DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Dr HM Amir Uskara: Bung Karno, Tito, dan Ekonomi Pancasila

image
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI HM Amir Uskara tentang Bung Karno, Tito dan Pancasila.

Oleh: Dr. H.M Amir Uskara, Anggota DPR RI/Ketua Fraksi PPP

ORBITINDONESIA.COM - Dialog antara Soekarno dan Josep Broz Tito tahun 1960-an, tentang "kekuatan suatu bangsa" sangat menarik. Presiden Yugoslavia saat itu, Broz Tito merasa yakin negerinya tidak akan pecah. Karena "tentara kami sangat kuat dan kami bisa mengendalikan negara," kata Tito.

Josep Broz Tito, yang terpilih sebagai Presiden Yugoslavia tahun 1953, memang sosok pemimpin kharismatik. Tito berteman dekat dengan Bung Karno. Karena keduanya pendiri non-blok, tidak pro-Amerika dan Uni Soviet.

Saat itu memang dunia terbagi dalam dua poros. Kapitalisme Amerika dan Komunisme Soviet. Kedua blok tersebut perang dingin. Nah, Indonesia dan Yugoslavia memilih netral. Tidak pro-Barat dan tidak pro-Timur. Alias Non-Blok.

Baca Juga: Shin Tae yong Kenalkan Charis Yulianto dan Haryanto Prasetyo Sebagai Asisten Pelatih yang Baru

"Bagaimana negara Indonesia? Bisakah mengatasi perpecahan," tanya Tito kepada Bung Karno.

"Indonesia tidak akan pecah, karena kami mewariskan ideologi perekat bangsa yang kuat, Pancasila," ujar Soekarno. Pancasila mempersatukan bangsa, tambah presiden pertama Republik Indonesia itu.

Tito kaget. Mungkinkah sebuah ideologi bisa merekatkan bangsa Indonesia yang terdiri atas ribuan suku dan bahasa?

Tito meragukan ucapan Bung Karno. Ia merasa, Yugoslavia yang kuat militernya lebih mampu menjaga persatuan bangsanya ketimbang Indonesia yang hanya mengandalkan ideologi Pancasila.

Baca Juga: Playoff Liga Champion Asia: Prediksi dan Link Streaming Bali United Melawan PSM Makassar

Republik Yugoslavia merupakan negara federal yang pernah eksis di Eropa sampai hampir akhir abad ke-20. Di bawah Tito, Yugoslavia tumbuh besar, bersatu, kuat, dan maju.

Tapi setelah Tito meninggal tahun 1980, negara-negara bagian di Yugoslavia terlibat konflik politik. Federasi pun mulai retak.

Pada awal 1990-an, perpecahan benar-benar terjadi. Dan Yugoslavia runtuh pada tahun 1992. Republik yang semula besar dan kuat itu pecah menjadi enam negara bagian yang berdiri sendiri -- Serbia, Montenegro, Slovenia, Kroasia, Bosnia-Hezergovina, dan Makedonia. Dua daerah lainnya berstatus otonomi khusus (Kosovo dan Vojvodina).

Indonesia pun sebetulnya nyaris pecah karena "intervensi politik" Belanda. Sang penjajah tak mengakui kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Belanda memecah Indonesia menjadi 16 negara bagian (federal). Bentuk pemerintahan Indonesia -- seperti halnya Yugoslavia -- federal.

Baca Juga: Ahmad Muzani Gerindra: Erick Thohir Jadi Salah Satu Kandidat Cawapres Prabowo

Tapi berkat kepiawaian politisi Indonesia, bentuk federal itu diubah menjadi negara kesatuan di parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), tahun 1950. RIS pun berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Betul apa yang dikatakan Bung Karno kepada Broz Tito --Indonesia tidak akan hancur karena punya ideologi Pancasila. Dalam pembukaan UUD 1945 -- di mana latar belakang Pancasila dijabarkan -- terdapat pernyataan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan. Bukan federasi.

Sejak itu, April 1950, hingga hari ini, 2023, terbukti Indonesia tetap utuh sebagai NKRI. Ideologi Pancasila sebagai "soft power" ternyata lebih kuat dari kekuatan militer (hard power)-nya Yogoslavia dalam menjaga keutuhan negara.

Alhamdulillah hingga hari ini, NKRI tetap berdiri kokoh. Tapi yakinkah Indonesia akan tetap utuh seperti sekarang di masa depan?

