Yuliyanto Budi Setiawan: Janda oleh Media Selalu Dilekatkan Dengan Karakter Jahat atau Negatif
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 30 Juli 2022 14:12 WIB
ORBITINDONESIA – Ada label identitas yang melekat bahwa janda oleh media selalu dilekatkan dengan karakter jahat atau negatif, yang tentunya berbeda dengan perempuan-perempuan lain pada umumnya. Demikian hasil pengamatan Yuliyanto Budi Setiawan.
Pengamatan Yuliyanto Budi Setiawan itu adalah bagian dari disertasi doktornya di Program Pascasarjana Doktor Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia, Juli 2022.
Disertasi yang berhasil dipertahankan Yuliyanto Budi Setiawan berjudul “Pelabelan Gender di Media: Studi Wacana Kritis Pelabelan Janda di Televisi.”
Baca Juga: Ini Daftar Universitas Mitra Beasiswa LPDP di Dalam Negeri, Jangan Sampai Salah
Studi Yulianto mengeksplorasi ideologi dominan yang melatarbelakangi penyebab pelabelan-pelabelan atas janda di media televisi, khususnya di tayangan Film Televisi (FTV) ‘Kisah Nyata’ Indosiar.
Yulianto sekaligus mencari data tentang konsumsi teks serta praksis sosial, yang terkait dengan pelabelan-pelabelan janda di media televisi.
Yulianto menggunakan pendekatan wacana kritis dan memilih pemikiran Howart S. Becker mengenai labeling sebagai pemikiran utama. Ini dipadukan dengan perspektif feminis sosialis dan Standpoint Theory. Paradigma dalam penelitian ini sendiri berupa paradigma kritis.
Menurut Yulianto, berdasarkan hasil temuan Analisis Wacana Kritis di level mikro, menunjukkan adanya dua klasifikasi besar pelabelan.
Baca Juga: Simak Cara Daftar Beasiswa LPDP, Lengkap dengan Persyaratan dan Fasilitas yang Diterima
Pertama, adanya label identitas yang melekat bahwa janda oleh media, selalu dilekatkan dengan karakter jahat atau negative, yang tentunya berbeda dengan perempuan-perempuan pada umumnya.
Pelabelan kedua, perempuan adalah sosok yang selalu dalam posisi yang disalahkan.
Selanjutnya, produksi teks level meso menunjukkan bahwa koordinator FTV sama sekali tidak memiliki kesadaran gender. “Mereka menilai janda memang berperilaku ‘miring’ dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Yulianto.
Sedangkan hasil temuan praktik konsumsi teks di level meso, semua informan ternyata tetap menonton tayangan sarat label atas janda tersebut. “Bahkan ada yang menikmatinya,” lanjut Yulianto.
Baca Juga: Viral di Twitter, Apa Itu Beasiswa LPDP? Simak Penjelasannya Agar Tidak Gagal Paham.
Sementara itu, untuk temuan di level makro menunjukkan kuatnya praktik patriarki dan kapitalisme dalam berbagai konteks kehidupan.
Ada dua kebaruan yang ditawarkan studi Yulianto ini. Pertama, belum ada teori media yang memadai dan mampu menjawab fenomena komunikasi yang sedang ia kaji. Sehingga, Yulianto menarik teori labeling Becker dari ranah sosiologi ke ranah komunikasi (media studies).
Pertimbangannya karena teori ini mampu dan memadai dalam menjelaskan adanya pelabelan atas kaum minoritas (janda) di konten media massa.
“Hal ini didukung dengan studi-studi terdahulu, yang biasa menggunakan pemikiran labeling untuk penelitian komunikasi,” tutur Yulianto.
Kedua, Minority Labeling Theory sebagai perpaduan konsep mengenai pemikiran labeling dari Becker, dipadukan dengan perspektif feminis sosialis dan Standpoint Theory. ***