Kemenaker: Sepanjang Januari-November 2025 Sebanyak 79.302 Orang Terkena PHK.

ORBITINDONESIA.COM -  Kemenaker melaporkan, sepanjang Januari-November 2025 sebanyak 79.302 orang terkena PHK. Rinciannya, Januari sebanyak 10.025 orang, Februari 18.516 orang, Maret 5.669 orang, April 4.877 orang, Mei 6.988 pekerja, Juni 6.893 orang, Juli 7.284 orang, dan Agustus 6.818 orang.

Sementara September 6.289 orang, Oktober 5.378 orang, dan November 565 orang. Jawa Barat mencatat angka PHK tertinggi sepanjang Januari-November, yakni 17.234 orang, sementara Maluku menjadi yang terendah, hanya 49 pekerja.

Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN Zamroni Salim mengatakan, berdasarkan Sakernas BPS 2019 terdapat 883 ribu orang yang putus asa mencari kerja, namun pada 2024 meningkat menjadi 2,7 juta orang.

Mereka yang putus asa itu terbanyak pendidikan SD atau tidak lulus SD (37,97%), diikuti lulusan SMA 24,86%, SMP 20,72%, SMK-MAK 10,08%, S1 4,59%, dan diploma 1,7%.

Lulusan S2 dan S3 sebanyak 0,08%. Mayoritas penduduk perkotaan (63,59%), sementara pedesaan 36,41%. Kondisi itu terjadi karena semakin tingginya jumlah pencari kerja, dari 7,8 juta orang pada 2019 menjadi 11,7 juta orang pada 2024.

Mengacu pada data peningkatan pencari kerja, jumlah angkatan kerja yang putus asa, dan data pergeseran sektor kerja, BRIN memperkirakan akan semakin banyak pekerja yang masuk ke sektor informal pada 2026.

Peneliti Ahli Muda BRIN Pihri Buhaerah mengatakan, pekerja informal tidak memiliki penghasilan tetap dan tak terlindungi jaring pengaman sosial, sehingga sangat rentan. BRIN menyarankan, pemerintah memperkuat kembali industri manufaktur teknologi menengah ke atas dan menciptakan pekerjaan-pekerjaan menengah di sektor publik, seperti pegawai negeri sipil.

Data ekonomi kemarin menunjukkan persoalan yang jauh lebih struktural daripada sekadar fluktuasi musiman: PHK menembus hampir 80 ribu orang, jumlah pencari kerja melonjak, dan jutaan warga “putus asa” tersingkir ke sektor informal yang rentan tanpa perlindungan.

Di saat yang sama, instrumen stabilisasi negara seperti penyaluran beras SPHP berjalan lambat, harga pangan justru naik di banyak daerah, dan kebijakan sosial berisiko menjadi sekadar ajang serapan anggaran, bukan perbaikan kesejahteraan.

Ketika elite politik sibuk merapikan koalisi dan simbol loyalitas kabinet lebih menonjol daripada disiplin kinerja, ekonomi rakyat bergerak tanpa pondasi: pekerjaan hilang, daya beli tertekan, dan negara tampak lebih reaktif daripada stratejik.

Tanpa fokus serius pada penciptaan kerja berkualitas, penguatan industri, dan tata kelola kebijakan yang rasional, ekonomi akan terus menanggung biaya politik yang lebih mementingkan kenyamanan kekuasaan ketimbang ketahanan sosial.***