Di Ujung Jingga Khabarovsk: Sebuah Gelombang Sastra BRICS
ORBITINDONESIA.COM - Khabarovsk mungkin tak pernah kita bayangkan sebagai kata pertama dalam sebuah cerita tentang sastra. Kota di tepi Sungai Amur itu terdengar seperti tepi peta—jauh, dingin, dan samar, seperti nama yang hanya disentuh sekali oleh guru geografi sebelum hilang kembali dalam ingatan kelas. Namun justru di sanalah, pada sebuah senja yang memanjang di akhir November, dua nama dari “selatan dunia” dipanggil pelan: Salwa Bakr dari Mesir dan Denny JA dari Indonesia (BRICS Arts Festival, 2025).
Di panggung BRICS Arts Festival—di bawah lampu yang jatuh seperti garis-garis salju yang enggan turun—diumumkan pemenang BRICS Literature Award pertama. Hadiah utamanya, satu juta rubel, diberikan kepada Salwa Bakr; sebuah penghargaan khusus disematkan pada Denny JA (BRICS Literature Committee, 2025).
Satu juta rubel tidak mengubah peta ekonomi dunia. Tetapi dalam dunia sastra, ia bisa menjelma menjadi satu terjemahan baru, satu ruang kecil di rak perpustakaan dunia, satu kesempatan agar sebuah kisah menyeberangi batas bahasa dan kembali sebagai suara lain.
Penerbit besar Rusia, termasuk AST, segera menyatakan minat menerjemahkan karya para pemenang dan nominasi (AST Publishing Statement, 2025). Maka, rubel pun berubah: bukan lagi sekadar alat tukar, melainkan jembatan halus yang menghubungkan imajinasi antar benua—sebuah mata uang bagi dunia yang tak selalu bisa diukur oleh angka.
Sastra: Sihir Portabel yang Menembus Batas Negara
Stephen King pernah berkata, “Books are a uniquely portable magic” (King, 1980). Sihir portabel itu kini melintasi Kairo, Jakarta, Moskow, seperti burung-burung yang terbang tanpa memerlukan paspor. Ia tak lagi menunggu restu dari London atau New York.
Namun statistik dunia mengingatkan kita: jangan terlalu cepat bersorak. UNESCO, melalui Index Translationum, mencatat:
- Bahasa Inggris: 1,26 juta judul diterjemahkan
- Prancis: ±226 ribu
- Menyusul Jerman, Rusia, Italia, Spanyol
- Bahasa Arab baru sekitar 12 ribu judul
(UNESCO Index Translationum, 2023)
Peta itu memperlihatkan pola yang tak kunjung berubah: Utara global masih menjadi pemasok utama imajinasi, sedangkan bahasa-bahasa selatan—Arab, Hindi, Indonesia, Yoruba, Swahili—lebih sering menjadi penerima, bukan sumber. Seolah-olah dunia hanya mau mendengar cerita dari satu arah angin.
Celahan Tipis Sastra Global Selatan
Sebuah studi mencatat 655 karya Arab diterjemahkan ke bahasa Inggris sepanjang 2003–2020 (ArabLit Translation Study, 2021). Angka yang tampak besar itu mengecil kembali bila kita ingat betapa luas dunia Arab, dari Maroko hingga Irak, dari Oman hingga Sudan—dunia yang tak mungkin diringkas oleh ratusan judul saja.
Di sisi lain, dalam industri buku berbahasa Inggris, hanya 2–5% karya terbitan yang merupakan terjemahan (Bowker Translation Report, 2019). Dunia yang paling sering dibaca orang, ternyata adalah dunia yang paling jarang membaca orang lain.
Dalam peta seperti itu, kemenangan Salwa Bakr menjadi semacam koreksi kecil sejarah: sebuah pengakuan bahwa ada suara yang selama ini berdiri di pinggir, menunggu dipanggil masuk.
Indonesia: Kaya di Dalam Negeri, Senyap di Rak Dunia
Riset tentang sastra Indonesia dalam percaturan global kerap tiba pada simpulan yang sama: “kaya di rumah, miskin di luar negeri.” Indonesia menulis banyak—luar biasa banyak—tetapi hanya sedikit yang menyeberang lewat terjemahan (Indonesian Literature Export Study, 2022).
Ada pengecualian tentu saja: Laskar Pelangi yang telah meluncur ke lebih dari 30 bahasa (Andrea Hirata Interview, 2018). Namun pengecualian bukanlah pola; ia justru menegaskan kekosongan di sekelilingnya.
