JA sebagai pelukis berbasis artificial intelligence berhasil. Kecanggihan teknologi dengan optimal dimanfaatkan olehnya untuk menghasilkan hidangan yang penuh pesan dan emosi. Gaya lukisan yang ditampilkan sangat realis, mendekati surealis.
Ia diracik dari sejumlah image dan fotografi yang dikolase sedemikian rupa, sehingga Denny JA yang bukan pelukis pun mampu menumpahkan emosi, perspektif, keberpihakan, dan intelektualitas, ditambah dengan pesan yang kuat, ke dalam kanvas.
Baca Juga: Ali Samudra: Potensi Ledakan Dari Lukisan AI Denny JA
Racikan itulah yang tak mudah ditiru. Meski platform artificial intelligence dengan mudah kita temukan di seantero jagad digital, percayalah, tak semua orang akan menghasilkan karya dramatis dengan pesan yang kuat seperti itu. Dan tak semua orang bisa melukiskan emosinya, meski dibantu alat secanggih apapun.
Demikianlah. Sore ini saya menikmati keindahan imajinasi, sekaligus ironi yang memilukan hati. Hari ini saya menyantap hidangan penuh estetika, sekaligus melahap gambaran realitas yang menyesakkan dada.
Iduladha, 17 Juni 2024 ***