Sastri Bakry: Kunjungan ke Rumah Penyair Malaysia: Sebuah Pengalaman yang Menginspirasi
Oleh Sastri Bakry*
ORBITINDONESIA.COM - Saya kalau ke luar negeri hampir selalu datang dengan jadwal yang padat, membawa misi kebudayaan bersama grup Sumbar Talenta sejak puluhan tahun lalu. Malaysia bagi saya sudah seperti rumah kedua—bukan hanya karena serumpun, tetapi karena kerja sama seni, budaya, dan sastra yang terjalin erat dengan berbagai organisasi di sana.
Akhir November lalu, saya diundang oleh Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya Malaysia melalui Hydramas Travel & Tours Sdn. Bhd. untuk mengikuti Fam Trip Northern Peninsula. Semua fasilitas ditanggung selama berada di Malaysia. Kami berlima mewakili SatuPena dan Sumbar Talenta datang untuk mengenal lebih dekat wilayah Semenanjung Utara, daerah yang jarang kami kunjungi.
Program berlangsung pada 23–28 November 2025. Tiket pulang saya semestinya pada tanggal 28, tetapi saya undur hingga 2 Desember. Ada satu alasan: saya ingin mengunjungi para sastrawan Malaysia. Apalagi Djazlam berkali-kali mengundang saya ke rumahnya lewat Facebook.
Mengunjungi rumah Djazlam di Melaka berarti bertemu dua sastrawan sekaligus. Saya kerap menyebut mereka sepasang merpati sastra.
Rumah yang asri dan penuh ilmu itu akhirnya benar-benar dapat saya datangi. Kesempatan langka untuk bersilaturahmi dengan Djazlam Zainal dan Rosmiaty Shaari. Mereka menyambut saya dengan keramahan yang hangat.
Ini adalah kunjungan kedua saya menginap di rumah mereka, dan saya melihat bagaimana rumah itu semakin berubah menjadi ruang yang sangat menarik bagi seorang penulis dan pecinta buku. Terasnya telah disulap menjadi galeri buku yang menawan—istilah anak sekarang, benar-benar “instagrammable”. Saya, Ros, dan Djaz sempat berfoto serta saling bertukar buku.
Djazlam dan Rosmiaty telah lama menjadi dua nama penting dalam sastra Malaysia. Mereka membuka pintu rumah yang sekaligus menjadi galeri seni, perpustakaan, dan ruang kreatif mereka. Saya terpukau menyaksikan dedikasi mereka terhadap dunia kata, serta keteguhan mereka mengungkapkan perasaan dan pemikiran melalui puisi.
Selama berkunjung, kami berbincang panjang tentang proses kreatif, sumber inspirasi, dan tantangan yang mereka hadapi sebagai penyair. Mereka bercerita bagaimana kehidupan sehari-hari, alam, pengalaman rohani, dan peristiwa pribadi menjadi bahan bakar karya mereka. Cara mereka mengolah pengalaman hidup menjadi puisi yang indah dan sarat makna sungguh mengesankan saya.
Rumah mereka dipenuhi buku sastra, karya seni, dan juga koleksi musik lama Indonesia–Malaysia. Kaset, CD, dan VCD penyanyi-penyanyi legendaris berjejer rapi—P. Ramlee, Alfian, Lilis Suryani, Ernie Djohan, Bop Totupoli, Broery Marantika, dan banyak lagi. Tidak ada yang luput dari koleksi mereka. Rumah itu menjadi simbol kecintaan mereka terhadap sastra dan seni budaya. Rasanya seperti berada di sebuah oasis sastra, tempat kata-kata, ide, dan imaji suara bertemu dalam harmoni.
Kunjungan ke rumah dua penyair ini terasa seperti perjalanan spiritual. Selain mengenal sastra dan budaya Malaysia lebih dalam, saya juga menyaksikan nilai-nilai keagamaan yang mereka hidupi.
Hal-hal kecil yang dilakukan Rosmiaty memberi kesan mendalam: ia mengajar mengaji tiga kali seminggu secara gratis untuk anak-anak sekitar rumah, semata-mata mengharap ridha Allah. Djazlam dan Rosmiaty menunjukkan integritas seorang penyair sejati—tidak hanya menulis kata-kata indah bernapas syariah, tetapi mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Siapa sepasang merpati itu?
Djazlam Zainal adalah penyair dan penulis Malaysia dengan karya-karya yang kuat dan bermakna. Ia telah menerbitkan sejumlah buku puisi, antara lain Kilir-Kilir Makna (1992), Ya, Bageh (1997), Rasa Terpanggang (2013), Akar (2015), serta dua buku terbaru yang diberikan kepada saya: Bulan di Racun Awan (2024) dan Ingatan-Ingatan Kecil (2024). Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris, Rusia, dan Cina.
Selain menulis, Djazlam aktif dalam kegiatan sastra dan budaya, menjadi bagian dari berbagai organisasi, serta dikenal pula sebagai kritikus dan esais. Ia sering menjadi pembicara dalam konferensi sastra nasional maupun internasional. Di luar itu, Djazlam juga bekerja sebagai pejabat di Kementerian Pelancongan, Seni dan Budaya—sebuah posisi yang membuatnya mudah menggerakkan kegiatan sastra dan melibatkan banyak pihak. Saya merasa beruntung berkawan dengannya.
Rosmiaty Shaari, belahan hati Djazlam, adalah penyair dengan karya yang sarat perenungan dan spiritualitas. Ia telah menerbitkan sejumlah buku puisi, antara lain Daun Nan Bercinta (2016), Kembali Kepada Fitrah (2014), dan Ketika Nur (2020). Dua buku yang dihadiahkan kepada saya kali ini adalah Ketika Isyarat (2021) dan Kepada... (2025).
Ia telah meraih berbagai penghargaan bergengsi, termasuk Hadiah Utama Anugerah Puisi Dunia Numera (2014) untuk puisi “Risalah Melayu”, Hadiah Sastera Perdana Malaysia (2013) untuk cerpen “Istana Cindai”, serta Hadiah Sastera Darul Ridzuan (2016/2017). Rosmiaty aktif mengelola organisasi sastra seperti PULARA dan beberapa komunitas sastra lainnya. Ia juga dikenal sebagai editor yang cermat di sejumlah penerbit—Teks Publishing, Marwilis Publisher, dan lainnya.
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, di antaranya Inggris, Thai, dan Tamil. Gaya tulisannya yang unik dan mendalam menempatkannya sebagai salah satu suara penting dalam sastra Malaysia.
Kunjungan ini membuat saya semakin memahami sastra dan budaya Malaysia. Saya pulang dengan inspirasi baru—tentang menulis, merawat perpustakaan, dan menghidupkan ruang kreativitas. Terbayang kembali Rumah Baca Teras Talenta yang harus terus saya revitalisasi.
Saya yakin, kunjungan ini adalah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.
° Sastri Bakry adalah penulis, sastrawan, penyair Indonesia. Founder Sumbar Talenta dan owner Rumah Baca Teras Talenta. Saat ini Ketua SatuPena Sumbar dan CEO International Minangkabau Literacy Festival (IMLF).