Natal: Ketika Langit Mengajarkan Damai

Oleh Elza Peldi Taher

ORBITINDONESIA.COM - Selamat Natal bagi teman teman Kristiani

Tahun 2014, usai  umrah bersama anak dan isteri, di bandara Jeddah, saat pesawat akan take off, pilot  menyampaikan sebuah pengumuman kecil, bahwa di dalam pesawat para pilot, pramugari, dan pramugara berasal dari sebelas negara yang berbeda.

Sebelas negeri. Sebelas latar. Beragam bahasa, warna kulit, budaya, dan keyakinan—bertemu dalam satu ruang sempit bernama kabin, bergerak menuju tujuan yang sama.

Tanpa aba-aba, tepuk tangan pun pecah. Tepuk tangan yang bukan sekadar tanda kagum, melainkan pengakuan diam-diam bahwa dunia bisa berjalan indah bila manusia mau bekerja bersama. Di udara, identitas tidak dipertentangkan. Tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih benar. Yang ada hanyalah tanggung jawab, kepercayaan, dan kesediaan menjaga satu sama lain agar semua bisa tiba dengan selamat.

Saya terdiam, sekaligus bahagia. Betapa indahnya bila semangat di langit itu perlahan turun ke bumi. Bila manusia memilih bergandengan tangan alih-alih saling mencurigai. Bila perbedaan tidak dipakai sebagai senjata, melainkan sebagai cara untuk saling melengkapi. Di langit, saya belajar bahwa keselamatan hanya lahir dari kerja sama, bukan dari keinginan menguasai.

Nilai itu sejatinya sejalan dengan pesan Al-Qur’an. Kitab suci ini tidak mengajarkan manusia untuk saling meniadakan, melainkan saling mengenal dan menghormati. Allah berfirman:

“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)

Ayat ini tidak merayakan keseragaman, tetapi kemajemukan. Ia mengingatkan bahwa perbedaan bukan alasan untuk merasa unggul, melainkan pintu untuk saling memahami. Bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada identitas yang dikenakan, melainkan pada keluhuran sikap—pada kesediaan menghormati sesama.

Kini, menjelang Natal, lagu-lagu Natal terdengar di mana-mana. Di mal-mal, alunannya mengalir lembut, menyusup ke lorong-lorong, meneduhkan sejenak hiruk-pikuk dunia. Banyak orang tersenyum mendengarnya. Sebagian larut dalam kenangan, sebagian menikmati suasana damai yang singgah sebentar. Lagu-lagu itu memang syahdu—seolah mengajak siapa pun untuk berhenti sejenak dan mengingat kembali makna kebersamaan. 

Natal, pada titik ini, terasa bukan hanya sebagai perayaan iman, tetapi perayaan kemanusiaan. Tentang harapan akan dunia yang lebih ramah, lebih sabar, dan lebih bersedia menerima perbedaan. Tentang damai yang tidak memilih identitas, dan cinta yang tidak bertanya asal-usul.

Mungkin kita belum sepenuhnya siap hidup setinggi langit. Namun kita pernah merasakannya, bahwa di atas sana, manusia dipanggil bukan oleh nama suku atau agamanya, melainkan oleh kemampuannya untuk saling menjaga dan bekerja bersama.

Karena itu, saya mengucapkan: Selamat Natal bagi kawan kawan yang merayakannya.

Semoga damai yang pernah dirasakan di atas langit, perlahan-lahan benar-benar turun dan berdiam di bumi.

Pondok Cabe Udik, 25 Desember 2025

Elza Peldi Taher ***