Diskusi Satupena, Airlangga Pribadi Kusman: Tidak Benar Ada Soekarno Muda dan Soekarno Tua yang Pandangannya Kontradiktif
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 02 Februari 2024 03:20 WIB
ORBITINDONESIA.COM – Tidak benar, ada Soekarno muda dan Soekarno tua yang dua versi itu memiliki pandangan kontradiktif. Bantahan itu ditegaskan oleh penulis dan pengamat politik Airlangga Pribadi Kusman.
Airlangga Pribadi Kusman adalah pembicara dalam diskusi tentang pemikiran Bung Karno dan kontekstualisasinya dengan kondisi Indonesia masa kini. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 1 Februari 2024.
Diskusi yang menghadirkan Airlangga Pribadi Kusman itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Webinar itu dipandu oleh Anick HT dan Swary Utami Dewi.
Baca Juga: Kilas Balik Jejak Langkah Satupena Jawa Timur Beserta Koordinatornya Akaha Taufan Aminudin
Dalam diskusi itu, Airlangga menyatakan, sudah sangat banyak tulisan dan penelitian tentang Soekarno. “Tetapi saya tidak puas. Ada pandangan-pandangan mainstream yang tidak pas dalam memosisikan Sukarno,” ujarnya.
Pertama, kata Airlangga, pandangan mainstream yang memandang Soekarno sebagai intelektual kelas dua, di bawah Tan Malaka, di bawah Syahrir, di bawah Hatta. Hanya beberapa yang mengakui Soekarno memiliki kekuatan dalam gagasannya.
“Mereka hanya melihat Sukarno memiliki kemampuan dalam komunikasi dan approach pada publik dengan cara yang memikat,” tutur Airlangga.
Baca Juga: Perkumpulan Penulis Satupena Akan Diskusikan tentang Abdul Hadi WM dan Sastra Sufistik
“Sebagian besar, jika kita melihat buku John D Legge, itu hanya menganggap Soekarno semata-mata memiliki kekuatan manipulasi terhadap masyarakat. Dan dengan itu memperdaya publik sesuai dengan kepentingannya,” lanjutnya.
Bahkan, beberapa kalangan yang respek terhadap Soekarno sekalipun, mereka melihat Soekarno itu dibagi sebagai Soekarno muda dan Soekarno tua, yang antara muda dan tua itu memiliki pandangan yang kontradiktif. Soekarno tua dianggap sudah jadi diktator.
Airlangga secara tegas menolak cara pandang itu. “Dalam buku saya, saya menunjukkan posisi yang berbeda. Justru konsistensi dari Soekarno sejak muda hingga tua itu bisa kita lihat,” ungkap Airlangga.
Artinya, ujar Airlangga, gagasan-gagasan dan tesis-tesis yang Soekarno keluarkan pada saat memimpin pergerakan nasional – seperti Marhaenisme, Pancasila, dan sebagainya – justru coba dia selenggarakan melalui langkah-langkah politik yang bisa dilihat, terutama sejak Soekarno berkuasa pada 1958.
“Kemudian dari sini, kita berhadapan dengan pandangan mainstream bahwa sejak 1958 dan seterusnya Soekarno menjadi seorang diktator,” tutur Airlangga.
Menurut dosen Universitas Airlangga ini, kita tidak bisa melakukan judgment Soekarno sebagai seorang diktator tanpa melihat kontekstualisasi situasi saat itu, di mana Indonesia dalam posisi pertarungan di era Perang Dingin.
Kata Airlangga, pandangan Soekarno tidak bisa dipahami nalarnya atau algoritmanya tanpa kita memahami pandangan yang berbasis pada critical theory, cara pandang yang pijakannya pada ekonomi politik.
Dan itu bisa dilihat dalam tulisan-tulisan Soekarno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, Swadeshi dan Massa Aksi, Marhaen dan Proletar, dan sebagainya.
“Kalau kita membaca karya-karya itu, kita akan mendapatkan spektrum yang luas, bagaimana horison pemahaman Soekarno tentang pandangan-pandangan yang saat itu menjadi perdebatan dunia. Terutama terkait bagaimana melakukan perlawanan terhadap kapitalisme, imperialisme,” jelas Airlangga. ***