Baca Juga: SInopsis Film Under Siege: Menghadapi Pengepungan Kisah Aksi Steven Seagal Penuh Ketegangan Tayang di Trans TV

Pertanyaan ini muncul karena Pancasila sebagai perekat keutuhan bangsa dan negara Indonesia, ternyata belum benar-benar "membumi" di seluruh nusantara.

Ada salah satu pilar dari Pancasila -- pinjam pernyataan Buya Ahmad Syafi'i Maarif -- yang nyaris tak tersentuh. Yaitu sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Buya Syafii menyatakan Sila Kelima dalam Pancasila -- Keadilan Sosial -- seperti anak yatim piatu. Keadilan sosial -- terutama yang menyangkut ekonomi -- masih jauh dari harapan. Ekonomi kerakyatan yang dikumandangkan Pasal 33 UUD 45, saat ini, berjalan terseok-seok. Bahkan nyaris ambruk.

Kita tahu, Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan fundamen sistem perekonomian nasional. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”

Baca Juga: Profil Lengkap Zlatan Ibrahimovic, Sang Raja Liga yang Putuskan Pensiun di Usia 41 Tahun di AC Milan

Makna yang terkandung dalam ayat tersebut sangat dalam: sistem ekonomi yang dikembangkan seharusnya tidak berbasis persaingan usaha yang saling membunuh dan bersifat individualis oligarkis. Tapi sistem koperasi.

Bung Hatta menyatakan, sistem ekonomi koperasi adalah yang paling tepat untuk Indonesia. Ekonomi koperasi sesuai dengan Pancasila.

Di Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, tertera jelas bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti air, bahan bakar (minyak dan batubara) dan kekayaan alam lain harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian, kemajuan ekonomi negara harus inheren dengan kemajuan ekonomi rakyat mayoritas.

Baca Juga: Sinopsis Film The Equalizer Ketika Kekuatan Denzel Washington dan Keadilan Bersatu di Bioskop Trans TV

Tapi apa yang terjadi sekarang? Ketimpangan ekonomi di Indonesia antara the poor yang mayoritas dengan the rich yang minoritas amat dalam. Saat ini, 10 persen orang kaya menguasai 90 persen ekonomi Indonesia. Kondisi ini jelas tidak sehat dan bisa memicu konflik yang berujung pada perpecahan.

Di samping itu, korporasi-korporasi besar yang menguasai ekonomi di Indonesia, justru merusak lingkungan dan menghancurkan ekonomi rakyat.

Bukan rahasia lagi -- kerusakan hutan, kehancuran lingkungan akibat pertambangan, dan pencemaran sungai akibat industri yang menggunakan bahan-bahan kimia, telah menghancurkan potensi ekonomi rakyat mayoritas.

Hutan rusak menyebabkan banjir dan longsor. Air tercemar menyebabkan ikan mati dan sawah rusak. Polusi udara menyebabkan paru-paru sakit dan tubuh manusia lemah. Semuanya membuat rakyat sengsara dan menderita.

Baca Juga: Inspiratif! Mahasiswa Universitas Jember Ini Punya Segudang Prestasi, Bahkan Jadi Penulis Buku

Seperti dinyatakan Buya Syafii -- rakyat tersingkir dari kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial yang berkeadilan akibat keserakahan oknum-oknum pebisnis yang mengendalikan korporasi secara serampangan. Tanpa melihat sisi manusiawi rakyat. Tanpa melihat keadilan ekonomi yang dituju Pancasila.

Lalu di mana sila kelima? Akankah tetap menjadi anak yatim piatu yang terlantar?

Catat, Sayidina Ali menyatakan, keadilan -- baik sosial maupun ekonomi -- adalah tiang utama penyangga kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara. Tanpa keadilan, negara akan runtuh.

Jadi, ideologi Pancasila tanpa implementasi keadilan sosial ekonomi, niscaya akan rapuh. Selanjutnya Indonesia sebagai NKRI yang berbasis pada Pancasila bisa runtuh.

Baca Juga: Kanwil Kemenkumham Sumatra Selatan Beri Ratusan Bantuan Hukum Gratis kepada Warga Miskin

Karena itu, the only way untuk menghidupkan Pancasila sebagai perekat persatuan dan kesatuan nasional adalah mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi di tengah rakyat.

Tanpa itu, meskipun bentuk negara kita adalah NKRI, nasib seperti Negara Federasi Yugoslavia yang pecah, bukan sesuatu yang mustahil terjadi di Indonesia.

Waspadalah! ***

Berita Terkait