Jerry FG Bambuta: Makna Ketulusan di Tengah Era Oportunistik
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 07 Juni 2023 07:20 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Modernisasi yang kian liberal cenderung membuat manusia makin opurtunis, tak heran jika manusia pun kerap menjadi predator terhadap sesama.
Menjadikan sesama menjadi tumbal di anggap halal untuk membangun imperium pribadi yang menjulang dalam kemegahan.
Kerap kali, imperium tersebut di bangun dengan darah, air mata dan peluh dari sesama yang di jadikan mangsa predatoris secara politik maupun ekonomi.
Baca Juga: SETI Mencari Kehidupan Berakal di Luar Bumi.
Kondisi di atas mendorong manusia modern cenderung menjadi materialistik, hedonistik dan individualistik. Nilai spiritual, nilai moral dan nilai kearifan lokal sebagai "denyut keadaban" terancam memudar.
Manusia modern kian meninggalkan identitas sebagai "homo socious" demi ber-evolusi primitif menjadi "homo homini lupus". Lantas, di manakah "ruang ketulusan hidup" harus menempatkan diri ketika era opurtunisme mdernisasi kian barbar?
Mengutip adagium seorang bijak spiritual, ia menyebut "cerdiklah seperti ular, dan tuluslah seperti merpati." Jika hanya menjadi cerdik tanpa ketulusan, maka kita tak bedanya sebagai makhluk predator buas penuh kelicikan yang kehilangan "sense of humanity".
Sebaliknya, jika kita hanya tulus tanpa kecerdikan, maka kita akan terbonsai sebagai individu inferior yang akan jadi mangsa empuk dari persaingan modernisasi yang barbar.
Baca Juga: Musim Kemarau Tiba, 8 Jenis Makanan Ini Cocok Dikonsumsi Agar Cegah Kulit Kering dan Bersisik
Kita harus cerdik agar tak tertipu dengan jebakan muslihat di tengah era penuh kepalsuan hari ini. Dan, kita harus tulus agar kita jadi bagian dari "kaum Sengkuni" penuh muslihat memperdaya orang demi perut pribadi.
Kecakapan kecerdikan dan karakter ketulusan wajib menjadi "default setting" yang permanen dan matang dalam jati diri kita.
Orasi anda bisa membakar emosi audiens, tapi hanya melalui "frekuensi ketulusan" yang anda pancarkan akan membuat orang lain melebur hidupnya dalam 'front line" perjuangan Anda.
Orang lain tak akan pernah peduli dengan apa yang anda ucapkan dan lakukan, sampai mereka sadar bahwa anda peduli dengan apa yang orang lain ucapkan dan lakukan.
Lingkungan yang kian pesimistik dan apatistik, kerap tak akan pernah peduli dengan apa yang Anda ucapkan. Tapi, perhatian mereka akan tersentak dengan apa yang Anda buktikan dalam ruang realita.
Meski demikian, kita harus menjaga diri tak terjebak pada godaan ekspektasi pembuktian diri karena krisis "self insecure".
Berjuanglah dalam ketulusan dan kecerdikan untuk apa yang kita yakini. Tanpa harus terusik dengan upaya pembuktian diri kepada siapa pun.
Karena memiliki sedikit, kita kerap dihina. Memiliki banyak, kita kerap di curigai. Melakukan kesalahan, kita kerap di caci. Dan, melakukan benar sekalipun, kita malah digibahi.
Baca Juga: Singapore Open 2023: Kalahkan Thailand, Ganda Leo Daniel Melaju ke 16 Besar
Ingatlah hal ini. Jika kita merasakan derita, itu pertanda kita masih hidup. Tetapi, jika kita peka dengan derita orang lain, itu pertanda bahwa kita seorang "manusia".
Ketulusan adalah tanda kita memiliki "denyut kehidupan" sebagai seorang manusia. Kecerdikan adalah tanda kita memiliki "denyut kecakapan" sebagai manusia merdeka.
Kesepian paling tragis bukan hanya terputus hubungan dengan orang yang kita kasihi. Tapi ketika kita kehilangan "sense of crisis" terhadap kemanusiaan adalah "social loneliness" yang tragis.
Realita kemiskinan kerap mempertontonkan manusia tanpa baju di luar sana. Ironisnya, di luar sana, ada juga bertebaran baju-baju mewah. Sayangnya, di balik baju mewah tersebut malah bukan manusia karena denyut kehidupan kemanusiaan telah mati dalam diri mereka.
Presiden Ghana, Nana Addo pernah berkata: "Masih lebih mudah menghidupkan perekonomian yang telah mati daripada menghidupkan kemanusiaan yang telah mati".
Jika kemanusiaan redup, maka residu tragedi akan selalu melahirkan dua peran, yaitu Penindas dan Tertindas. Penindas adalah mereka yang melupakan dan meninggalkan kemanusiaan-nya. Sedangkan, Tertindas adalah mereka yang kehilangan kemanusiaannya.
Jika sektor pendidikan formal/non formal di bangsa ini gagal memerdekakan, maka mimpi masa depan seorang yang tertindas adalah menjadi penindas kelak.
Sobat, mari renungkan. Masih adakah "denyut ketulusan hidup" dalam bilik nuranimu?
Oleh: Jerry F. G. Bambuta, Forum Literasi Masyarakat