Gerak 98: Tahun Vivere Pericoloso untuk Indonesia Emas 2045
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 14 Oktober 2023 09:40 WIB
Keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Baca Juga: KPK Temukan Bukti Syahrul Yasin Limpo Perintahkan Setor Uang Miliaran Rupiah untuk Partai NasDem
Pasca Reformasi, hingga kini beberapa tuntutan reformasi tersebut dengan tujuan merealisasikan mimpi negara kesejahteraan (welfare state) untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan Sejahtera belum memuaskan ekspektasi rakyat.
Pemberantasan KKN telah gagal, indeks korupsi semakin tinggi dan pelakunya menyebar tidak saja di pemerintahan pusat, merambah hingga tingkat desa.
Situasi hari ini kehidupan perpolitikan di Indonesia cenderung oligarki, berkonsolidasi berbasis pada pencapaian—normalisasi, tidak berkorelasi mendorong Indonesia yang lebih demokratis.
Hal ini disebabkan karena elit telah mampu beradaptasi mengikuti dan memproduksi aturan main demokrasi yang ada untuk memuluskan kepentingan mereka.
Baca Juga: Sikap Kompak NU dan Muhammadiyah Terkait Konflik Palestina-Israel
Benar kiranya Lord Acton dengan adigiumnya “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" kini mulai tampak symptom penyakit kronik Orde Baru versi baru, daya upaya dikerahkan untuk mempertahankan status quo cawe-cawe dengan bingkai populisme tanpa asas ideologis tergantikan dengan asas algoritmik, berdiaspora menjadi ABS (Asal Bapak Senang) dan ABG (Asal Bapak Gue), menabarak etika politik.
Menyajikan politik instan, mengkesampingkan proses politik. Hasilnya adalah politik gimmick asalkan mendapatkan trending public, pandai berkata-kata, kering tawaran strategis, serta nol besar dalam kerja untuk memajukan Indonesia.
Di sektor ekonomi. Pemberian otonomi dengan harapan akan menumbuhkan pemerataan pembangunan ternyata tidak mengalami perubahan yang memuaskan. Pusat ekonomi 55,56 persen terpusat di Jawa. Tingkat kemiskinan meski mengalami tren penurunan. Namun, angka ketimpangan justru meningkat.