Ahsan Jamet Hamidi: Terima kasih Bung Denny JA Terkait Survei tentang Muhammadiyah
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 08 September 2023 11:05 WIB
Oleh : Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Ciputat Timur
ORBITINDONESIA.COM - Pada awal September 2023, diskusi di group-group media sosial di internal warga Muhammadiyah ramai. Mereka mendiskusikan hasil temuan survei Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) terkait merosotnya jumlah pengikut Muhammadiyah.
Dalam unggahan video di akun media sosial resminya, Denny JA menyampaikan, bahwa dalam 20 tahun terakhir, dua organisasi Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengalami perubahan drastis.
Jumlah orang yang merasa bagian dari NU bertambah. Sebaliknya, jumlah orang yang merasa bagian dari Muhammadiyah, berkurang. Baik yang naik ataupun yang turun sama-sama drastis.
Baca Juga: KTT ASEAN Sudah Berakhir, Polisi Hentikan Rekayasa Lalu Lintas Kawasan Jakarta
Jumlah Warga Muhammadiyah pada tahun 2005 sebanyak 9,4 persen dari populasi penduduk Indonesia. Pada tahun 2023 menurun drastis menjadi 5,7 persen.
Sementara, jumlah warga NU pada tahun 2005 sebanyak 27,5 persen. Pada tahun 2023, jumlah itu mengalami kenaikan drastis menjadi sebesar 56,9 persen.
Denny JA tidak hanya menyajikan angka, dia juga menyampaikan pesan, bahwa penurunan itu berhubungan dengan sistem kaderisasi di internal Muhammadiyah. Sebuah pesan positif tentu. Hal itu menjadi pekerjaan rumah serius bagi Muhammadiyah terkait dengan pola dan sistem kaderisasinya selama ini.
Respons Beragam
Lumrahnya sebuah hasil survei, dalam satu objek bahasan, akan mendapatkan respons berbeda-beda. Ada yang menolak, lalu mempertanyakan metode riset yang dilakukan.
Baca Juga: Mengenal Keraton Kasepuhan Cirebon, Salah Satu Pusat Kebudayaan dan Keagamaan Tertua di Indonesia
“Siapa sih yang menjadi respondens? Itu akan berpengaruh terhadap hasil”. Demikian komentar seorang teman. Pun ada yang menerima dengan sikap biasa saja. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pil pahit, tapi menyembuhkan.
Sebagai Ketua Ranting Muhammadiyah, saya tidak akan mendebat, apalagi mempertanyakan metodologi yang digunakan, karena tidak mampu. Saya menerima hasil riset itu dengan lapang dada, dan menempatkan pandangan Denny JA pada ruang kebebasan berekspresi.
Ruang itu harus selalu ada dalam Negara Demokrasi. Melalui prinsip itu pula, orang lain bisa mengekspresikan pandangan serupa secara bebas, termasuk yang kontra.
Membaca hasil survei, tidak ada hukum salah-benar. Tapi, pembaca boleh bersikap setuju atau tidak setuju. Menerima atau menolak. Jika tidak setuju, maka ia harus memiliki argumen kuat untuk mendukung pendapatnya.
Baca Juga: Ekspresi Data Denny JA: Hanya 15,5 Persen Populasi Indonesia yang Perhatikan Isu Lingkungan Hidup
Saya tidak akan menakar kebenaran hasil survei, jika hanya mendasarkan pada pandangan personal saya terhadap pribadi pembuatnya. Dalam hal ini Denny JA. Apalagi jika hasil surveinya selama ini bertolak belakang dengan pilihan politik saya.
Lebih parahnya lagi, jika saya mendasarkan pandangan atas dasar kabar yang bersumber dari “katanya”. Dari perkataan orang lain yang tersebar dari mulut ke telinga. Itu pasti tidak valid.
Saya berusaha meletakkan proses perdebatan, baik pandangan yang pro ataupun kontra, pada ruang diskusi yang berasaskan pada prinsip kebebasan berpendapat. Saya menyimak, membaca dan mendengar semua pandangan.
