Karena Izin Praktik IDI yang Berbelit, Banyak Dokter Terpaksa Menggunakan Calo
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 30 Juni 2023 11:50 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kontroversi RUU Kesehatan saat ini membuka banyak persoalan yang selama ini terpendam dalam dunia kedokteran. Salah satu tujuan utama pemerintah adalah meningkatkan jumlah dan mutu dokter dan dokter spesialis di Indonesia.
Makanya persyaratan proses menjadi dokter dipermudah dalam RUU Kesehatan ini. Salah satunya dengan menghapus peran Ikatan Dokter Indonesia atau IDI sebagai organisasi profesi tunggal yang menentukan karier seorang dokter.
Tapi ini justru yang menjadi salah satu alasan penolakan terus menerus terhadap RUU Kesehatan. IDI bahkan mengancam kalau para dokter se Indonesia akan mogok kerja kalau RUU ini terus dibahas.
Baca Juga: Isti Nugroho: Umur Politik Tidak Cukup
Pertanyaannya: seberapa sulit sih sebenarnya aturan yang ada saat ini? Berbagai media melaporkan bahwa sama sekali tak mudah untuk menjadi dokter di Indonesia.
Sekadar pintar, memiliki keahlian dan bersedia mengabdi saja itu belum cukup. Ada banyak aturan ini-itu yang harus dihadapi yang membuat dokter patah di tengah jalan.
Nah, salah satu yang menjadi faktor penghambat adalah persyaratan untuk memperoleh Surat Izin Praktek. Untuk memperoleh SIP dari Dinas Kesehatan ini harus ada rekomendasi dari IDI.
Masalahnya, IDI memberikan persyaratan macam-macam sebelum bersedia memberikan rekomendasi. Di media online Beritasatu.com menurunkan rangkaian laporan tentang kesulitan para dokter untuk memperoleh Surat Izin Praktek.
Baca Juga: LSM Kasih Palestina Berjuang Sediakan Air Bersih untuk Warga Palestina di Gaza
Dalam laporan itu digambarkan bahwa akibat sulitnya memperoleh rekomendasi IDI, banyak dokter yang mengambil jalan pintas dengan menggunakan jasa calo. Ini kan bikin kita miris ya?
Jadi digambarkan di sana, seorang dokter harus mengumpulkan ratusan satuan kredit profesi (SKP) supaya bisa mendapatkan rekomendasi dari IDI. Nah karena itu, seorang dokter harus mengumpulkan SKP dari kegiatan klinis maupun non-klinis, seperti pengabdian masyarakat, penelitian, dan seminar.
Jadi si dokter ini dinilai bukan saja dari kemampuannya menangani pasien, tapi juga harus ikut seminar di banyak tempat atau harus bikin penelitian yang menyita banyak waktu.
Para dokter di kota-kota besar lebih mudah memenuhi persyaratan ini karena kan soal akses dan biaya. Seminar-seminar Kesehatan tapi lebih banyak dilakukan di kota-kota besar.
Karena itu para dokter di daerah harus mengeluarkan biaya yang ekstra. Mereka terpaksa terbang untuk bisa mengikuti dan biayanya kan tidak murah. Isi seminarnya sendiri jadi tak penting. Yang penting para dokter mendapat sertifikat keikutsertaan.
Karena kesulitan itulah, banyak dokter yang akhirnya memilih menggunakan jasa calo. Tuntutan ini semakin besar kalau seseorang dokter mau jadi spesialis. Ini menjadi persoalan serius karena Indonesia masih kekurangan 30.000 dokter spesialis.
Seorang dokter spesialis harus memiliki surat yang namanya Surat Tanda Registrasi. Masalahnya STR ini harus diperbarui setiap lima tahun sekali. Pengurusan STR rumit karena persyaratannya sungguh banyak.
Si dokter harus mencatat dan mengunggah data sertifikat simposium dan seminar, jumlah pasien, penelitian serta kegiatan sosial yang dilakukannya. Pengurusannya bisa memakan waktu berbulan-bulan. Padahal sang dokter spesialis sudah sibuk kan dengan kegiatan prakteknya yang kadang bukan cuma di satu tempat.
Baca Juga: Waspada 7 Dampak Mengejutkan dari Perselingkuhan Orang Tua Terhadap Perkembangan dan Psikologis Anak
Dalam RUU Kesehatan, kerumitan ini berusaha dicegah. Dalam RUU Kesehatan, STR diberlakukan sekali seumur hidup. Tapi lagi-lagi, organisasi profesi seperti IDI menolak ketentuan itu. Ini semua tentu disayangkan.
Sebagai sebuah organisasi profesi, IDI seharusnya menjadi organisasi yang menjaga dan meningkatkan martabat profesi kedokteran. Menjalankan profesi dokter memang nggak bisa asal-asalan.
Bila tidak diawasi secara baik, dokter yang tidak cakap bisa mengambil korban nyawa pasien. Tapi itu tidak juga berarti IDI layak menerapkan aturan-aturan yang justru menghambat. Persyaratan yang dibuat IDI terkesan mempersulit pelayanan dokter di Indonesia.
IDI sudah memonopoli organisasi profesi kedokteran selama puluhan tahun. Sudah saatnya kondisi itu diubah.
Biarkan pemerintah menjadi lembaga regulator, sementara IDI menjadi salah satu dari sejumlah organisasi profesi yang mengembangkan profesionalisme dokter dan tenaga kesehatan.***