DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Food for Peace dan Serendipity Jokowi

image
Sekjen DPR Indra Iskandar

Oleh: Dr. Indra Iskandar, Sekretaris Jenderal DPR RI

ORBITINDONESIA - Rabu dan Kamis pekan lalu (29-30 Juni 2022), Presiden Jokowi mengguncang dunia. Betapa tidak. Di tengah kecamuk perang Rusia-Ukraina, Presiden Indonesia berkunjung ke Ukraina dan Rusia.

Semua orang salut. Senayan pun tabik melihat keberanian dan kepedulian Jokowi terhadap konflik Rusia-Ukraina tersebut. Kantor berita Reuters yang berbasis di London, Inggris, menulis Presiden Joko Widodo sedang menjalankan misi damai antara Rusia dan Ukraina.

Jelas, ini langkah strategis Presiden Jokowi mengingat Indonesia saat ini adalah "presiden" G20. Di dalam G20 ada Amerika, Rusia, China, Inggris, Jerman, Prancis, dan Uni Eropa -- negara-negara penting yang "terlibat" dalam perang tadi.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Poros Gerindra-PKB Menang di Kalangan Pemilih Muslim

Untuk melancarkan misinya, Jokowi mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk hadir di acara pertemuan puncak G20 di Bali, November 2022.  Kita berharap, KTT G20 di Bali sukses. Rusia dan Ukraina kembali bersahabat sebagai bangsa serumpun.

Seperti biasa, di samping banyak tokoh yang memuji langkah Jokowi, banyak pula yang mencercanya. Upaya Jokowi dianggap sia-sia.

Tak mungkinlah Presiden Indonesia mendamaikan perang antara Ukraina dan Rusia -- yang sesungguhnya merupakan perang proksi antara Barat (AS dan NATO sekutunya) dan Timur (Rusia-China). 

Kelompok oposisi yang nyinyir memang kadung benci Jokowi. Mereka tak bisa melihat peluang perdamaian sedikit pun. Padahal dalam misi damai Jokowi, terdapat peluang strategis untuk mewujudkan perdamaian.

Baca Juga: Survei LSI Deny JA: Poros PDI Perjuangan Menang di Kalangan Pemiih Wong Cilik

What is that?  Food for peace. Serendipity dari food for peace, cepat atau lambat akan membuka kunci penting untuk terwujudnya perdamaian itu.

Baiklah, kita lihat problem pangan dulu. Akibat perang Rusia-Ukraina, ketersediaan pangan dunia terguncang. Maklumlah, kedua negeri itu adalah salah satu lumbung pangan terbesar di dunia.

Akibat perang, di Ukraina ada 22 juta ton gandum teronggok muspro. Tak terjual di pasar dunia.

Tak lama lagi, Ukraina akan panen gandum yang jumlahnya 55 juta ton. Ini artinya akan ada 77 juta ton gandum yang sia-sia, jika perang terus berkecamuk. Belum lagi gandum hasil panen Rusia, yang jumlahnya tak kalah dari Ukraina.

Baca Juga: Di Balik Penerbitan Buku Mustika Rasa Era Soekarno

Dari kasus gandum ini saja, niscaya yang namanya manusia akan trenyuh. Betapa tidak! Jika perang terus berlangsung, akan ada 800 juta lebih manusia kelaparan.

Sekjen PBB Antonio Guterres jelas melihat peluang itu. Ia pun berpesan pada Jokowi agar membicarakan masalah pangan ini dengan Ukraina dan Rusia.

Pangan adalah kebutuhan utama manusia yang hidup di bumi. Tanpa pangan, pekerjaan apa pun terbengkalai. Dan itu tampaknya disadari betul oleh Zelenskyy dan Putin.

Ketika Jokowi menceritakan soal pangan, baik Zelenskyy maupun Putin mengalah untuk mengutamakan pangan ketimbang perang.

Baca Juga: Survei LSI Denny JA: Poros KIB Menang di Kalangan Pengguna Facebook dan Whatsapp

Meski kata perdamaiannya masih tersublim dengan kata "gencatan senjata" -- diplomasi  pangan Jokowi membuat Zelenskyy dan Putin punya pikiran sama.

Ya. Kedua pimpinan yang sedang konflik itu  punya pikiran sama. Mereka prihatin terhadap krisis pangan akibat perang.  Maka, dari sanalah akan terbuka dialog.

Dialog adalah kunci dari pintu perdamaian. Mustahil perdamaian akan tercipta tanpa dialog. Dari sisi inilah, membuka dialog, itulah keberhasilan Jokowi dalam mengupayakan perdamaian antara Rusia-Ukraina.

Serendipity -- terbukanya  keberuntungan yang terus menerus -- niscaya akan mengarah pada tercapainya perdamaian.

Baca Juga: Sri Lanka Bangkrut Dalam Krisis Keuangan Terburuk

Amerika dan sekutunya, yang sekarang memblokir aset-aset Rusia di perbankan mereka, niscaya akan sadar bahwa "pemblokiran" tersebut hanya memperpanjang perang. Memperpanjang perang sama  artinya dengan memperpanjang  masa kesulitan pangan dunia.

Etika demokrasi yang sering dikumandangkan Amerika,  cepat atau lambat,  akan menyadarkan Barat untuk membuka isolasinya terhadap Rusia. Bukankah dulu, tanpa Rusia, Perang Dunia II akan lebih lama?

Bagaimana pun, Rusia --dulu centernya Uni Soviet-- punya kontribusi besar dalam mengalahkan tentara Nazi Jerman dan tentara Fasisme Jepang.

Seperti dikatakan Presiden Jokowi dalam dialognya dengan Kompas (1 Juli 2022), diplomasi pangan untuk perdamaian adalah sangat penting.

Baca Juga: Nathalie Holscher Belum Pulang, Sule: Pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa

Karena melalui food for peace ini, kata Presiden Jokowi, semua kepentingan terakomodasi. Di sana, ada titik temu. Jika sudah ada titik temu, kata Jokowi, titik-titik temu yang lain akan bermunculan.

Itulah serendipity dari diplomasi food for peace ala Jokowi.  Kita optimis, serendipity tersebut akan berjalan cepat, bahkan lari kencang, untuk menyelesaikan krisis Rusia dan Ukraina. Waktu yang akan membuktikannya. Semoga.***

Berita Terkait