Dari proses itu, saya bisa memiliki kesimpulan sendiri. Terlepas apakah kesimpulan itu benar atau salah menurut orang lain. Saya merdeka untuk menilai, manakah pendapat yang memiliki argumen dan didukung oleh data valid.
Baca Juga: Ganjar Pranowo di Mata PPP: Dia Mudah Berinteraksi dengan Semua Lapisan Masyarakat
Berkaca Diri
Ada pandangan yang menilai bahwa proses pembandingan antara Muhammadiyah dan NU itu tidak apple to apple.
Contoh pembandingan yang tepat itu misalnya jika ada survei yang menilai, manakah dari kedua lembaga survei: LSI (lingkaran Survei Indonesia) dan LSI (Lembaga Surevy Indonesia) yang hasil survei-surveinya lebih valid dalam hajatan Pilkada ataupun Pemilu?
NU dan Muhammadiyah, sama-sama ormas Islam yang dipersepsi besar di Indonesia. Meski secara jujur juga, belum pernah ada yang benar-benar menghitung lalu membandingkannya. Jika hitungan itu didasarkan pada jumlah pemilik Kartu Anggota, apakah bisa relevan? Tapi apa urgensinya ya?
Hemat saya, temuan hasil survei Denny JA itu hanya menyampaikan ”jumlah” orang yang merasa berafiliasi dengan Muhammadiyah dan NU. Tidak pada angka.
Baca Juga: Inilah Manfaat Luar Biasa Minum Air Putih Setelah Bangun Tidur Bagi Tubuh, Kamu Wajib Coba!
Dari sisi politik, besar-kecilnya jumlah pengikut Ormas itu mungkin penting, jika bisa dikaitkan dengan jumlah dukungan terhadap para kontestan dalam Pemilu. Terutama dukungan terhadap calon Presiden.
Mungkin, angka itu menjadi lebih bernilai, ketika ia bisa dikapitalisasi untuk menaikkan posisi tawar seseorang. Misalnya, seseorang bisa saja mengatakan: ”kalau anda mendukung saya menjadi pasangan, maka di belakang saya ada banyak suara lho”.
Karakter Pemilih
Hemat saya, karakter pemilih dari warga Muhammadiyah dalam Pemilu itu unik. Mereka tidak selalu akan bertumpu pada pilihan orang lain, yang dipersepsi sebagai pimpinan organisasi, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh kharismatik dan seterusnya.
Para tokoh-tokoh itu tidak mutlak bisa menjadi panutan dalam Pemilu. Petuah dan ajakannya untuk memilih calon si A atau si B, belum tentu diikuti dengan pasrah. Sebagai sebagai ketua Ranting, saya sendiri merasa risih, tidak berani meminta anggota Ranting untuk memilih calon tertentu.
Baca Juga: Inilah Sejarah Hari Radio Republik Indonesia yang Diperingati 11 September 2023 yang Perlu Anda Tahu
Pemilu 1999 cukup memberikan pelajaran. Saat itu, Pak Amin Rais, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, mencalonkan diri menjadi Presiden. Hasilnya, tidak ada jaminan, bahwa saat itu, semua warga Muhammadiyah memilihnya.
Begitu juga pada Pilpres selanjutnya. Pilihan para tokoh Muhammadiyah, belum tentu akan diikuti oleh kader Muhammadiyah di tingkat basis. Setiap orang memiliki kemerdekaan untuk memilih calon siapa saja, tanpa harus memedulikan pilihan para ”tokoh” panutannya di Muhammadiyah.
Atas dasar itu, saya berharap bahwa suatu saat bisa menemukan survei yang bisa menyajikan data tentang kualitas kemanfaatan dari Ormas yang hadir di tengah masyarakat. Jumlah pengikut di Muhammadiyah, belum tentu bisa berbanding lurus dengan kualitas kemanfaatannya.
Meskipun begitu, saya tetap mengucapkan terima kasih kepada Anda, Bung Denny JA. Berkat temuan survei Anda, saya menjadi terpicu untuk bekerja lebih keras, agar kehadiran Muhammadiyah betul-betul bisa memberikan manfaat lebih baik bagi orang banyak. Melalui standar kemanfaatan itulah eksistensi Muhammadiyah itu diukur. ***