Isti Nugroho: Politik Buto Terong
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 15 November 2023 09:30 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Di dalam ensiklopedia wayang karya Drs. Sortarno AK, yang terbit 1989, Buto Terong dijelaskan sebagai raksasa yang hidungnya besar.
Buto penganggu keamanan, bukan karena suka membuat rusuh, tapi hanya buto yang makannya banyak sekali. Saking banyaknya maka dikenal sebagai rakus atau serakah.
Dalam ensiklopedia itu tidak dijelaskan hubungan buto Terong sebagai sosok dengan politik, apalagi politik di Indonesia. Jadi buto Terong hanya tokoh wayang. Bukan makhluk yang hidup dalam sejarah manusia, apalagi manusia Indonesia.
Baca Juga: Hasil Grup D Piala Dunia U17 2023, Kalahkan Jepang Argentina Jaga Asa ke 16 Besar
Buto Terong hanya tokoh wayang yang muncul dalam perang kembang. Dalam perang kembang itu buto Terong selalu menghadang kesatria yang kebetulan berpapasan jalan dengannya.
Setelah bertemu, buto Terong melarang kesatria itu meneruskan perjalanannya. Karena ksatria tidak mau menuruti perintah buto Terong, terjadilah perkelahian. Di dalam cerita para dalang wayang kulit buto Terong selalu kalah berkelahi dengan para ksatria yang kebetulan berpapasan dengannya.
Tentu saja dalam tulisan ini saya hanya menggunakan judul politik buto Terong untuk menengarai fenomena yang sedang berjalan dalam politik di Indonesia. Buto Terong hanya sebuah penamaan judul tulisan.
Politik buto Terong adalah gejala politik subjektif aktivis politik yang tidak puas dengan kepemimpinan politik demokrasi pilihan langsung.
Baca Juga: Cawapres Gibran Resmi Tunjuk Emil Dardak dan Arumi Bachsin Jadi Juru Bicara Koalisi Indonesia Maju
Sistem pemilu pilihan langsung tidak selalu memberikan kualitas pemimpin yang benar-benar sesuai harapan rakyat. Pilpres yang sukses diadakan 4 kali hanya menyodorkan yang terbaik dari yang terburuk.
Setelah rezim reformasi menggelar pemilu secara langsung 4 kali secara demokratis dan sukses gilang-gemilang, masih ada gerakan politik yang merasa tidak puas terhadap hasil pemilu dalam sistem pilihan langsung.
Gerakan politik buto Terong selalu menghadang jalannya sistem demokrasi pilihan langsung. Dalam sistem demokrasi pilihan langsung seorang profesor nilainya sama dengan tukang ojek. One man One vote. Seorang filsuf sama bobotnya dengan penggali kubur.
Untuk itu dalam sistem demokrasi pilihan langsung oleh gerakan politik buta Terong, dicoba dihalangi dengan gerakan alternatif. Salah satu gerakan alternatif itu kembali pada UUD 1945.
Selain gerakan kembali ke UUD 45, juga gerakan nol persen. Tidak ada batasan 20 persen dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden. Semua partai peserta pemilu boleh mencalonkan presidennya, tanpa harus memenuhi standar 20 persen presidential threshold.
Politik buto Terong adalah politik subjektif yang terjadi karena rasa tidak puas terhadap pemimpin hasil pemilu secara langsung. Hal itu karena pemilu yang terjadi sudah dibajak oleh uang. Hanya yang beruanglah yang bisa berlaga dalam pemilu One Man One vote.
Yang tidak memiliki uang banyak dan mengantungi 20 persen presidential threshold, tidak bisa ikut kompetisi. Itulah fenomena menguatnya sistem politik Oligarki. Hanya sedikit orang yang menentukan persyaratan para peserta pemilu.
Politik buto terong juga bisa menjadi gerakan politik subjektif yang timbul dari rasa rakus. Bukan rakus kepingin makan banyak tetapi rakus kekuasaan.
Dibatasi dengan hanya boleh dipilih 2 kali, maunya nambah 3 kali atau 3 periode. Harusnya 2 kali ingin diperpanjang masa jabatannya lagi, agar bisa menyelesaikan proyek - proyeknya.
Politik buto Terong bisa menjelma di dalam berbagai gerakan politik dalam masyarakat. Karena politik buto Terong hanya politik yang hanya menghadang dan mengganggu jalannya politik yang sudah mapan.
Politik buto Terong tidak bermakna baik dan buruk atau salah dan benar, karena politik buto Terong bisa hanya menawarkan alternatif pilihan politik yang sudah ada dan yang sudah berjalan.
Politik Buto Terong hanya penamaan politik subjektif penulis untuk menggambarkan fenomena politik yang sedang berlangsung.
Karena seperti yang dijelaskan dalam dunia pewayangan, Buto Terong hanya muncul dalam cerita kembangan agar dunia pewayangan lebih berwarna. Begitupun politik buto Terong hanya sebuah tulisan ringan untuk melihat timbulnya gejala politik yang sedang berlangsung.
(Oleh: Isti Nugroho) ***