Kalau Beli Buku, yang Perlu Diperhatikan Bukan Penulisnya Tetapi Kata Pendahuluan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 24 Juli 2023 09:54 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kalau beli buku, saya tidak pernah memperhatikan siapa penulisnya. Yang saya perhatikan adalah kata pendahuluan dari tulisan itu.
Dari kata pendahuluan itu saya tahu motivasi dia menulis dan apa kerangka berpikir yang dia pakai. Kalau dari situ menurut saya perlu sebagai pengetahuan, ya saya beli buku itu.
Tapi ada teman, beli buku karena faktor siapa penulisnya. Sama dengan nonton film karena aktor film. Kalau aktornya disukai ya tonton. Kalau tidak suka, ya dia tidak tonton. Ya dia fokus ke cover buku.
Baca Juga: Inspirasi dari Film Oppenheimer (2023): Dilema Moral Seorang Ilmuwan
Kalau saya beli buku karena suka tidak suka dengan penulisnya. Itu artinya saya bersikap emosional dan personal terhadap orang. Itu pasti tidak objektif. Saya terjebak antara sikap pemuja dan pembenci.
Itu ciri khas ketidakmandirian. Hidup bergantung kepada orang lain. Sampai mati tidak akan pernah dewasa dan kalau ada masalah selalu berharap empati dari orang lain lewat keluhan dan menyalahkan.
Saya tidak punya preferensi berlebihan secara personal kepada siapapun. Saya hanya focus kepada masalah substansi saja. Bahwa tidak ada manusia sempurna. Tapi manusia punya akal untuk menentukan piihan.
Nah, saya memilih jalan rasional bukan emosional. Apakah orang suka atau tidak suka. itu bukan urusan saya. Karena saya juga belum tentu benar. Yang pasti saya bukan orang baik amat.
Baca Juga: Fakta Unik Pembuatan Anime One Piece Gear 5 Monkey D Luffy, Harus Pakai 4 Bahasa
Sebagai bayi, kita menangis sepuasnya untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita lapar, kita menangis dan ibu kita menyuapi kita. Ketika kita lelah, kita menangis dan kita diayun untuk tidur.
Ya, kita menangis untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dan itu bekerja dengan sangat baik. Sayangnya, terlalu banyak orang dewasa masih berkelakuan bayi. Sibuk mengeluh dan menyalahkan orang lain. Sepanjang waktu terus seperti bayi. Usia menua tapi kelakuan balita.
Di Hong Kong saya dimenani Wenny makan siang. Saat masuk restoran, saya bertemu Wu. Dia menyalami saya dan saya balas senyum. Dia minta izin ke tablenya. “Wu selalu cerita hal yang buruk tentang kamu. Seakan dia sangat mengenal kamu. Padahal dia bukan siapa siapa,“ kata Wenny.
“ Ah biasa saja. Namanya bisnis. Saya juga bukan orang baik amat,” kata saya tersenyum.
“ Kamu tidak tersinggung?"
“ Bagi saya bisnis itu battlefield. Kita bersahabat dan bermitra lebih dari 10 tahun. Apakah kamu pernah merasakan sikap emosional saya terhadap kamu, sehingga menghilang sikap rasional saya? “ kata saya. Wenny menggeleng.
“Nah, kalau saya larut dengan emosional maka kontruksi hubungan kita rapuh. Kapanpun bisa retak dan pecah. Dan terbukti kamu bisa menerima sikap saya. Itu artinya kamu memang dewasa.“
Wenny tersenyum
“Wu belum beranjak dewasa. Saya tidak berteman dengan balita tetapi dengan orang dewasa,“ kata saya membalas senyum.
Baca Juga: Iyyas Subiakto: Langkah Jokowi Memang Sulit Ditebak
Perjalanan menempuh usia senja, mengajarkan banyak hal kepada saya. Secara personal saya tidak pernah membenci siapapun. Juga tidak pernah mengidolakan siapapun kecuali orang tua saya.
Saya berusaha menjaga tetap objektif dan proporsional bersikap. Mengapa? orang lain itu tidak ada kaitannya dengan masalah subtansi yang saya hadapi. Hidup ini bukan antara saya dan Anda. Tetapi antara saya dan Tuhan saja.
Makanya dalam situasi apapun saya selalu ingat pesan ibu saya. “Jangan pernah tinggalkan berdoa.“ Itu artinya ibu ingatkan saya bahwa dunia ini hanya senda gurau belaka. Jangan fokus ke sana. Itu neraka. Yang ensensi adalah hubungan saya dengan Tuhan.
Saya bukan siapa siapa tanpa Tuhan. Cukuplah Tuhan tempat bersandar. Kini saya menua dan saya baik baik saja. Saya punya financial freedom, bukan karena saya super rich tapi karena saya hidup sederhana. Dipuji tidak melambung, dan dibenci tidak tersungkur. Menjadi tua itu keniscayaan tapi dewasa itu pilihan. (Babo) ***