Nuril Basri dalam sebuah wawancara menyebut biaya menerjemahkan bukunya bisa mencapai 80 juta rupiah (Basri, 2020). Untuk banyak penulis, itu bukan sekadar angka—itu dinding yang sulit dipanjat.
Sementara itu, sekitar 11 ribu mahasiswa dari 124 negara belajar bahasa Indonesia di Indonesia (Kemendikbud, 2019). Mereka datang membawa minat, tetapi pulang tanpa cukup buku Indonesia—karena ekosistem terjemahan kita belum menawarkan jembatan yang memadai.
BRICS: Dari Mata Uang Bersama ke Imajinasi Bersama
BRICS Literature Award muncul sebagai metafora politik baru. Aliansi ekonomi yang biasanya bicara tentang mata uang multipolar kini mengangkat novel dan puisi. Sejumlah media internasional menyebutnya “alternatif Nobel Sastra untuk Global South” (World Culture Review, 2025).
Salwa Bakr—lahir di Kairo, 1949—menuliskan kehidupan perempuan kelas pekerja Mesir dengan ketenangan seorang saksi yang tak pernah berpaling (Egyptian Literary Archive, 2018).
Di sisinya, Denny JA—dengan “puisi esai” dan tema sosialnya—menghadirkan Indonesia ke panggung yang jarang menyebut Asia Tenggara (Indonesian Writers Database, 2023).
Di tepi Sungai Amur, suara Nil dan Ciliwung bersua. Sebuah pertemuan yang tak dicatat peta geografi, tetapi mungkin akan dicatat oleh peta sastra global.
Czesław Miłosz pernah menulis, “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.” (Miłosz, 1953). Sastra bekerja dalam wilayah ingatan—di sana, ia menyimpan hal-hal kecil yang tak dicatat Bank Dunia: kecemasan tukang roti di Giza, pengemis di Jakarta, atau senyap kota di Rusia Timur. BRICS, untuk sesaat, tampak mengizinkan ingatan itu berbicara.
Terjemahan: Pekerjaan Sunyi Setelah Tepuk Tangan Usai
Namun kemenangan hanyalah kulit permukaan. Umur panjang karya ditentukan oleh hal-hal yang tidak terlihat dari mimbar panggung: kerja penyunting, kecermatan penerjemah, reaksi pasar buku, kesabaran distribusi lintas negara.
Statistik UNESCO mengingatkan kita: bahasa Arab dan berbagai bahasa Asia masih dirugikan dalam arus terjemahan menuju bahasa Inggris (UNESCO, 2023). Maka keberhasilan Salwa Bakr dan Denny JA bukan puncak, melainkan batu pertama di jalan panjang yang harus dilalui kata-kata.
Setelah tepuk tangan usai, panggung gelap, dan lampu dipadamkan, pekerjaan sunyi dimulai: editor di Kairo, penerjemah di Jakarta, kurator festival di Moskow, pustakawan di Berlin. Mereka yang menentukan apakah kisah itu akan hidup lebih lama daripada penghargaannya.
Ketika Global South Menerjemahkan Global South
Di tempat lain, sebuah antologi cerita rakyat Assam akhirnya diterjemahkan ke bahasa Arab—untuk pertama kalinya (Assam-Arabic Translation Project, 2024). Sebuah peristiwa kecil, tetapi menegaskan harapan besar: bahwa negara-negara Global South tak harus menunggu “penerbit besar Barat” untuk menentukan karya mana yang patut diterjemahkan.
Mungkin masa depan sastra dunia berada di persilangan seperti itu: ketika Amur, Nil, Ciliwung, dan Brahmaputra saling mengirim cerita tanpa menunggu restu dari Thames atau Seine.
Wittgenstein menulis, “The limits of my language mean the limits of my world.” (Wittgenstein, 1922). Dan di Khabarovsk, lewat satu juta rubel dan sebuah kotak penghargaan, seseorang berusaha mendorong batas itu sedikit saja: agar pembaca Rusia tak berhenti pada Dostoyevsky; agar pembaca Indonesia tak berhenti pada terjemahan Inggris; agar pembaca Mesir tak berhenti pada Prancis.
Sastra tak menghentikan perang, tak menurunkan harga pangan. Tetapi ia melakukan sesuatu yang lebih halus: membuat dunia seseorang menjadi sedikit lebih luas.
Mungkin di situlah hadiah yang sebenarnya. Bukan satu juta rubel, melainkan satu dunia tambahan di dalam diri pembacanya.
Bogor, 5 Desember 2025
Dikdik Sadikin