Puisi Esai Denny JA: Kampungku di Aceh Hilang

Sebuah Puisi Esai

KAMPUNGKU DI ACEH HILANG 

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - (Gubernur Aceh meneteskan air mata bercerita empat kampung yang hilang akibat banjir besar di Aceh, November 2025) (1)

“Baru dua hari ia menjauh dari Aceh,
namun ketika menoleh, kampungnya telah tiada, 
bagai halaman kitab yang dirampas langit
tanpa sempat meninggalkan serpihan tinta.”

“‘Banjir besar…’ begitu bunyi pesan.
Dua kata yang menggoyahkan dunia Zainal:
bayang keluarga menyala
seperti lampu yang menahan napas di ujung padam.”

“Pertanyaan kecil Lala dulu hanya terdengar seperti rasa ingin tahu,
kini berubah menjadi nubuat yang menggigil:

‘Ayah, kalau hujan keras, Lala sembunyi di mana?’
Dan jawaban itu kembali menghantam dadanya:

‘Di dada Ayah, sayang… selalu di dada Ayah.’”

Anggukan Lala menjadi doa kecil
yang ia simpan seperti bunga
di antara halaman langit.

Namun Zainal tak sadar,
janji itu tumbuh menjadi sesuatu
yang tak sempat ia jaga.

-000-

Saat roda pesawat menyentuh bumi,
bumi lain justru hilang dari hidupnya:

Sawang lenyap.
Jambo Aye lenyap.
Peusangan lenyap.

Empat kampung disapu arus,
menjadi huruf-huruf basah
yang dihapus sungai
sebelum sempat dibaca sejarah.

Zainal memaksa pulang.
Namun jalan ke Sawang
sudah tiada.
Yang tersisa hanyalah parut bumi
yang terbelah seperti mulut raksasa,
menelan masa lalu
tanpa sisa.

Ia berdiri di tepi jurang,
berteriak sekencang mungkin:
“Lala! Ayah pulang!”

Teriakannya menanduk langit,
retak menjadi serpihan gema
yang hanya didengar awan, 
awan yang hari itu pun
sedang belajar menangis.

Zainal terjatuh ke dalam dirinya sendiri;
nama Tuhan berputar di dadanya
seperti layang-layang putus benang,
menyentuh langit sebentar,
lalu jatuh kembali ke lumpur,
serak napas yang tak sanggup
menyebut apa pun.

Angin datang membawa sisa suara kampung:
pecahan azan, tawa anak, derit papan rumah,
berputar di telinga Zainal
seperti kawanan burung kehilangan arah
yang jatuh satu per satu ke dadanya,
menjelma kawah sunyi
yang tak bisa lagi ia tutup dengan doa.

-000-

Di antara lumpur
yang menelan nama manusia,
sebuah sandal ungu mengapung.

Sandal kecil itu tampak ringan,
namun bagi Zainal
rasanya seberat seisi Aceh.

Lala punya sandal seperti itu.
Dan ia bertanya dalam hati
yang retaknya tak sanggup ia sembunyikan:
apakah itu sandal Lala?

-000-

Di tengah duka itu, ia teringat dirinya yang muda:
aktivis yang pernah berteriak menolak hutan Sawang ditebang,
hutan yang kini, seperti dirinya,
kalah oleh dunia yang tumbuh tanpa jiwa.

Di hulu, para penebang menumpuk batang pohon
seperti kitab suci yang kehilangan ayat;
setiap gergaji yang bergerak
menghapus satu doa hujan,
mengirim banjir sebagai khotbah terakhir
bumi yang letih.

Dulu pohon-pohon itu
berdiri sebagai penjaga kampung,
menulis doa dengan akar.
Kini mereka mengapung sebagai mayat panjang,
membawa pesan:

“Kami tumbang dulu.
Kini giliran kalian
merasakan sunyi kami.”

Alam tak membalas
dengan amarah,
melainkan dengan kearifan
yang tak pernah meleset:

yang digergaji akan balas menggergaji,
yang ditebang akan kembali
dalam bentuk banjir
yang tak mengenal belas kasih.

Di dalam kepalanya,
potongan sejarah berputar
menjadi kaca patri yang pecah:
letup senjata, serak sirene, janji penghijauan
yang menggantung di lampu hotel,
garis tinta yang merobek peta konsesi.

Semua pecahan itu memantulkan satu kata
yang bahkan tak sanggup ia bisikkan
kepada dirinya sendiri:
pulang.

-000-

Di kepalanya malam pecah seperti bendungan tua;  
nama Lala, deru gergaji, dan sirene kamp pengungsian  
bertabrakan,
jadi satu arus gelap  
yang menyeret seluruh peta Aceh,
ke dalam dadanya.

Malam itu,
di antara puing dan doa yang patah,
Zainal berlutut.

Ia menggenggam sandal ungu itu
seperti menggenggam sebuah planet kecil,
dan ia merasakan retaknya
di telapak tangannya.

Di genggamannya, hutan dan Lala
menjelma satu bayangan:
rindang rambut putrinya
serupa rimbun daun
yang pernah meneduhkan kampung.

Ketika batang-batang tumbang tanpa doa,
baru ia paham, 
setiap pohon yang roboh
adalah helai napas Lala
yang diam-diam dipatahkan.

Dan kampungnya di Aceh,
yang malam itu entah di mana hilangnya,
berubah menjadi air mata
dan air bah,
bersuara melalui angin:

“Ingatlah aku.
Rawatlah aku.
Sebelum aku kembali
hanya sebagai kenangan.”***


Menuju Paris, di atas pesawat, 3 Desember 2025

CATATAN

(1) Hilangnya kampung di Aceh
https://www.idntimes.com/news/indonesia/tangis-gubernur-mualem-saat-sebut-4-kampung-aceh-hilang-akibat-banjir-00-bbwlv-3ccy96/amp

-000-

Berbagai puisi esai dan ratusan  esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1CgpVdKFP1/?mibextid=wwXIfr